HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-79, H. Achmad Bakrie di Mata Ir. H. Aburizal Bakrie

HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-79, H. Achmad Bakrie di Mata Ir. H. Aburizal Bakrie (Foto Kolase Istimewa) (Foto : )

Syukuran peringatan HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-79, digelar secara virtual. Direktur Utama PT Bakrie & Brothers, Anindya Novyan Bakrie mengatakan, Kelompok Usaha Bakrie harus terus inovatif dan adaptif dengan perubahan zaman yang cepat. Direktur Utama PT Bakrie & Brothers, Anindya Bakrie, menyampaikan sambutan secara virtual dalam peringatan 79 tahun berdirinya Kelompok Usaha Bakrie, Rabu (10/2/2021) pagi. Sementara itu, itu Ir. H. Aburizal Bakrie sebagai generasi pertama yang menggembangkan Kelompok Usaha Bakrie ini, juga membagikan untaian kata bijak. Kata-kata yang menyertai unggahan sebuah video itu, dibagikan di akun Instagram pribadinya @aburizalbakrie.id, Rabu (10/2/2021) dengan: "Hari ini Kelompok Usaha Bakrie telah 79 tahun berdiri. Hampir delapan dekade melewati pasang surut, dan terus berkontribusi membangum negeri. Kini kelompok usaha yang dibangun ayah saya mulai dipimpin oleh generasi ke-tiga. Semoga di tangan mereka Bakrie semakin maju dan berkembang. Terima kasih untuk seluruh keluarga besar Bakrie, Insan Bakrie yang selama ini bersama bekerja, menjaga, dan memajukan kelompok usaha ini. Mari terus berkarya dalam Trimatra Bakrie: KeIndonesiaan, Kebersamaan, dan Kemanfaatan. #79tahunBakrie" https://www.instagram.com/p/CLF0rXkh-fB/ Seperti yang dikutip dari buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" yang disusun oleh Syafruddin Pohan, dkk, terangkum wawancara pria yang akrab disapa Ical itu, yang menggambarkan sosok sang ayahanda. Bagian Pertama Tim Pewawancara (selanjutnya T): Apakah Achmad Bakrie yang mengatur misalnya Ical Presdir, Nirwan dan Indra Wakil Presdir? Ir. H. Aburizal Bakrie (selanjutnya J) : Nggak! Ayah tidak pernah mengatur begitu. Tetapi karena pengalaman dan kesenangan masing-masing, plus pendidikan dan sistem nilai dalam keluarga. Karena itu unsur alamiah, budaya dan faktor-faktor kognitif berbaur di situ. Keluarga kami menganut faham bahwa menghormati yang lebih tua dan lebih pandai adalah mutlak. Jadi dalam keluarga Bakrie menghormati senior sudah terbentuk sejak kecil. Bukan saja dalam artian biologis, melainkan senior secara sosiologis." T. Maksud Abang secara sosiologis? J. Dilihat dari perspektif Presdir, kan saya paling banyak pengalaman berorganisasi, pengalaman kepemimpinan. Mulai pendirian Masjid Salman ITB, Ketua Umum SM. Elektro dan kemudian Ketua III DM. ITB. Belum kepanitiaan. "Teruskan perjuanganmu, Nak". Mungkin Itulah Bisikan Sang Ayah pada Ir. H. Aburizal Bakrie (Ical), Bak Patah Tumbuh, Hilang Berganti. (Foto Dokumentasi Keluarga). Jadi di antara bersaudara secara biologis saya tertua dan secara sosiologis dipersepsikan lebih berpengalaman mengatur orang dan organisasi. Sementara Nirwan dan Indra kerjanya bisnis, belajarnya pun bisnis. Mereka paling suka menggeluti soal-soal perdagangan. Jadi begitu, hingga saya memegang seluruh strategi pengembangan industri; Nirwan memegang strategi perdagangan; dan Indra melaksanakan perdagangan. T. Kalau begitu apakah misalnya Nirwan lebih jago dagang? J. Ooh iya. terus terang saya