Kembali ke pasca penunjukan Jin Sing sebagai Bupati Miji Yogyakarta (pejabat yang langsung di bawah perintah sultan) bergelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Jin Sing mendapatkan pula tanah-tanah di pusat kota Jogja termasuk sebidang lahan di sebelah utara keraton yang olehnya disewakan kepada orang-orang Tionghoa lain untuk perumahan. Dalam Babad Jatuhnya Yogyakarta, Jin Sing berada dalam perlindungan Kiai Tumenggung Reksonegoro, Kepala Gerbang Cukai dan Pasar. Semua ini memunculkan keresahan di kalangan elit keraton dan masyarakat Jogja yang anti-Tionghoa pasca penyerbuan keraton oleh Inggris pada Juni 1812 yang dibantu orang-orangnya Jin Sing.Kelompok elit keraton yang paling vokal dalam menentang jabatan Jin Sing adalah Pangeran Notokusumo (Paku Alam I), saudara kandung Hamengkubuwono II.Bahkan pada Oktober 1812, Notokusumo berencana menghilangkan tanah pemukiman orang-orang Tionghoa dan membunuh Tan Jin Sing. Ancaman itu tentu membuat Jin Sing hidup dalam ketakutan.John Crawfurd, Residen Inggris di Yogyakarta sempat memperkenalkan Jin Sing pada Nahuys. Oleh Nahuys dibawanya Jin Sing ke Kalimantan Barat untuk menyelesaikan masalah-masalah penambang Tionghoa dalam kurun 21 November 1818 - 5 Mei 1819.Tan Jin Sing juga dibenci oleh kalangan etnis Tionghoa karena dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa dalam Perang Diponegoro. Akhir Hayat Tan Jin Sing Semasa hidupnya KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing mempunyai tiga isteri.Isteri pertama berdarah Tionghoa Peranakan dengan sebutan Nyonya Kapitan. Isteri kedua, perempuan Jawa bergelar Raden Ajeng Secodiningrat Sedang isteri ketiganya juga seorang perempuan Jawa yang dipanggil dengan sebutan Raden Nganten Secodiningrat.
KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia pada 10 Mei 1831, dan dimakamkan secara Islam.