Dua insinyur asal Indonesia ikut mengembangkan pesawat dan roket yang lebih canggih di Amerika Serikat. Yuk, kenalan dengan keduanya.
Amerika Serikat berambisi kembali mengirim astronaut ke Bulan sebelum 2024 dan pada akhirnya ke planet Mars.
Target itu semakin dekat dengan pembangunan Space Launch System (SLS), yang disebut-sebut sebagai roket milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika (NASA) yang paling kuat.
Sebagian besar komponen SLS dibuat oleh Boeing, perusahaan dirgantara terbesar di dunia yang kantor pusatnya ada di AS.
Ternyata di antara sederet insinyur yang membuat komponen SLS, terdapat insinyur asal Indonesia.
[caption id="attachment_438634" align="alignnone" width="900"] Marko Djuliarso (kiri) saat menghadiri sebuah acara di Fasilitas Perakitan Michoud NASA di New Orleans, Louisiana, AS (Foto: Marko Djuliarso via VOA Indonesia)[/caption]
Adalah Marko Djuliarso, yang terlibat dalam penggarapan roket raksasa tersebut di sebuah fasilitas Boeing di New Orleans, Lousiana.
Lalu apa peran lulusan Teknik Industri Universitas Tennessee ini di proyek tersebut?
“Fokusnya ke schedule, budget, atau cost dan kualitas. Kita mengaplikasikan konsep industrial engineering untuk mempercepat schedule, menurunkan ongkos dan menaikkan kualitas produk yang keluar dari pabrik,” kata Marko.
Pria berusia 42 tahun ini sudah bekerja di Boeing selama 10 tahun. Marko merasa bersyukur dapat terlibat dalam proyek yang menentukan masa depan penjelajahan ruang angkasa.
“Unik sekali proyek ini. Saya merasa beruntung dan mencoba appreciate (menghargai) kesempatan ini. Apalagi kita sudah berhasil mengirim unit pertama ke NASA. Dan itu paling memuaskan kalau kita sudah bisa menyelesaikan produk pertama dan bisa menyerahkan produk ke customer,” katanya.
Selanjutnya.... Tiap Minggu Kirim 100 Lamaran
Tiap Minggu Kirim 100 Lamaran Kerja
Pemilik dua gelar Master Sains dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura dan Universitas Southern California ini mengaku, perjalanan karirnya tidak selalu mulus.
Usai meraih gelar Sarjana Teknik Industri dari Universitas Tennessee, Marko sempat bekerja di Boston dan Jakarta selama dua tahun. Selanjutnya ia pindah ke Singapura untuk bekerja dan kuliah.
Setelah bekerja selama tujuh tahun dalam bidang manufaktur di Singapura, Marko dan istri memutuskan untuk memulai hidup baru di AS pada 2009.
Berbekal pengalaman kerja dan gelar Master of Science in Computer Integrated Manufacturing dari Universitas Nanyang Singapura, dia berusaha mencari pekerjaan penuh waktu di Dallas, negara bagian Texas. Namun, tidak membuahkan hasil.
“Ekonomi kan lagi susah tuh tahun 2009, jadi saya banyak
apply (melamar) kerjaan. Selama enam bulan saya kira-kira setiap minggu mungkin
apply 100 kerjaan,” katanya.
Dari ribuan lamaran yang dikirim, sebagian besar menolak atau tak memberi kabar.
[caption id="attachment_438635" align="alignnone" width="900"]
Avelino Ernestanto (kiri) saat menyaksikan penerbangan perdana Boeing 777-X (Foto: Avelino Ernestanto via VOA Indonesia)[/caption]
Kerja Serabutan
Sambil menunggu panggilan interview pekerjaan, laki-laki yang gemar olahraga kebugaran ini pun bekerja serabutan.
“Saya kerja di Target, semacam supermarket, sebagai
clerk atau yang
naruh-naruh (menyusun) barang. Terus juga kerja di
24 hour fitness, semacam gym, tapi tetap
nyari kerja terus,” tuturnya.
Setelah enam bulan menanti, ia mendapat tawaran bekerja sebagai insinyur di sebuah perusahaan yang memproduksi jendela di Dallas.
Pada saat bekerja di sana, datang tawaran kerja dari Boeing. Ia sendiri mengaku sempat lupa sudah pernah melamar dan wawancara ke Boeing.
“Jadi setelah pikir-pikir, saya dan Vieda, istri saya, memutuskan untuk ambil kerjaan di Boeing dan pindah ke daerah Seattle, Washington,” tuturnya.
Pada 2010, Marko memulai kariernya di Boeing sebagai industrial engineer. Di perusahaan dirgantara ini, ia pernah mengerjakan proyek pesawat komersial tipe 787 dan 777 di Italia dan Seattle, sebelum akhirnya menggarap roket untuk NASA di New Orleans.