kalah, tuh. Indra juga begitu. Bagaimana caranya menjual sesuatu di pasaran luar negeri, Indra itu orangnya. Kalau dia bilang nggak, ya saya dengar. Habis dia lebih paham dari saya. T. Itu yang praktis-praktis. Kalau aspek idealisme bisnis Bakrie & Brothers? J. Itu jelas. Ayah sangat memperhatikan hal itu. la suka bicara tujuan, misalnya untuk apa kita berusaha lagi kalau sekedar mau hidup layak saja. Secara umum saya bisa rumuskan idealisme Bakrie dengan bertanya: bagaimana perusahaan ini berfungsi untuk membenahi masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Pertama mengenai lapangan pekerjaan jutaan rakyat dengan laju pertumbuhan penduduk 1,8% pertahun. Kedua mengenai devisa negara. Nah itu dijawab dengan peningkatan dan diversifikasi usaha. Misalnya untuk masalah kian membludaknya pencari kerja, Bakrie terjun ke perkebunan dan pertambangan. Di situ kan bisa nampung tenaga kerja lebih banyak. Sebaliknya pada bidang industri dan informatika dengan sasaran pertumbuhan, yang akhirnya berdampak pada penghematan devisa negara. T. Kalau begitu idealisme erat berkaitan dengan strategi bisnis? J. Lho, kalau nggak ada strateginya Bakrie sendiri bisa berantakan. Jadi berdasar idealisme dan filosofi dasar itu tadi, saya menyusun strategi, termasuk strategi dalam menghadapi trend bisnis di masa mendatang. Katakanlah a long range strategic planning, yang kemudian dijabarkan lewat tahap-tahap operasi dengan penerapan fungsi-fungsi manajemen profesional. Ini pun ada kaitannya dengan, katakanlah, keahlian adik-adik saya. Misalnya Nirwan memikirkan strategi penjualan barang ke Hongkong, Jepang, Rusia; terus Indra yang laksanakan dan memikirkan jual-belinya. T. Artinya penjabaran strategi secara fungsional. Maka selain dalam kerangka mewujudkan idealisme tadi, Abang barangkali bisa ceritakan sedikit dampak kongkretnya terhadap Bakrie & Brothers? J. Ya antara lain orang bilang: kekuatan Bakrie & Brothers adalah penggabungan dan kecocokan ketiga sang anak. Jadi kami saling melengkapi, karena semua orang juga tidak sempurna. Saya punya kekurangan. Tapi bukan kecocokan itu saja bikin kuat. Itu hanya satu aspek saja. Sumber kekuatannya juga terletak pada pembenahan organisasinya, ditambah dengan wanti-wanti ayah supaya jangan ribut atau cekcok karena uang. Secara pribadi, saya sendiri paling takut berkelahi karena duit dan makanan. Tapi nggak mungkin saya, Nirwan dan Indra mempunyai jumlah uang yang sama. Isi kantong mereka saya nggak tahu. Jadi saya beranggapan bahwa makin komplit kesecocokan dan perpaduan, makin adaptatif organisasi dan meyakini bahwa uang hanya alat untuk mencapai tujuan, maka Bakrie & Brothers Insya Allah akan terus kuat. Artinya bisa semakin signifikan pengabdiannya pada profesi bisnis untuk mewujudkan idealisme tadi. T. Apakah Pak Bakrie dulu pernah menjelaskan apa persisnya yang dimaksudkan idealisme atau tujuan itu? J. Garis besarnya sih seperti tadi: memberikan lapangan pekerjaan berikut devisa. Tapi begini: Ayah di mana-mana selalu ingatkan bahwa keuntungan harus mempunyai fungsi sosial. Bukan keuntungan yang dibagi-bagikan - itu nggak pernah cukup seumur-umur. Jadi bagaimana keuntungan direinvestasikan supaya pekerja lebih banyak ditampung, devisa lebih banyak dihemat. Nah karena itu, saham saya dan keuntungannya nggak bisa saya ambil, sebab