Jepang dipersilakan berkuasa di Indonesia oleh Soekarno, Sang Presiden saat itu. Entah ada kesepakatan apa antara Soekarno dan pemerintah Jepang. Bisa-bisanya pula, Soekarno turun tangan mempromosikan Romusha. Melontarkan jargon Pahlawan Pekerja. Tapi kita tidak bicara itu, kita bicara misteri kamar gelap goa Jepang di Gunung Ungaran.
Saat masa berkuasa di Indonesia, tentara Jepang membuat banyak lubang-lubang persembunyian.
Mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya, lubang-lubang itu banyak ditemukan. Dan di setiap tempat, orang menjulukinya seragam: Goa Jepang.
Salah satu yang pernah saya masuki adalah Goa Jepang di Gunung Ungaran, Jawa Tengah.
Goa ini sangat dikenal para pendaki gunung karena bersebelahan dengan kampung kecil bernama Promasan. Kampung inilah yang sering dipakai transit pendaki yang akan melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Ungaran.
[caption id="attachment_358071" align="alignnone" width="900"] Jalan batu menuju ke Goa Jepang Gunung Ungaran. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Secara administratif Kampung Promasan berada di Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Letaknya yang sangat dekat dengan puncak gunung membuat Promasan jadi kampung tertinggi di Kendal.
Menuju Goa Jepang
Cukup menguras tenaga untuk sampai ke sini. Jangankan jalan kaki, naik motor atau mobil pun butuh energi ekstra. Aspal hanya sampai di gerbang perkebunan teh Medini. Selanjutnya, harus melewati jalanan batu sepanjang 5 kilometer. Sudah berbatu, naik turun pula. Belum lagi banyak belokannya. Tapi dapat bonus segar berupa hamparan kebun teh.
[caption id="attachment_358074" align="alignnone" width="900"] Kampung Promasan di tengah kebun teh Gunung Ungaran. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Sampai di Promasan saya mampir di warung makan kecil. Mungkin satu-satunya warung di kampung ini. Tak begitu banyak rumah. Penghuninya sebagian besar adalah buruh petik teh.
Minum teh manis hangat cukup manjur untuk mengembalikan tenaga. Apalagi minum di tepi kebun tehnya.
Dari sini saya diantar Pak Min, warga Promasan, berjalan ke Goa Jepang. Agak naik jalannya, tapi tidak jauh. Hanya lima menit sudah sampai.
Goa Jepang
Goa Jepang lubangnya berukuran 2 x 2 meter. Agak kotak sedikit melengkung. Jangan bayangkan ada stalagtit atau stalagmit di dalamnya. Karena ini bukan goa kapur seperti pada umumnya. Tapi tanah di tengah bukit yang digali memanjang. Lebih tepat disebut terowongan.
[caption id="attachment_358075" align="alignnone" width="900"] Lorong Goa Jepang berupa gerusan tanah dan batu. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Gelap. Benar-benar gelap. Sumber cahaya hanya dari pintu goa tadi. Pak Min menyalakan senter agar bisa melihat bagian dalam.
Sepuluh meter dari lubang depan, sudah mentok di ujung. Saya pikir kok cuma segini. Ternyata senter Pak Min menunjukkan ada lubang di sebelah kanan. Kami memasuki lorong berikutnya. Agak gerah di dalam. Bau lembab tanah sangat kuat.
Saya sempat berbelok ke kiri, masuk sebuah lubang yang saya kira ini jalur berikutnya. Ternyata buntu.
"Nah, ini yang disebut kamar. Ciri khas Goa Jepang ya ini, ada lubang-lubang rahasia, untuk persembunyian sekaligus gudang macam-macam keperluan perang," cerita Pak Min.
Ia melanjutkan, jaman itu saat perang dunia II tahun 1942-1945 Jepang terlibat perang dengan sekutu. Banyak tentaranya membuat pertahanan hingga ke pedalaman. Membuat goa jadi salah satu strategi mereka.
"Kata mbah saya dulu, tentara Jepang memaksa romusha bekerja membuat goa, yang dipakai untuk gudang senjata dan amunisi, logistik, obat-obatan, dan sekaligus tempat persembunyian," tuturnya.
Baca juga: Bung Karno, Bintang Iklan Romusha Bernomor 970
Ada cerita tentang Goa Jeoang di berbagai daerah, jika para romusha yang coba kabur, yang ketangkap tentara Jepang dimasukkan ke goa, dan entah di dalam itu diapakan.
[caption id="attachment_358079" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
"Katanya sesepuh kita dulu, tentara Jepang terkenal kejam," kisahnya.
Ada lebih 27 kamar yang ada di dalam goa. Serta ada juga beberapa jalur yang menipu. Seolah tembus ternyata buntu. Dan, aroma anyir amis darah sesekali merebak di sini.
"Dua puluh tujuh kamar itu ada yang sudah jadi ada yang belum. Masing-masing kamar berukuran lima kali lima meter," jelasnya.
Agak bergidik juga masuk hingga ke tengah goa, membayangkan cerita kekejaman Jepang di dalam goa. Mungkin di lubang buntu itu dulu para romusha ... ah, saya pilih tak membayangkan lebih jauh.
Mungkin dari sinilah sumber anyir amis darah berasal. Entahlah ...
Dinding goa ini selain tanah juga ada kikisan batu padas. Kalau dipukul-pukul akan rontok. Beberapa bagian lantai ada yang becek. Mungkin ada air hujan yang masuk lewat lubang. Dan memang, lantai becek ini ternyata berjarak sepeluh meter saja di belokan menuju lubang keluar goa.
[caption id="attachment_358076" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Total penelusuran goa ini berjarak sekitar 100 meter. Begitu keluar goa, udaranya sangat kontras. Dari pengap di dalam jadi segar di luar. Iklim di sini termasuk dingin karena di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut.
[caption id="attachment_358078" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Turun dari Goa Jepang, saya mengulang lagi minum teh hangat di warung kecil tadi. Kali ini tambah nasi goreng plus telur ceplok, untuk "mengisi baterai" sebelum menempuh perjalanan selanjutnya.
Teguh Joko Sutrisno | Ungaran, Jawa Tengah