"Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," imbuh R Haidar Alwi.
Oleh karena itu, menurutnya, jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi.
Karena dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik. Kalaupun dipaksakan ditarik ke ranah politik melalui hak angket di DPR, pelaksanaannya harus dijalankan dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang Undang MD3.
"Sekiranya hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, dikhawatirkan akan timbul gelombang keributan yang lebih besar dari kalangan rakyat yang pro terhadap hasil pemilu. Jangan sampai rakyat dikorbankan demi hasrat elit politik yang haus kekuasaan," papar R Haidar Alwi.
Hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) merepresentasikan 83,6 persen rakyat puas terhadap penyelenggaran pemilu dan 76,4 persen menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil.
"Artinya, kalangan rakyat yang dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. Meskipun partai-partai pengusul jumlah kursinya di DPR lebih besar," ungkap R Haidar Alwi.
Selain itu, hak angket sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR mengenai ada tidaknya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pemilu, juga dinilai tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres tanpa menyertakan Pileg.