Pembangunan pembangkit nuklir sudah masuk dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral dari pemerintah. Lalu di mana saja calon lokasinya?
Hingga kini pemerintah belum memutuskan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk menggantikan pembangkit tenaga fosil yang menghasilkan emisi besar.
Meski demikian pembangkit nuklir tetap masuk dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Bahkan dalam peta jalan itu, sepanjang 2041-2060 akan dibangun sejumlah PLTN dengan total kapasitas 30 gigawatt (GW).
Pengembang Teknologi Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Suparman menjelaskan, pihaknya sudah melakukan studi kelayakan lokasi pembangkit nuklir di sejumlah wilayah Indonesia.
[caption id="attachment_546255" align="alignnone" width="527"] Grafis: BRIN[/caption]
Meski demikian, membangun PLTN membutuhkan banyak persiapan dan waktu lama, serta yang terpenting adalah keputusan pemerintah untuk memberi lampu hijau dimulainya pembangunan PLTN.
"Ini perlu waktu yang tidak cepat membangun PLTN. Kalau membangun PLTN perlu banyak persiapan. Ini kan kita perlu survei, mau ditaruh dimana, kita juga harus evaluasi tapak, tidak ada patahan gempa yang tinggi, tsunami, banjir dan lain-lain," katanya dalam pelatihan media yang digelar Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Sabtu (23/7/2022).
Sejauh ini sudah ada beberapa lokasi yang menjadi calon pembangunan PLTN di Indonesia. Dua lokasi sudah selesai dievaluasi dan layak jadi lokasi PLTN, yaitu di Muria, Jawa Tengah dan Bangka.
Untuk lokasi lain, seperti di Banten sudah disurvei namun belum dievaluasi. Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Batam sudah dilakukan pra survei.
[caption id="attachment_546253" align="alignnone" width="700"] Sumber: BRIN[/caption]
Tarik Ulur
Suparman mengatakan, jika pemerintah sudah memberi lampu hijau, terlebih dahulu perlu dibentuk NEPIO (
Nuclear Energy Program Implementation organization), sebagai organisasi yang bertugas mempersiapkan pembangunan PLTN.
Ia juga mengakui, rencana pembangunan PLTN seperti tarik ulur lantaran masih adanya persepsi negatif dari sejumlah kalangan tentang pemanfaatan energi nuklir.
Padahal menurutnya, teknologi PLTN makin aman dan masyarakat juga dapat tinggal di sekitarnya dengan jarak aman sekira 1 km.
Suparman mencontohkan, di beberapa negara, lingkungan seputar PLTN jadi tempat penangkaran dan pemeliharaan satwa dilindungi.
Saat ditanya, tentang potensi terjadinya kecelakaan akibat bencana alam, seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang, Suparman menegaskan, kemungkinan itu tetap ada dan dapat diantisipasi sebelumnya dengan persiapan matang, seperti rencana kedaruratan nuklir.
Menurutnya, hal ini sudah diterapkan di Jepang sehingga masyarakat yang tinggal sekitar PLTN di Fukushima dapat selamat dari kejadian tersebut. Kalau pun ada korban, bukan akibat radiasi nuklir, melainkan dari bencana tsunami.
"(PLTN) Fukushima sudah mau pensiun. dan kurang diperhatikan oleh pengelolanya, tapi ternyata ada gempa dan tsunami hingga terjadi kecelakaan. Tapi PLTN di sebelahnya sudah membangun tembok sehingga tsunami tidak mengenai (reaktor)," paparnya.
Apalagi menurut Suparman, teknologi PLTN yang dipakai di Fukushima masih generasi II. Sekarang evolusi teknologi PLTN sudah berada di generasi III dan III+ dan sedang menuju generasi IV yang lebih canggih dan aman.
Tawaran Investasi
Saat ini sejumlah negara sudah menawarkan kerja sama atau investasi pembangunan PLTN di Indonesia, seperti dari Rusia, Prancis, China, Amerika Serikat dan Jepang.
"Soal investasi, beda teknologi beda harganya. Nanti dibidding (lelang red.) dan siapa yang murah dan tidak melupakan aspek keselamatan," katanya.
Meski demikian, Suparman menegaskan, semua itu masih menunggu persetujuan pemerintah terkait rencana pembangunan PLTN.
Indonesia sendiri sudah berpengalaman membangun dan mengoperasikan 3 reaktor riset, yaitu di Serpong dengan kapasitas 30 MW, Bandung 2 MW dan Yogyakarta 100 KW.
Namun soal teknologi pengayaan uranium, Suparman mengakui Indonesia belum memilikinya.
"Ini politis ya, kalau suatu negara punya fasilitas pengayaan (uranium) maka punya kemampuan membuat bom nuklir. Kita blum punya pengayaan karena kita belum punya PLTN," katanya.
"Kalau PLTN sudah di atas 8 atau 10 (unit), secara ekonomi kita bisa membuat bahan bakar nuklir. Kita memang punya buat bahan bakar nuklir tapi baru skala riset," pungkasnya.