Budaya Potong Kerbau dalam Adat Suku Mandailing

Bobby-Kahiyang 1 (Foto : )

www.antvklik.com-Prosesi Manopot Horja atau pernikahan adat Mandailing antara Muhammad Bobby Afif Nasution dengan Kahiyang Ayu akan berlangsung di Kompleks TASBI I BHR No. 123 Medan, mulai 24-25 November 2017, dilanjutkan dengan resepsi pada Minggu, 26 November 2017. Tahap awal dari manopot horja adalah Manalpokkon Lahanan (menyembelih kerbau). Berdasar Horja Siriaon atau pesta adat Mandailing, Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja merupakan pemotongan hewan kurban berupa kerbau. Acara adat pernikahan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dikategorikan sebagai acara adat besar maka lahan ni horja atau hewan yang disembelih adalah kerbau. Upacara Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja yang disaksikan oleh pengetua-pengetua adat ini akan berlangsung pada Jumat (24/11) pagi di Bukit Hijau Residensi, Kompleks Taman Setiabudi Indah, Medan. “Acara memotong kerbau ini merupakan landasan atau tingkatan dari acara yang akan dilakukan. Yang dipotong hanya satu saja meskipun ada beberapa kerbau yang disumbang oleh keluarga,” tutur Dr. Darmin Nasution, selaku suhut yang mewakili keluarga besar Nasution di acara press conference yang digelar Kamis (23/11) di Media Center BHR 123 Medan. Selain Darmin Nasution, paman dari Kahiyang Ayu, Erwan Nasution juga bertindak sebagai suhut kahanggi. H. Pandapotan Nasution, SH, tetua adat Mandailing yang bergelar Patuan Kumala Pandapotan menjelaskan mengenai Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja. Menurutnya ada tiga tingkatan kurban yang bisa disesuaikan dengan tingkat besar atau kecilnya pesta hajat yang akan digelar. “Apabila suhut atau empunya hajat tidak mengadakan pesta secara besar-besaran, maka dia bisa mengurbankan seekor ayam. Hewan kambing bisa dipilih untuk memenuhi syarat kurban pesta kelas menengah, sedangkan pesta besar mensyaratkan kurban minimal seekor kerbau. Dalam hal jumlah hewan yang akan dikurbankan pun, hukum adat Mandailing hanya mensyaratkan seekor hewan, tetapi jika suhut mampu mengurbankan lebih pun tak jadi soal,” ujar H. Pandapotan Nasution, SH. Masyarakat Mandailing dikenal tidak suka memamerkan diri sehingga ketika seseorang akan mengurbankan kerbau maka akan memberitahukan peserta upacara adat bahwa ia akan mengurbankan “anak ayam.” Padahal penyebutan ini justru menandakan pesta adat yang akan digelar akan berlangsung secara besar-besaran. Penggunaan kerbau sebagai hewan kurban bukan tanpa alasan. Kerbau sudah digunakan sebagai hewan kurban sejak dahulu kala oleh masyarakat suku Mandailing, sedangkan sebagai alat transportasi, kerbau dimanfaatkan mengangkut hasil-hasil pertanian. Menurut perkiraan sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha (abad ke- XI – XIV M), kegiatan pertanian sudah dilaksanakan masyarakat. Kemudian dengan masuknya teknologi (bajak), pertanian pun kian berkembang. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertanian terbukti dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Batak, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan manusia, seperti tenggala roda dan sisir kayu. Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8-12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan besarnya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di sana. Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitik seperti Toraja, Mandailing, Sumba, Dayak Ngaju, dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering dikurbankan pada upacara-upacara adat seperti upacara kematian (rambu solo’, marapu, tiwah, saur matua dan mangokal holi), atau pembangunan rumah adat. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat.   Kerbau, bagian penting upacara adat Mandailing Pada masyarakat Mandailing dikenal upacara kematian seperti saur matua dan mangokal holi. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan, serta diiringi dengan tarian tor-tor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar juhut Demikian halnya pada upacara adat lainnya seperti manopot horja (acara perkawinan), horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur) dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar. Pada pembagian pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan. Bagian Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat, bagian leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru, paha dan kaki (soit) untuk pihak dongan sabutuha, punggung dan rusuk (panamboli) & somba-somba untuk pihak hula-hula, dan bagian belakang (ihur-ihur ) untuk pihak hasuhuton. Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi hewan tersebut. Menilik kondisi situs Batu Gajah, Simalungun yang merupakan situs megalitik maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat terhadap kerbau pada masa kini kemungkinan kebutuhannya tidak jauh berbeda. Selain untuk dikonsumsi sebagai hewan kurban, kerbau juga membantu mengolah lahan petanian dan sebagai alat transportasi. Sampai sekarang kerbau kerbau masih digunakan sebagai hewan kurban pada acara-acara yang bernilai sakral bagi masyarakat Mandailing, termasuk juga dalam pesta perkawinan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu. Sedangkan makna kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti kambing dan ayam. Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, dimana kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial pemiliknya. “Satu saja kerbau yang dipotong, karena makin banyak makin kacau acaranya. Hal ini hanya menunjukkan status adatnya apa? Dan ini tergantung ternaknya apa, bukan jumlahnya,” ujar Darmin Nasution yang bergelar adat Sutan Kumala Sakti. “Dalam acara adat Mandailing atau Batak secara keseluruhan, kalau upacara adat yang paling tinggi statusnya maka hewan yang dipotong pasti kerbau. Kalau yang dipotong lembu ya tidak bisa dijalankan acaranya sesuai adat.” Pada prosesi Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja di dalam pesta adat Bobby dan Kahiyang, aka nada 10 ekor kerbau yang akan dikurbankan. Namun demikian karena sifatnya simbolis, maka acara adat potong hewan yang berlangsung di kompleks Tasbi BHR ini hanya menggunakan satu ekor kerbau. Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja menandakan acara adat Manopot Horja telah mendapat restu dari raja-raja Mandailing dan bisa dimulai pada Jumat, 24 November 2017. Sumber : Media Center Medan Desi  Djayanti