perputarannya mengandung makna konsistensi pada cita-cita ayah. Artinya memperbesar fungsi sosial keuntungan. Saya sendiri cuma makan gaji. Nirwan dan Indra juga gitu. Jadi selain karena alasan manajemen, juga karena tujuan fungsi sosial itu. T. Demikian konsistennya? J. Benar deh. Sampai detik ini tidak satu pun dari keluarga Bakrie ngambil uang perusahaan sendiri. Nggak boleh. T. Abang bertiga tampaknya memang saling melengkapi. Tapi kan Bakrie tambah besar. Bagaimana mengatasi kemungkinan terjadinya perilaku disfungsional, umpamanya dalam hal kewenangan. J. Itulah yang saya maksudkan tadi pembenahan organisasi dan manajemen. Nggak mungkin kami bertiga bisa menguasai dan mengontrol segala sesuatunya. Jadi Nirwan, Indra dan saya sepakat untuk merumuskan kebijakan-kebijakan. Kami nggak melakukan urusan pengelolaan atau operasional harian. Maka itu saya ajak Tanri Abeng bergabung, sebagai managing director. Dia yang ngatur ini-itu menyangkut pengelolaan perusahaan. Tentang kewenangan memakai atau ngambil duit, ooh aturannya jelas dan tegas. Tanpa kecuali, nggak ada yang diistimewakan, nggak ada! T. Termasuk Abang sendiri? J. Bahkan termasuk ayah dulu sebagai pendiri, apalagi saya. Dulu ada seorang menteri nanyain ayah: “Pak Bakrie punya duit di saku 50 juta dollar?” Ayah bilang sebagai eksekutif perusahaan, separohnya saja nggak ada. Jadi begitu, sekarang pun saya, Nirwan dan Indra nggak bisa semaunya. Makan gaji semua. Kalau butuh uang tambahan ya minjam. Jumlahnya pun nggak boleh lebih dari sebulan gaji, terus boleh dicicil pengembaliannya 10 bulan. Jadi Anda jangan bayangkan misalnya saya ini Presdir, terus bisa ngambil. Artinya sebagai eksekutif, saya terima gaji. Kalau saya shareholder, dapat deviden. Butuh tambahan, saya pinjam sebulan gaji, he...he. T. Seketat begitu? J. Kalau nggak gitu, sebulan perusahaan bubar. Saya flashback sedikit. Saya kan boleh dikata orangnya boros. Diusulkan sebagai direktur keuangan dulu ayah langsung nolak. Itu saya kira preventif. Terus, suatu kali saya pinjam uang lebih dari ketentuan. Habis saya waktu itu, ayah marah minta ampun. Direktur yang neken, kalau nggak salah Pak Harris Abidin atau Pak Jaan Kreefftt (almarhum) juga dimarahin. Nah sekarang kita tahu, tindakan-tindakan ayah seperti itu menurut saya adalah refleksi dari pertanyaan Anda tadi: menghindari segala perilaku disfungsional. T. Itu kan dulu cara-cara Pak Bakrie menegakkan disiplin. Artinya untung saja beliau punya ketegaran begitu. Kalau tidak, ceritanya bisa lain. Kalau di tangan Abang sekarang bagaimana? J. Begini. Semua unsur-unsur positif dari kepemimpinan Ayah dulu kami terus pakai. Kan itu sudah terbukti sangat signifikan bukan hanya dalam mempertahankan, tetapi juga mengembangkan perusahaan. Tapi kan sekarang suasananya lain. Maksud saya, kalau dulu ayah nentuin semuanya, sekarang kan yang nentuin adalah sistem. Biar anak, keluarga, saudara segala macam harus tunduk pada sistem. Coba! Kalau sekarang Bakrie & Brothers sedikit-sedikit tergantung Pak Ical, operasional di lapangan tergantung Pak Ical, rekruitmen tergantung dekat apa nggak sama famili, wah, wah, saya kapan mikirnya. Padahal saya kan boleh dikata harus berfungsi sebagai strategic thinker perusahaan. Apa trend-trend bisnis di masa depan yang cocok dengan idealisme perusahaan. Itulah kerjaan