Bunuh Diri Massal di Pulau Bali! Alasangker dan Badung Mencekam!

Bunuh Diri Massal di Pulau Bali! Alasangker dan Badung Mencekam! (Foto : )

Alasangker! Dari makna kata, Alas artinya Hutan dan Angker artinya Keramat. Alasangker adalah nama banjar yang menyimpan sejarah maut masa silam. Pernah ada bunuh diri massal di sana. Apa pasal? Pada awalnya adalah Banjar Blatungan. Banjar, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah (setingkat Rukun Warga) yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Blatungan berarti tetumbuhan semacam/sejenis kaktus. Dikisahkan ada seorang tetua/Dukuh hendak memperluas pedukuhan. Blatung atau kaktus-kaktus itu dibabat habis. Setelah terbuka, tanah rambahan itu dinamai Blatungan. Kala itu sekira abad ke-18. Sistem kasta masih kuat. Banjar Blatungan dipimpin Pre Wayan Sri Bakti yang disegani. Mampu memimpin dan menata Banjar Blatungan. Aman, tenteram dan damai. Suatu saat Pre Wayan Sri Bakti dipanggil oleh Raja Anak Agung Paang yang berkedudukan di Sukasade. Raja menitahkan Puri Blatungan, tempat tinggal Pre Wayan Sri Bhakti, dikosongkan. Diambil alih kepemilikannya oleh pihak kerajaan. Mengapa? Pertama, pihak kerajaan mengambil alih puri sebagai tempat peristirahatan. Gunung Lempuyang hingga Gunung Batukaru adalah lokasi yang punya pemandangan indah, sejuk udaranya. Dari sini pula kegagahan Gunung Agung bisa ditatap lebih dahsyat. Kedua, para kasta kesatria akan mengambil alih wilayah dan membangun beberapa pura utama bagi pihak kerajaan. Juga menguasai tanah untuk perkebunan kopi dan teh. Sebagian besar penduduk di Banjar Blatungan waktu itu adalah kaum sudra. Merekalah para pengolah tanah yang menggantungkan hidupnya dari pertanian dan perkebunan. Jika tanah diambil alih maka warga banjar tidak lagi merdeka, hanyalah buruh tanah kerajaan. Pre Wayan Sri Bhakti berasal dari kasta sudra. Dia sudah mendobrak tradisi kasta di Banjar Blatungan. Namun mau tidak mau mesti menuruti titah raja. Kasta yang lebih tinggi. Pre Wayan Sri Bakti sangat tersinggung. Sangat terhina. Sakit hati. Titah semena-mena dari Puri Sukasade ini dikabarkannya pada seluruh warga banjar. Pre Wayan Sri Bakti memilih mati dengan terhormat daripada mengosongkan puri. Pre Wayan Sri Bakti pun bunuh diri. Tak diduga, bunuh diri itu diikuti seluruh warga banjar. Tragis! Banjar Blatungan menjadi banjar mati. Tak berpenghuni. Bahkan tak ada satupun orang luar yang tahu peristiwa ini. Tenaon Tahun berganti tahun. Generasi berganti generasi. Bali makin berkembang. Warga pendatang berdatangan. Pembukaan jalan dan pembangunan infrastruktur merambah Banjar Blatungan. Warga pendatang ini terkejut. Banyak tulang belulang manusia berserakan. Tulang belulang ini akhirnya diperabukan bersamaan. Ngaben. Warga pendatang kemudian menamai banjar itu Tenaon. Tanah Aon. Tanah Abu. Alasangker Belanda merangsek Bali. Namun mereka kelimpungan menghadapi orang-orang Bali yang gagah berani menyabot. Pemerintah Hindia Belanda yang bekedudukan di Singaraja berusaha mencari penduduk yang mempunyai kesaktian tinggi. Digdaya. Hingga akhirnya dipilihlah seorang warga Banjar Tenaon bernama Ketut Jiwa. Menangkapi para penjahat sampai menyeberang di Sasak, Lombok. Ketut Jiwa mengatakan dirinya berasal dari Alas Angker (Hutan Keramat/Angker). Bisa jadi karena dia berasal dari kawasan yang terkenal angker. Keramat! Penduduk sebelumnya bunuh diri semua. Jiwa mereka belum tenang. Raga belum diperabukan. Dipersatukan dengan lima unsur pembentuk semesta. Panca Maha Bhuta. Belanda kemudian menganugerahi piagam bertulis Desa Alasangker. Dari sinilah secara administratif nama Banjar Tanaon bergeser menjadi Desa Alasangker. Wilayahnya meliputi Banjar Alasangker, Bengkel, Tenaon, Pendem, Bergong Pumahaan dan Juwuk Manis. Desa Alasangker berada di Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Puputan Abad Ke-19 Denpasar, Bali pada 20 September 1906. Militer Belanda mengepung kerajaan Badung. Raja telah memperhitungkan keruntuhan kerajaan Badung. Raja, pasukan kerajaan dan warga memilih mati syahid. Walaupun tragis, mereka percaya ini untuk menjaga kehormatan diri agar tidak ditangkap dan dijadikan budak. Seribu orang tewas dalam bunuh diri massal di Kerajaan Badung ini. Ceritanya begini, 27 Mei 1904. Perahu dagang berbendera Belanda kandas di Sanur. Perahu itu bernama Sri Komala, milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang. Kapal berlayar dari Banjarmasin menuju Denpasar mengangkut gula pasir, minyak tanah, dan terasi, koin perak dan perunggu. Atas saran Sik Bo, seorang warga Cina di Sanur, Kwee Tek Tjiang meminta Ida Bagus Ngurah, penguasa daerah Sanur, untuk mengamankan barang-barang yang telah diturunkan dari kapal. 29 Mei 1904. Utusan Raja Badung datang ke pantai Sanur melakukan pemeriksaan. Pada saat itulah Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu kepada utusan Raja. Laporannya kehilangan 3.700 ringgit uang perak, serta 2.300 uang kepeng. Kwee Tek Tjiang juga melapor kepada Raja dan menuntut ganti rugi sebanyak 3.000 ringgit (sekitar 7.500 gulden). Peristiwa ini dimanfaatkan J. Escbach yang menjabat Residen untuk menekan Raja Badung. Ganti rugi harus dibayar. 9 Januari 1905. Batas waktu ganti rugi. Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Denpasar, tetap menolak tuduhan dan tuntutan ganti rugi. 17 Juli 1906. Bruyn Kops yang menjabat residen sejak tahun 1906 mencari muka pada Van Heutsz, Gubernur Jenderal di Batavia, yang sangat berambisi menundukan Bali. 17 Juli 1906. Gubernur Jenderal Van Heutsz kemudian mengirim beberapa surat. Ditujukan kepada I Gusti Ngurah Pemecutan, I Gusti Ngurah Denpasar, juga kepada Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung, yang dengan tegas memihak Raja Badung. Surat ini berisi perubahan nominal denda yang dinaikan sampai 5.173 ringgit (12.932,50 gulden). 1 September 1906. Tenggat waktu pembayaran. Raja Badung bergeming. Van Heutsz naik pitam. 4 September 1906. Ekspedisi militer diberangkatkan. 12 September 1906. Ekspedisi militer tiba di Selat Badung. Terdiri dari 9 kapal perang dan 7 kapal pengangkut. Total personil 3.053 orang. Terdiri dari tentara 2.312 orang, dan 741 sipil dan wartawan perang. 14 September 1906. Raja Badung diultimatum menyerah. Ultimatum ditolak tegas. Pasukan Belanda merangsek Pantai Sanur. 15 September 1906. Militer Belanda mulai melakukan agresi militer yang dijawab gagah berani oleh pasukan dan masyarakat Badung. [caption id="attachment_244158" align="alignnone" width="900"] Pasukan Belanda dan rakyat Badung bertempur di Kesiman 19 September 1906. (Foto: Arsip Nasional, Jakarta)[/caption] 20 September 1906 pukul 09.00 waktu Bali. Raja I Gusti Ngurah Denpasar telah berkumpul bersama 250 orang yang terdiri dari keluarga dan para pengikut setia. Puri Denpasar diperintahkan untuk dibakar. Banyaknya nyawa yang tumpas oleh Belanda membuat Raja Badung berhitung cepat. 20 September 1906 pukul 11.00 waktu Bali. Raja dan 250 pengikutnya itu keluar dari Puri Denpasar. Semua membawa keris. Bergerak ke utara melalui pintu gerbang Puri menuju persimpangan jalan Jero Belaluan. Berhadap-hadapan 100 meter dengan pasukan Belanda.

