Apalagi, Minggu pagi itu, Ibu Zuraida tidak menunjukkan tanda apa-apa, tanda spesifik hendak menghadap Illahi. Sakit pun tidak. Ibu Zuraida malah sedang menikmati sarapan di meja makan di ruang tengah rumahnya. Rosihan yang berpuasa menemani, kemudian pamit sebentar ke toilet. Saat ditinggal ke kamar mandi itulah Zuraida terjatuh dari kursi rodanya. Posisinya tertelungkup, satu meter jaraknya dari kursi roda. Ibu Zuraida segara dibopong ke tempat tidur, namun jiwanya sudah tak tertolong. "Cuma sekejap itu saja dia sudah hilang, sudah pergi, pergi selamalamanya," kenang wartawan kawakan itu di rumah duka.Ibu Zuraida dipanggil Sang Khalik lima hari sebelum Idul Fitri, lima belas hari sebelum almarhumah berulang tahun ke 87 pada 20 September 2010. Dipercaya banyak orang, kepergiannya di bulan Ramadhan, bulan mulia, pertanda bagus. Insya Allah, almarhumah termasuk yang disucikan Allah SWT, malah lebih dulu lima hari dari seluruh umat Islam yang akan merayakan Idul Fitri.
Romansa Masa pendudukan Jepang
Rosihan Anwar dan Siti Zuraida bertemu pada masa pendudukan Jepang. Pasangan itu menikah, 25 April 1947, di masa revolusi kemerdekaan. Mereka merupakan satu dari sedikit pasangan yang merasakan pahit getir perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi. Maka, ketika pagi itu Tuhan menjemput Ibu Siti Zuraida niscaya itu kehilangan amat besar dan berat bagi Pak Ros.Lebih 63 tahun pasangan itu mengarungi bahtera perkawinan. Mereka dikaruniai tiga anak, Aida Fatia, Omar Lutfi, dan Naila, serta ada enam cucu. Perjuangan dan cinta seolah ikut berperan dalam perjalanan hidup mereka.Hubungan cinta kasih pasangan itu memang bersemai di masa revolusi kemerdekaan. Ibu Zuraida masa itu tinggal di Yogyakarta. Pak Ros pernah membuka rahasia, mengapa dulu sering sekali meliput perjalanan Perdana Menteri (PM) Syahrir bolak balik Jakarta-Yogyakarta. Itu karena separuh panggilan tugas, separuh lagi sebab panggilan cinta, guraunya.Cinta pasangan ini tak pernah luntur. Kebetulan saya ikut mengamati. Setidak-tidaknya tigapuluh tahun terakhir dalam perjalanan ke mana pun dalam rangka tugas apapun, mereka selalu pergi berdua. Puluhan kali saya bertemu dalam perjalanan mengikuti kegiatan festival film di dalam maupun di luar negeri.Begitu juga dengan perjalanan dalam rangka kegiatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), mereka tak terpisahkan. Di dunia film sekian belas tahun Pak Ros duduk sebagai anggota Dewan Film Nasional, dan juga sebagai anggota Dewan Juri. Begitu halnya di PWI, puluhan tahun Pak Ros menjadi pengurus di organisasi wartawan yang ikut dia dirikan pada tahun 1946. Saya beruntung karena kaitan tugas di bidang sama, sehingga sering bertemu pasangan ini.Pak Ros dan Ibu Zuraida adalah simbol sebaik-baik pasangan rumah tangga. Kami bersepakat dengan banyak teman menjadikan mereka sebagai pasangan idola. Pasangan itu merupakan nomor bukti dari ungkapan ibarat mangkuk dan tutupnya.
Soulmate
Menarik mengulas rumah tangga Ayatollah wartawan Indonesia ini.Sebagai wartawan, Rosihan dikenal garang, tapi sebagai suami ia terbilang lelaki penurut. Beberapa peristiwa penting dalam hidupnya ditentukan oleh kendali Zuraida. Ambil contoh pada 1970 ketika Rosihan ditawari jabatan duta besar Indonesia untuk Vietnam oleh Presiden Soeharto. Begitu tahu, Zuraida langsung bilang tidak. Rosihan tak bisa membantah.Ia pun mengirim surat penolakan kepada Presiden Soeharto. “Mau bilang apa lagi, putusan ibu seperti itu,” ujar Pak Ros. Gegara mematuhi istri, Pak Harto kabarnya sempat memendam rasa kecewa kepada Pak Ros. Itu diungkap Ibu Tien kepada Pak Ros dalam suatu kesempatan. Malah, santer jadi bahan pembicaraan di kalangan terbatas wartawan, penolakan tersebut diramalkan peluang wartawan jadi duta besar akan tertutup. Syukurlah itu tidak terbukti.Di masa tua, perhatian Pak Ros terhadap Ibu Zuraida maupun sebaliknya menakjubkan, tidak usang ditelan waktu. Kerika Ibu Zuraida dirawat karena sesuatu penyakit Rosihan menangis sesenggukan. Saya tahu karena Pak Ros secara khusus menelpon saya menginformasikan keadaan menghawatirkan Ibu Zuraida yang sedang opname di Metropolitan Medical Center (MMC). Mereka adalah belahan jiwa (soulmate) satu sama lain.Di hari wafat Ibu Zuraida, Pak Ros menangis di telepon. Begitu juga ketika saya datang melayat ke rumah duka. Matanya basah ketika memeluk saya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, di pembaringan, almarhumah Ibu Zuraida seperti hanya tertidur. Wajahnya bersih membersitkan senyum, seakan bahagia karena kembali dengan tenang kepada pemiliknya yang sah, Sang Khalik.Ibu Zuraida di makamkan di TPU Karet di dalam pemakaman keluarga Pahlawan Nasional Mohammad Husni Thamrin.
