Warga Uighurs yang pernah ditahan di kamp tahanan di Xinjiang, China, mengaku telah dianiaya secara seksual dan diperkosa-ramai-ramai saat diinterogasi pihak berwenang. Tursunay Ziyawudun, perempuan asal Uighurs yang kini tinggal di Amerika Serikat, pernah dipenjara di sebuah kamp tahanan distrik utara Xinjiang pada 2018.Selama di tahanan, ia mengaku telah dipukuli, dianiaya secara seksual dan diperkosa beramai-ramai saat diinterogasi.Ziyawudun yang suaminya yang berasal dari etnis Kazakh, merupakan penduduk asli Xinjiang. Mereka pindah pertama kali ke negara tetangga, Kazakhstan untuk membuka sebuah klinik medis pada 2011.Namun pada November 2016 ketika mereka kembali ke China, pejabat-pejabat lokal di Xinjiang menyita paspornya.Pada April 2017 mereka mengirim Ziyawudun ke sebuah kamp tahananan untuk “dididik kembali” sebelum melakukan perjalanan dan tinggal di Kazakhstan.Setelah beberapa minggu, Ziyawudun dibebaskan dari kamp tahanan itu, dan pada Juni 2017, polisi mengeluarkan paspor suaminya.Dengan paspor itu, suaminya bisa kembali ke Kazakhstan selama dua bulan, sementara Ziyawudun ditahan di China sebagai jaminan kembali ke Xinjiang, agar tidak terlibat kegiatan anti-China di Kazakhstan.Namun suaminya tidak kembali ke China seperti yang diinginkan pihak berwenang negeri tirai bambu itu.Sebagai hukuman atas suaminya, pada Maret 2018, untuk kedua kalinya Ziyawudun dibawa ke kamp tahanan.Di sana, ia mengalami penganiayaan seksual. Hal yang sama juga dialami oleh tahanan lainnya.“Dalam empat kesempatan berbeda saya dibawa ke ruang interogasi di mana saya dipukuli, bagian intim saya disetrum dengan tongkat bermuatan listrik dan saya diperkosa beramai-ramai,” ujar Ziyawudun pada VOA.Ia menambahkan, sebagian tahanan perempuan yang menjadi temannya tidak pernah kembali ke sel mereka setelah dibawa ke ruang interogasi.Bagi yang kembali ke sel diminta untuk tutup mulut atau menghadapi konsekuensi dari petugas.Setelah sembilan bulan di kamp itu, pada Desember 2018, Ziyawudun akhirnya dibebaskan. Ia mengatakan pihak berwenang China membebaskannya di bawah tekanan karena kampanye suaminya di Kazakhstan.
Pindah ke AS
Pada September 2019, pemerintah China mengizinkan Ziyawudun mengunjungi Kazakhstan selama satu bulan untuk tinggal bersama suaminya.Saat berada di Kazakshtan, Ziyawudun mengajukan permohonan suaka politik tapi ditolak. Meski demikian ia tetap dapat tinggal bersama keluarganya walau berisiko dideportasi kembali ke China.Pada September 2020, Ziyawudun akhirnya diizinkan tinggal di Amerika Serikat. Cerita Ziyawudun yang mengalami kekerasan seksual selama di kamp tahanan langsung jadi sorotan dunia.Merespon hal tersebut, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, pada pekan lalu mengatakan, klaim perkosaan Ziyawudun tidak memiliki dasar faktual sama sekali.Sementara para pejabat Amerika mengatakan kekejian ini mengejutkan hati nurani dan harus ditanggapi dengan konsekuensi serius.“Kami sangat terusik oleh laporan tersebut, termasuk kesaksian langsung tentang perkosaan sistematik dan penganiayaan seksual perempuan-perempuan di kamp tahanan bagi etnis Uighur dan kelompok Muslim lain di Xinjiang,” kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika.
Perkosaan di Kamp Lain
Qelbinur Sidiq pada 2017 mengajar bahasa Mandarin di dua kamp tahanan perempuan dan laki-laki di Urumqi, di ibu kota Xinjiang.Perempuan berusia 51 tahun itu mengatakan, salah seorang polisi perempuan membahas dengannya tentang perkosaan dan penganiayaan seksual terhadap perempuan Uighur yang ditahan oleh polisi laki-laki China.“Ketika teman polisi saya menceritakan rincian penganiayaan seksual dan perkosaan yang mengerikan terhadap perempuan-perempuan Uighur di beberapa kamp oleh polisi-polisi China, dan bagaimana hal itu menjadi topik pembicaraan yang normal saat makan malam di antara polisi di kamp tahanan China, saya tidak bisa berhenti menangis,” ujar Sidiq.Saat ini Sidiq tidak lagi mengajar di kamp tahanan Xinjjiang. Sejak Oktober 2019 lalu ia sudah tinggal di Belanda.Vanessa Frangville, seorang pakar kajian China di Universitas Libre di Brussels, mengatakan sangat mungkin banyak tahanan yang menjadi korban penganiayaan seksual dan perkosaan.Tuduhan semacam itu jelas konsisten dengan serangkaian pelanggaran HAM yang telah dilakukan dengan kekebalan hukum penuh di China, bukan hanya di Xinjiang,” ujar Frangville pada VOA.“Para biarawati Tibet misalnya, pada beberapa kesempatan telah melaporkan perkosaan sistematik ketika berada di penjara, demikian pula beberapa kesaksian dari rumah tahanan dan kamp-kamp ‘pendidikan kembali; di China,” ujarnya.Pernyataannya merujuk pada fasilitas penahanan Falun Gong di Beijing, yang dioperasikan sejak akhir 1990an.
Bukan Fenomena Baru