Rencananya, roket SLS akan diluncurkan secara perdana tanpa awak pada November 2021.
Selanjutnya..... Berubah Minat Saat Magang
Pesawat Komersial Baru
Diperkirakan ada puluhan pegawai asal Indonesia yang bekerja di berbagai fasilitas Boeing yang tersebar di seluruh AS.
Salah seorang pegawai lainnya adalah Avelino Ernestanto, 26 tahun, yang bekerja sebagai network system engineer Boeing di Seattle.
Pria kelahiran Jakarta ini sedang mengerjakan pesawat jenis baru, Boeing 777-9, yang disebut-sebut akan lebih hemat energi dan mengeluarkan lebih sedikit emisi.
Sebagai pakar elektro, salah satu tugas Avelino adalah memproses berbagai piranti lunak dari para pemasok untuk diaplikasikan di pesawat.
“Kita integrasikan (piranti lunaknya), terus kita pasang di pesawatnya, terus kita tes, setelah itu kita laporkan lagi ke supplier, ‘oh ini salah atau kurang ini, gitu.’ Dan kita ulangi prosesnya, sampai ada produk akhirnya,” katanya.
Salah satu momen yang paling berkesan baginya adalah menyaksikan penerbangan perdana pesawat 777-9 pada Januari 2020.
“Kita semua berdiri di rumput, dekat runway, nonton. Terus semuanya
‘hore,’ everybody cheered (bertepuk tangan),” katanya.
Meski ada tantangan akibat dampak pandemi Covid-19, lulusan Teknik Elektro dari Universitas Maryland ini mengaku mencintai profesi ini karena bisa membantu masyarakat.
“Saya ingatkan diri sendiri, ‘apa tujuan akhirnya? Oh, ini pesawat bisa membawa barang ke negara lain, mempertemukan keluarga, membantu orang mengeksplorasi dunia.’ Saya senang jadinya,” kata pria yang mengantongi gelar Master Sains dari Universitas Washington ini.
Berubah Minat Setelah Magang
Avelino pindah bersama orang tuanya ke AS saat masih berusia tiga tahun. Ia mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi insinyur ataupun menyukai dunia penerbangan.
Avelino mengaku sebenarnya lebih menunjukkan minat pada bidang desain grafis. Namun, itu semua berubah ketika magang di perusahaan manufaktur tempat ayahnya bekerja.
“
Wow, kayak a whole new world (seperti dunia baru.red)! Magang pengalaman sangat membuka pikiran. Karena sebelumnya saya nggak terbuka pikirannya. Saya siap apply desain grafis. Ayah saya bilang, ‘jangan takut untuk mengeksplorasi bidang lain,’” kata Avelino.
Pengalaman itu membuatnya mantap memilih jurusan teknik elektro di Universitas Maryland.
Avelino mengaku tak pernah mengalami kesulitan mencari pekerjaan karena kampusnya aktif membantu mencarikan peluang bagi para mahasiswanya.
Perkenalannya dengan perusahaan Boeing berawal dari pameran lowongan kerja di kampusnya.
“Meja Boeing panjang
banget (antreannya). Saya penasaran kenapa panjang sekali antreannya? Kenapa banyak mau
apply? Jadi saya ikut baris. Waktu saya di
career fair habis untuk menunggu giliran. Akhirnya saya ngobrol dengan mereka, dan saya jadi tertarik untuk melamar,” kenangnya.
Usai diwisuda, Avelino pindah ke Seattle untuk bekerja. Selama empat tahun lebih di Boeing, ia pernah terlibat dalam proyek pesawat komersial tipe 767, 747, dan 737 sebelum ditempatkan di 797-9.
Pada usia 26 tahun, Avelino yang memiliki seorang putra berusia 10 bulan ini, sudah dipercaya untuk memimpin sebuah tim.
Jangan Takut Coba Bidang Baru
Avelino berpesan kepada anak muda yang masih bingung dengan cita-citanya agar membuka pikiran dan jangan takut mencoba bidang yang baru.
“Siapa tahu. Coba saja. Mungkin kita berpikir kita sangat yakin. Tapi sebagai anak usia 18 tahun, kita sebenarnya belum begitu mengenal dunia. Jadi cobalah magang apa saja untuk memperluas pengalaman,” kata Avelino yang pernah magang di empat perusahaan berbeda.
Sementara menurut Marko, yang tak kalah pentingnya adalah beradaptasi dengan kebutuhan pasar.
"Kita lihat apa yang kita suka dan
pursue (mengejar) apa yang kita senang. Harus diseimbangkan dengan kemampuan kita dan juga dengan pasar kerja, apakah pekerjaan itu dibutuhkan di pasar atau tidak,” kata Marko.
VOA Indonesia