Ketika Rindu Buya Hamka, Sosok Ulama, Sastrawan dan Humanis

Ketika Rindu Buya Hamka, Sosok Ulama, Sastrawan dan Humanis (Foto Istimewa) (Foto : )

Waktu itu saya masih duduk di kelas enam Sekolah Rakyat Latihan di Jalan Jawa (sekarang: jln. HOS Cokroaminoto) Jakarta, sekltar tahun 1957/1958. Guru membiasakan kami murid-murid- membaca buku-buku sastra populer. Di antara buku-buku yang sempat saya lulur waktu itu adalah 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' dan 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck', dua di antara sekian banyak buku yang ditulis Hamka. Itulah pertama kall saya "mengenal" Hamka. Begltu pandai pangarangnya mangungkapkan suasana, sehingga jalan cerita kedua buku itu masih melekat pada pikiran saya sampal sekarang, setelah mengendap selama kurang-leblh dua puluh tahun. Beberapa tahun setelah "mengenal" Hamka itu, ketika orangtua saya pindah rumah ke Kebayoran Baru, saya sering diajak bellau barsembahyang Jum'at di Meajld Agung Al Azhar. Setiap kall bersembahyang di sana, yang menjadi Imam dan Khattib adalah juga seorang bernama Hamka. Suatu hari, saya katakan pada ayah saya bahwa pengarang buku 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' dan 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' pun Hamka pula namanya. Setelah dijelaskan ayah, barulah saya tahu bahwa Hamka pengarang yang memukau itu adalah juga Hamka yang khotbah-khotbahnya mempesona. Hamka yang sastrawan, yang mulanya saya bayangkan sebagai seorang seniman urakan, ternyata adalah seorang ulama, yang mulai terkemuka waktu itu. Bila Buya Hamka -demikian orang biasanya memanggil- beliau berkhotbah, saya senantiasa tertarik pade isi khotbahnya yang mantap serta terutama gayanya yang memukau. Pidatonya hidup. Suaranya lantang meninggi bila sedang berapi-api, tapi sejenak kemudian bisa pula merendah parau bahkan seringkall disertai cucuran airmata bila menyinggung soal kebesaran Illahi. Figur pribadi Hamka yang menarik itu pulalah yeng senentiasa mengimbau saya untuk setia bersembahyang Jum'at di Masjid Al Azhar. Begitu pula dengan sholat led. Mesklpun sudah lima tahun Ini saya tidak lagi bertempat tinggal di Kebayoran, tapi karena sudah terbiasa, selalulah saya kejarkan bersembahyang led di lapangan Masjid Al Azhar. Satu pertanyaan senantiasa "menggoda" setiap manjelang sholat Jum'at atau 'led: apa yang akan dikhotbahkan Hamka kal ini? SECARA fisik perkenalan saya dengan Buya Hamka barulah terlangsung tahun 1972. Waktu Itu bulan puasa dan dua hari lagl Hari Raya Idul Fitri akan tiba. Sebagai wartawan Harian KOMPAS, Pemimpin Redaksi menugaskan saya mewawancarai Prof. Dr.  Hamka untuk suatu tulisan menyambut Lebaran. Mulanya saya mengira, tentu sukar menemul seorang ulama besar dan terkemuka seperti Hamka. Maka saya buka buku petunjuk nomor telepon, saya cari nama Hamka dan saya cobalah menelepon beliau untuk minta waktu berwawancara. Melalul telopon, saya tanyakan kapan beliau punya waktu menerima saya. Ternyata perkiraan saya sangat meleset! Jawaban yang saya dapat dari Prof. Dr. Hamka waktu Itu adalah, bahwa saya dipersilahkan datang kapan saja saya mau. Sejak itu acapkall saya datang menemul Buya Hamka. Kadang-kadang untuk mewawancarainya sehubungan dengan menyongsong Lebaran atau untuk minta pendapatnya selaku ulama mengenai kasus-kasus aktuil yang bertalian dengan Islam atau Majelis Ulama Indonesia. Acapkali juga sekadar bersilaturrahmi yang biasanya