Melalui kuasa hukumnya, Dadang Danie P, SH, tersangka Leohardy Fanani mempraperadilankan Polres Bantul karena penyidik kepolisian dinilai banyak melakukan kejanggalan dan kesalahan prosedur. Gugatan pra peradilan yang diajukan Leohardy Fanani yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memasuki sidang ketiga Jumat (31/12/2021) di PN Bantul.Sidang yang dipimpin hakim tunggal, Gatot Raharjo SH, MH mendengarkan keterangan saksi ahli JS Murdomo SH, Mhum yang diajukan pemohon.Selain itu, hakim juga mendengarkan keterangan dua penyidik Polres Bantul yang menangani perkara tersebut, Ali Mahfud SH dan Dian Yuni Anggreani.Tim kuasa hukum tergugat dari Polda DIY, diketuai KBP Surisman SIK, MH hadir pula di persidangan.Saksi ahli Murdomo menyampaikan ketentuan kaitan proses terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), diikuti Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang seharusnya diterima tersangka Leohardy.Ia menilai kasus yang dialami terdakwa tidak bisa dipaksakan secara pidana. “Kalau yang saya lihat, kasus merugikan perusahaan seperti ini termasuk kasus perdata,” kata saksi ahli Murdomo.Hal lain yang disampaikan saksi ahli yakni masalah dalam hukum acara, bahwa penetapan tersangka itu kaitan dengan hak asasi manusia.“Jadi, jangan mudah menetapkan tersangka. Itu menyangkut kelurganya, ia (tersangka) sendiri, dan masyarakat sekitar,” sebutnya.Sebelumnya, kuasa hukum Dadang menyebutkan, dalam proses penyidikan kliennya oleh penyidik ada dua Sprindik yang mengundang pertanyaan.Ia juga mempermasalahkan hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Henry dan Sugeng yang diakui Polres Bantul merupakan audit independen. Dan kemudian dijadikan alat bukti penetapan status tersangka bagi kliennya.Menurut Dadang, acuan pemanggilan Leohardy untuk diambil keterangan sebagai tersangka merujuk pada surat yang salah, seharusnya sebagai saksi.Meski demikian, proses pengambilan keterangan sebagai tersangka tetap dilaksanakan penyidik.Sebelum dilaporkan pada 26 Oktober 2020 di Polres Bantul, PT Pixel Perdana Jaya melalui pengacaranya Pitoyo SH, MH dari Law Office Alianto Wijaya SH, MH & Rekan telah mengambil paksa sertifikat tanah dan bangunan milik Lusi Harianto yakni isteri dari Leohardy pada 24 Agustus 2020.“Fakta pengambilan paksa sertifikat itu diabaikan oleh penyidik,” katanya. Nilai kerugian yang diderita PT Pixel Perdana Jaya atas perbuatan Leohardy periode 2016 – 2019 juga disebut berubah-ubah.Dalam Berita Acara Serah Terima Penyerahan Sertifikat 24 Agustus 2020 dikatakan kerugian PT Pixel Perdana Jaya sebesar Rp 5,5 miliar dan kerugian ini ditegaskan lagi oleh Pitoyo SH pada 29 Oktober 2020 bahwa kerugian Rp 5,5 miliar berdasarkan audit internal.Ketika dilaporkan ke Polres Bantul pada 26 Oktober 2020 kerugian yang sebesar Rp 3 miliar. Namun ketika Leohardy diperiksa pertama kali pada 15 Maret 2021, kerugian perusahaan sebesar Rp 2,2 miliar berdasarkan audit internal.Terakhir ketika penetapan tersangka, kerugian perusahaan sebesar Rp 2,2 miliar yang hasil audit independen yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Henry dan Sugeng.Berdasarkan hasil audit ini, Polres menetapkan Leohardy sebagai tersangka. Menurut Dadang hasil audit tidak valid karena dalam proses penentuan auditor independen Polres Bantul tidak meminta persetujuan kliennya.Auditor yang diaku independen oleh penyidik Polres Bantul, kata Dadang, juga dipilih PT Pixel Perdana Jaya sendiri.Yang paling penting adalah Leohardy yang dituduh merugikan perusahaan tidak diwawancarai Kantor Akuntan Publik Henry & Sugeng.Sementara menurut Leohardy, uang yang digunakan sebesar Rp 678 juta dan itu seharusnya sudah impas dengan diambilnya sertifikat yang nilainya Rp 1,3 miliar. Santos Suparman | Yogyakarta
Gugatan Pra Peradilan Seorang Warga Ke Polres Bantul Mulai Disidangkan
Sabtu, 1 Januari 2022 - 22:12 WIB
Baca Juga :