Adapun Kapolri selain mendapat tekanan dari Presiden, juga oleh "people power" itu sejak kasus menjadi konsumsi publik. Dalam dua artikel yang lalu, "Babak Baru Horor & Teror 'Kasus Polisi Tembak Polisi'" ( 21 Juli 2022) dan "Terima kasih Jenderal, Telah Mengoreksi Diri" ( 7 Agustus 2022), saya mencatat hampir seluruh permintaan masyarakat, terutama keluarga korban Brigadir Yosua telah dipenuhi Kapolri.
Mulai dari autopsi ulang jenasah hingga pemakaman kembali secara dinas Polri. Kamis (11/8/2022) Satgas Khusus Merah Putih yang dipimpin Ferdy Sambo juga telah dibubarkan. Borok-borok Satgas Merah Putih -- institusi non struktural Polri yang dipimpin Fredy Sambo -- memang kena dampak amuk publik. Jadi bulan- bulanan di media sosial. Dianggap sumber legitimasi kejahatan oknum aparat kepolisian.
Sejauh data yang terungkap, kebetulan memang hampir semua yang terlibat dalam kasus "Polisi Tembak Polisi" adalah anggota Satgas Khusus itu. Suara publik selanjutnya menuntut agar Kapolri mengumumkan alasan pembubarannya. Mereka menghendaki hasil audit aktifitas institusi non struktural itu dipaparkan di depan umum.
Begitulah tampaknya "people power" di era tehnologi digital. Lebih massif, lebih bising dan menyeramkan dibandingkan dengan aksi unjuk rasa fisik sebesar apapun. Gemuruh suara rakyat menembus ruang dan waktu. Menyelinap masuk rumah, kamar tidur, hingga di rumah- rumah penduduk di pelosok desa terpencil di kaki gunung.
Permintaan agar Kapolri mengundurkan diri mereka juga suarakan, masuk dalam list yang terbanyak dipercakapkan di media sosial. Merujuk "fatwa" Kadiv Propam Fredy Sambo di masa jaya yang sekarang dimainkan di media sosial. Fatwa tentang pelanggaran yang dilakukan seorang perwira Polri harus menyeret pejabat dua tingkat di atasnya ikut bertanggung jawab. Memang betul, tidak semua suara yang bergema di ruang publik mengandung kebenaran.
Banyak yang ngawur, berdasar karangan bebas. Juga mengandung ucaran kebencian yang kemungkinan bersumber dari rasa dendam pihak yang pernah merasakan tindak kekerasan dari aparat polisi. Tapi banyak lucu dan menghibur. Ada pula yang pandai merangkai cerita tentang motif pembunuhan secara ekstrim, frontal dengan motif "pelecehan seksual" versi resmi. Soal motif ini sejak awal, memang diulas netizen berseri-seri, sangat mendalam, dan banyak versi.
Sejak awal masyarakat tak mempercayai versi resmi yang sudah dibatalkan Polri. Definisi pelecehan seksual memang janggal untuk dipakai sebagai motif untuk peristiwa itu.