Lahir Empat Buku
Tapi Subhanallah, sepeninggal Ibu Zuraida Pak Ros berhasil merampungkan empat buku, terakhir memoar kisah cinta mereka dengan judul "Belahan Jiwa ".Semasa hidup Pak Ros menulis sekitar 30 buku.Waktu saya besuk di ICU RS MMC, Pak Ros bersemangat sekalimenceritakan memoar itu. Bukan keluhan mengenai gangguan jantungnya gegara bergadang untuk merampungkan buku tersebut.Menulis bagaikan tarikan napas sehari-hari bagi Pak Ros. Setiap minggu beliau bisa melayani permintaan artikel dari belasan media, daerah, nasional, dan internasional. Ribuan tulisannya dimuat berbagai media, di daerah, nasional maupun internasional. Belakang hari, menjelang wafat, Pak Ros mengaku produktivitasnya mulai menurun. Sekarang hanya menulis secara rutin di Tabloid C&R, katanya, waktu itu.Pak Ros menjadi kolumnis sejak Tabloid C&R berdiri, 24 Agustus 1998, hingga akhir hayatnya. Bahkan, di hari pertama dirawat ruang ICU RS MMC, 7 Maret 2011 beliau sempat menanyakan apakah tulisannya untuk kolom Halo Selebriti edisi 654/9-16 Maret 2011, sudah sampai di tangan redaksi. Dan, ia sudah mengisyaratkan itulah tulisan terakhirnya.Saya masih ingat ceritanya. Sore hari itu rekan Indro “Warkop” kebetulan berada di RS MMC mengantar anaknya. Secara tak sengaja Indro melihat Pak Ros didorong dengan kereta menuju ruang ICU. Indro menelepon saya menanyakan apakah mengetahui Pak Ros masuk RS? Segera saya minta Indro membantu menghubungkan saya dengan keluarga yang mengantar. Di luar dugaan Pak Ros sendirilah yang menyambar telepon. Pertanyaaan pertama, dari mana saya tahu beliau masuk RS? Kedua, apakah tulisannya sudah diterima? "Tolong umumkan, mulai minggu depan saya absen,” katanya. Kenapa? “Karena saya, kan, masuk ICU,” alasannya. "Jangan khawatir, Pak Ros segera sembuh," sambar saya cepat.Informasi mengenai Pak Ros masuk RS saya tulis di twitter yang segera disambung dengan "retweet" oleh berbagai pihak, selanjutnya informasi itu berkembang di berbagai media online. Sejumlah televisi menyiarkan di running text. Keluarga dan pihak RS terkejut karena kurang setengah jam sejak itu, RS MMC diserbu "sejuta umat" insan media. Keluarga sempat cemas, mereka menghubungi saya. Saya mencoba menenangkan. Itu hal wajar, Pak Ros bukan hanya milik keluarga, bukan hanya milik pers, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. RS memang berhak melarang wartawan masuk, tapi keluarga wajib memberi keterangan kepada wartawan, di luar. Begitu nasihat saya pada keluarga. Ada beberapa lama RS melarang Pak Ros dibesuk.Tapi suatu sore, saya dan rekan Marah Sakti bisa "lolos" membesuk beliau di ruang ICU. Dokter yang memergoki saya memeringatkan supaya jangan lama-lama. Pak Ros menyahuti dokter, " dia anak saya" menunjuk kami. Sore itu ia bersemangat sekali menceritakan telah berhasil merampungkan buku kisah Pak Ros dengan almarhum istrinya, Ibu Hj. Zuraida.Dari MMC, Pak Ros dirujuk ke RS Medistra untuk menjalani kateter. Dari Medistra kemudian pindah ke RS Harapan Kita. Di sini proses observasi dilakukan. Saya dan Marah Sakti kembali menjenguk beliau menjelang tindakan bypass.Wajahnya sumringah menyambut. Tak tampak kesan gentar menghadapi operasi bedah jantung yang menurut dokter sendiri adalah pilihan terakhir karena itu amat berisiko dilakukan pada orang seusia Pak Ros.