Eksplorasi Geothermal di Indonesia Sejak Zaman Belanda, Mengapa Tak Berkembang Pesat?

pltp esdm go id (Foto : )

Potensi energi geothermal atau panas bumi di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di dunia. Bahkan eksplorasi energi terbarukan itu sudah digelar sejak zaman Belanda. Lalu mengapa tidak berkembang pesat? Sebagai negeri yang dikeliling gunung berapi (ring of fire), Indonesia memiliki banyak potensi geothermal dunia. Bahkan potensi geothermal di negeri ini mencapai 40 persen total kapasitas dunia. Tak heran saat zaman kolonial Belanda, sudah dilakukan pengeboran pertama Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Garut, Jawa Barat. Dalam pelatihan media yang digelar Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) secara virtual, Sabtu (25/9/2021) Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono menyebut, baru ada 16 PLTP di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah menyiapkan berbagai skema dan insentif agar pemanfaatan energi terbarukan itu terus meningkat. Eko juga mengakui tidak mudah mempercepat pengembangan geothermal karena biaya investasi yang mahal. Bahkan nilainya dapat mencapai 4 juta dollar per megawatt. Padahal menurut Vice Chairman Jakarta Drilling Society, Ashadi, ketersediaan energi geothermal selama 24 jam tanpa henti. Ini berbeda dengan tenaga surya yang mengandalkan sinar matahari yang hanya ada pada siang hari. Selain itu energi geothermal memiliki tingkat polusi yang rendah sekali. Apalagi potensi geothermal di Indonesia sangat tinggi sekali. Seperti di Sumatera potensinya dapat mencapai 9 gigawatt dan di Jawa sebesar 8 gigawatt. [caption id="attachment_496011" align="alignnone" width="900"] Grafik: Huttrer 2020[/caption]

Kendala Pengembangan

Meski demikian, Ashadi mengungkapkan, ada sejumlah kendala mengapa energi geothermal kurang berkembang. Salah satunya adalah risiko saat pengeboran dimana  belum tentu didapat panas bumi yang diinginkan di lokasi tersebut. Selain itu mulai dari survei sampai operasional PLTP, rata-rata dibutuhkan waktu hingga selama 7 tahun. Ini tentu memerlukan modal yang tak sedikit hingga akhirnya investor dapat memetik keuntungan. Namun sekarang, sudah ada terobosan yang dapat mempersingkat waktu pemanfaatan energi geothermal. Menurut Ashadi, ini berkat kemajuan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia yang terus meningkat. Dengan waktu yang lebih singkat dan teknologi yang digunakan lebih efisien tentu akan berdampak pada tarif listrik yang lebih murah. Apalagi pemerintah juga membantu pengeboran sehingga risiko investor dapat diturunkan. Ini terkait dengan target pemerintah untuk mencapai nol persen emisi pada 2060 mendatang.