saya manfaatkan sekaligus untuk bertanya-tanya ini-itu tentang pengetahuan keislaman. Dari banyak rekan wartawan yang sering mewawancarai Prof. Dr. Hamka, saya dengar bahwa memang beliau tidak pernah mangecewakan wartawan. Siapapun, dari mass-media manapun bebas datang dan bartanya. Sepanjang yang saya alami belumlah pernah kata "no comment" atau semacamnya, terlontar dari mulut beliau. Pertanyaan peka macam apapun, selalu beroleh jawaban dari Prof. Hamka. Di sini pulalah keistimewaan Buya Hamka, sehingga akhirnya saya sendirilah sebagal wartawan, yang acapkali terpaksa menimbang-nimbang, apakah semua penjelasan dan komentarnya parlu saya tulis di suratkabar. Pintu rumah Buya Hamka ternyata bukan untuk wartawan saja terbuka. Setiap hari, pagi dan petang. banyak orang datang bertamu. Umumnya hendak minta fatwa beliau tentang berbagai masalah kehidupan yang mereka hadapi. Berbegai kemelut rumah tangga, macam-macam persoalan pribadi yang rumlt-rumit, sering dibawa orang ke telinga Buya Hamka. Tantu saja dengan harapan mendengar sesuatu petunjuk kaluar deri mulut beliau, fatwa yang bernafaskan lslam. Prof. Dr. Hamka memang membarl kesan seolah "kamus hidup" tentang ajaran Islam. Agaknya, yang menambah-nambah senang orang minta fatwa pada Hamka antara lain karena pandangan-pandangannya yang realistis, tidak kolot. Petunjuk-petunjuk yang diberlkannya tentang ajaran Islam, senantiasa memberi kesan bahwa lslam bukanlah agama yang sulit dan rewel. Islam banyak memberi kelapangan-kelapangan sebagai alternatif, sampai batas-batas tertentu. Yang kolot bukanlah lslam-nya. Kalau sampai terkilas kesan "kolot", itu hanyalah disebabkan pandangan seseorang yang menafsirkanya menurut pemiklran yang semplt. Bile seseorang menghadapi problema yang suit dan kemudian membayangkan pemecahan yang rumit pula dari segi Islam, biasanya Buya Hamka memiliki kamampuan tersendiri mengemukakan pandangan-pandangannya secara mudah dan realistis. Yang penting, adanya niat yang balk. Meskipun usianya sudah lanjut (lahir pada 14 Muharram 1328 Hijriah atau bertepatan dengan 17 Pebruarl 1908), namun Hamka mampu menyalami lekuk-liku gajolak jiwa anak muda. Maka tidaklah mengherankan, ketika suratkabar-suratkabar ramai memberitakan kasus "Syarifa-Jemaar" kisah cinta merana seorang pemuda bernama Jemsar Salim al Hadar dengan kekasihnya Syarifa Syifa yang sempat menelan silet, Hamka-pun tampll sebagai ulama humanis. Dinikahkannya pasangan yang sempat merebut simpati masyarakat itu, pada 18 April 1974. Mungkin karena pandangan-pandangannya yang moderat dan realistis itulah, Hamka tldak hanya digendrungi kaum tua, melainkan barhasil menanam kharisma tersendiri di kalangan genarasi muda Islam. Sebaliknyapun, Hamka menaruh perhatian tersendiri pada generasi muda. la resah melihat anak-anak muda yang kecanduan ganja dan morfin, tapi tersenyum cerah mandengar ramainya suara anak muda mengaminl bacaan "Fatihah"-nya dalam sembahyang Tarawih setiap malam puasa di Masjid Al Azhar. BULAN Juni 1974. Kebetulan saya ditugaskan Harian KOMPAS meng-cover Konperensi Islam ke-V Para Menteri Luar Negeri (The Fifth lslamic Conference of Foreign Ministres) di Kualalumpur. Suatu hari ketika berkesempatan jalan-jalan di jantung Ibukota Malaysia itu, pandangan saya tertumbuk pada wajah Prof. Dr. Hamka yang manghiasi sampul muka sebuah majalah, di kios buku. Saya beli majalah tersebut -Al lslam, terbitan Malaysia. Di dalamnya terdapat cover-story