Dr. H.M. van Weede dalam Indische Reisherinneringgen menyebutkan pakaian perang yang dipakai warga Bali tampak indah dan cemerlang. “Raja dengan para pangeran dengan pengikut-pengikutnya memakai busana yang serba indah, bersenjatakan keris dengan ulu keris yang terbuat dari emas berhias permata-permata yang berkilauan. Semuanya berpakaian dalam wana merah atau hitam. Rambut mereka diatur dengan rapi dan ditaburi minyak wangi. Wanita-wanita berdandan dengan pakaian mereka yang paling indah yang mereka miliki, dan semuanya mengenakan selendang putih.” Ini kisah yang paling tragis, Setelah mencapai jarak yang cukup dekat dengan pasukan Belanda, Raja memerintahkan seorang pendeta untuk menusuk dirinya. Tindakan tersebut lalu diikuti oleh seluruh rakyatnya. Mereka saling menikam satu sama lain hingga tewas. [caption id="attachment_244160" align="alignnone" width="673"] Raja Badung dan pengikut setia memilih bunuh diri massal daripada ditangkap dan dijadikan budak oleh Belanda. (Foto: KITLV Leiden)[/caption] Sementara di medan perang rakyat Badung dengan gagah berani merangsek ke barisan militer Belanda. Berlari kencang dengan tombak dan keris menghunus tubuh musuh. Seribu lebih rakyat Badung tewas dalam perang puputan ini. [caption id="attachment_244154" align="alignnone" width="900"] Panglima pasukan ekspedisi Belanda Mayjen M.B. Rost van Tonningen di depan Puri Denpasar setelah mendudukinya pada 20 September 1906. (Foto: KITLV Leiden)[/caption] 20 September 1906 pukul 15.00 waktu Bali Panglima pasukan ekspedisi Belanda Mayjen M.B. Rost van Tonningen mendatangi Puri Denpasar. Memerintahkan upacara dan pengabuan semua rakyat Badung yang tewas dalam agresi pendudukan ini. Bunuh Diri secara Spiritual Bunuh diri yang dilakukan di Badung maupun Alasangker bukanlah bunuh diri dalam arti sederhana pada umumnya. Ini adalah persoalan kehormatan, harga diri dan spiritualitas. Sebagian banyak rakyat Bali tidak pernah mau dijajah. Tidak mudah menyerah pada kesewenang-wenangan. Rakyat Bali adalah orang-orang yang merdeka dalam adat, budaya dan spiritualitas. Sumber:

  1. Sejarah Desa Alasangker
  2. Bali Pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda, Ida Anak Agung Gde Agung, Raja Gianyar (1989).