tentang Hamka, yang beberapa waktu sebelumnya baru saja memperoleh gelar Doctor kesusastraan dari Fakulti Pengajian Islam Unlvarsiti Kabangsaan, Malaysia. Memang, Hamka dikenal bukan cuma di tanah airnya sendiri. Di Malaysia, seperti juga di beberapa negara Timur Tengah terutama Saudi Arabia dan Mesir, nama Hamka tak asing lagi. Bagi seorang putera Indonesia, popularitas di Timur Tengah semacam itu hanyalah Mohammmad Natsir yang mampu menandinginya. Di Timur Tengah ini pulalah, yakni di Tanah Suci Mekkah, saya berkesampatan mengenal lebih mendalam pribadi Hamka. Waktu itu saya sedang berada di Mekkah menunaikan ibadah haji pertama kali. Suatu hari, ketika sedang mancari-cari tempat barsembahyang di Masjidil Haram, bertemulah saya dengan beliau. Buya Hamka juga sedang naik haji barsama lstri dan dua anak beliau. ' Sejak pertemuan itu, Hamka yang hangat itupun sering mengajak saya makan di rumah Syekh tempatnya menginap. Sesekali ajakan itu saya turuti juga, sekalian pelepasan rindu pada masakan Indonesia di Tanah Arab. Tapl diam-diam saya jadi berpikir sendiri: mengapa Buya Hamka begitu "getol" mengajak saya makan bersama keluarga beliau? Belakangan, barulah saya tahu duduk perkaranya. Ternyata malihat saya naik haji sendirian dalam usia muda seperti itu, beliau terkenang pengalamannya katika naik haji pertama kali pada tahun 1927, dalam usia 19 tahun. Makan susah, harus mengusahakannya sendiri. Bukan main senangnya hati bila ada seseorang yang baik mengajaknya makan masakan Indonesia. Tapi begitu mulai nampak berubah wajah orang itu, Hamka pun tahu diri dan tidak muncul-muncul lagi. Sebagaimana kemudian beliau ungkapkan sendiri, perasaan itulah yang menggerakan hati Buya Hamka mengajak saya agar mau datang setiap waktu makan selama di Mekkah. Pengalaman di Kota Mekkah Itu memang cuma soal kecil. Tapl bagi saya, hal itu membuktikan betapa kuatnya humanitas seorang tokoh terkemuka seperti Prof. Dr. Hamka. Kalau mau, bisa saja baliau membatasi tamu-tamu yang datang ke rumahnya pagi dan petang setiap hari, hanya untuk orang-orang yang membawa urusan penting-penting saja. Tapi tidaklah demikian yang dilakukan Hamka. Pintu rumahnya senantiasa terbuka bagi siapa saja. Bahkan pengemls, beberapa kali sempat saya saksikan menerima sedekah langsung dari saku Hamka dan diulurkan oleh tangan tokoh ltu sendiri! ORANG yang pandai mengarang, biasanya lemah saat berpidato. Sebaliknya yang hebat berpidato, umumnya kurang mahir menuangkan pamikiran-pemikirannya ke dalam bentuk karangan. Tapi pada diri Hamka terdapat penyimpangan. la ditakdirkan Tuhan memilki keduanya sekaligus, sama kuatnya. Hamka adalah orator dan penulis yeng tajam. la bisa menjadi "Singa" di atas mimbar dakwah, dangan keahliannya berpidato menyampaikan khotbah-khotbah yang bersemangat. Sebaliknya Hamka pun bisa lembut membelai, laksana siraman air dingin yang menyejukkan jemaahnya, mampu menghasilkan khotbah-khotbah yang menggelitik naluri kamanusian seseorang untuk menangis kamudian bertobat. Kemampuan semacam itupun berhasil dituangkannya dalam bentuk berbagai karangan, baik di buku maupun mass-media. Hamka juga seorang yang memiliki daya ingat yang sangat kuat. Belum lama berselang, katika saya mengajukan berbagai pertanyaan kepada beliau dalam suatu wawancara, Hamka sempat memotong: Kalau tidak salah, soal ini sudah pernah ananda tanyakan beberapa tahun yang lalu". Dan ketika di kantor, saya balik-balik dokumentasi lama, ternyata benarlah bahwa soal itu sudah pernah dibuat di suratkabar. Malahan waktu itu saya jugalah yang mewawancari beliau dan saya sendiri pula yang menulisnya di KOMPAS. Dalam hati, saya yang masih berusia 30 tahun inipun salut pada daya ingat Buya Hamka yang begitu kuat. Agaknya, daya ingat yang lstimewa inilah yang antara lain berhasil membentuk Hamka sebagai pribadi dan tokoh terkemuka seperti keadaannya sekarang inl. Sebab kalau hanya melhat pendidikan formil yang pernah dilaluinya, mulanya beliau hanyalah tamatan kelas dua Sekolah Desa. Dari sana masuk Sekolah Agama, itupun cuma lima tahun. Sebagian terbesar ilmu yang dimilikinya diperoleh dari pendidikan non-formil. Darl ayah bellau, Haji Abdul Karim, dari abang iparnya, AR Sutan Makmur, dari tokoh Sjarikat Islam, HOS Tjokroaminoto dan sederet nama besar lainnya. Kesemuanya itu manjadi semakin mantap karena kegemaran Hamka melulur pengetahuan dari buku-buku. Bukan cuma buku-buku tentang agama, melainkan juga barbagai buku lImu pangetahuan, terutama filsafat. Salah satu ciri Prof. Dr.  Hamka yang mengasyikkan bila berwawancara dengannya, adalah pandainya beliau mengemukakan pandangan tentang agama dengan menyelip-nyelipkan berbagai teori lImu Pengetahuan. la berbicara tentang Islam, tapi disinggung-singgungnya pula pendapat Darwin, Socrates atau Plato dan sebagainya. Dengan cara seperti ini, timbul kesan bahwa Hamka juga tahu banyak tentang berbagai pengatahuan di luar Islam. Dan melihat pamikiran-pamikirannya yang begitu luas, orangpun sukar mencapnya sebagai ulama kolot. Encik Razali Nawawi, Dekan Fakulti Pengajian lslam Universiti Kebangsaan (Maleysia), membedakan Hamka dengan Mohammad Natsir, Katanya: Natsir bermula darl pendidikan Belenda Barat, manuju kepada keulamaan; semantara Hamka justru seorang ulama yang melengkapi diri dengan pengetahuan Intelektuil. Natsir seorang intelektuil-ulama, sementara Hamka ulama-intelektuil. Yang jelas kedua tokoh itu memilki bobotnya masing-masing. Yang satu pemikiran-pemikiran Intelektualnya bernafaskan lslam, yang satu lagi keislamannya ditunjang dengan bobot Intelektuil. BAHWA Prof. Dr. Hamka juga seorang figur yang kokoh memegang sikapnya, terlalu banyak contoh untuk disebut. Bahwa semasa pemerintahan Presiden Soekarno beliau sempat masuk penjara, cukuplah menunjukkan keteguhannya berpijak di atas prinsip. Tapi Hamka juge memilki suatu kelabihan yang cukup menonjol. lbarat pengemudi mobil yang harus menjaga keselamatan umat yang mengikutinya, beliau tahu benar kapan saatnya harus menginjak pedal rem dan kapen waktunye tancap gas! Saya berpendapat Hamka seorang pemimpin yang berparhitungan masak. Kalau perhitungannya sampai pada kesimpulan mengambil suatu langkah tertentu, dipasangnya langkah itu kuat-kuat. Dan kalaupun ada orang yang mencemoohkan langkahnya itu, ia akan tetap pada pendiriannya dengen keyakinan bahwa suatau masa akan tiba juga saatnya membuktikan bahwa langkahnya benar dan ia tidaklah seperti yang semula dipersangkakan orang. Prof. Dr. Hamka adalah pemuka Islam yang berpegang kepade motto: "Falsafeh sebagai penjelesan hidup: kesusasterean sebagal nyanyian hidup: kesenian sebegai perhiasan hidup; tassawuf sebagel intisarl hidup dan ibadah sebegal pegangan hidup" "Semuanya untuk hidup! Karena, hidup yang tinggi dan panjang adalah yang bernilai. Bahkan maut sendiripun adalah patri dari hidup yang bernilai!".  Penulis: H. Azkarmin Zaini - Tokoh Jurnalis Indonesia