saya. T. Dalam melakukan peran-peran strategis begitu, Abang memakai jasa-jasa konsultan? J. Bakrie & Brothers punya konsultan. Tapi kalau soal strategi usaha Bakrie & Brothers saya pegang sendiri. Baca keadaan, nguping sana-sini, analisa situasi bisnis, moneter, tatanan perekonomian dunia segala macam. Terus saya menarik suatu konklusi, baru kemudian saya diskusikan dan cocokkan dengan idealisme perusahaan. Dari situ sudah muncul gambaran: ooh ini possible dan fokusnya apa, konsekuensinya bagaimana. Jadi itu semua tugas saya dan saya digaji untuk itu. Terus saya tanya Nirwan, Indra dan juga Pak Hamizar Hamid sebagai Wakil Presdir. Kami berempat ngurus strategi itu. Kalau Indra misalnya bilang nggak atau belum, saya nggak bisa paksa supaya setuju. T. Artinya Nirwan dan Indra punya hak veto? J. Lho, kok veto! Kan kita bicara soal kewenangan yang proporsional, berdasarkan keahlian dan kemampuan masing-masing. Misalnya begini: saya lihat suatu peluang ekspor, terus saya tanya Indra soal jual-belinya di luar negeri bagaimana. Dia lebih tahu seluk-beluknya, lika-likunya. Sedangkan saya nggak ngerti. Ya saya dengar komentarnya, evaluasinya. T. Jadi mereka juga putar otak dibidang keahlian dan kesenangannya? J. Jelas. Lihat saja itu Nirwan misalnya. Diam-diam begitu, nggak ngomong, tapi otaknya jalan tuh dia. Saya bilang Nirwan jago dagang. Ahli dia. T. Tapi yang vokal, katakanlah yang muncul dan dikenal dari Bakrie & Brothers ini kan Pak Ical. Komentar Abang bagaimana? J. Ya Indra dan Nirwan pernah cerita seseorang bilangin ‘lu sibuk cari duit, bikin ini itu segala macam, tau-tau yang “dapat” nama si Ical’. Memang tidak atau belum banyak orang yang tahu kalau di keluarga kami ada falsafah yang ditanamkan ayah begini: bumi ini hanya punya satu matahari. Kalau dua bisa hancur bumi seketika. Analoginya dalam rumah tangga kan hanya ada satu kepala rumah tangga, matahari kecil di rumah itu. Nah, falsafah itu kami terapkan di sini. Refleksinya antara lain yang Anda tanyakan itu. Nirwan bikin ini, Indra bikin itu, terus saya yang pidato, diwawancarai media. T. Contoh kongkretnya? J. Lihat saja sewaktu Pusat Olah Raga Pelita Jaya dibuka. Ayah kan punya tanah di Lebak Bulus itu 14 hektar. Nirwan minta sama Ayah untuk dijadikan pusat kegiatan olah raga. Akhirnya Ayah setuju, saya dibawa ke sana sekali sama Nirwan lihat lokasinya. Terus dia jalan. Biayanya Rp 5,3 milyar. Nggak tahu dia dari mana dapat duit. Tau-tau jadi aja gitu. Ada lapangan, asrama, fasilitas training segala macam. Saya hanya buatkan organisasinya, bukan fasilitasnya. Indra juga begitu. Bikin bisnis dan kegiatan-kegiatan hiburan. Terus mereka suruh saya maju, ngomong. Jadi “anatominya” begitu. Nirwan dan Indra kerja, cari duit, bikin ini-itu segala macam, terus mereka suruh saya ngomong. Mereka nggak mau ngomong, tuh! T. Apa ada filosofi tersendiri di sini. Terus, menurut H. Azkarmin Zaini, almarhum minta supaya Abang tidak kelewat populer. Bagaimana itu? J. Saya ngerti maksud Anda. Filosofinya ialah satu matahari itu juga, yang sebenarnya adalah falsafah Jawa. Nirwan dan Indra merelakan saya jadi “matahari”. Tentang populer itu begini. Nirwan itu sifatnya mirip betul ayah. Nggak mau muncul, berlagak melongo, diaam ....., tapi otaknya putar. Sementara pers butuh sumber berita, masyarakat tentu pengen tahu apa dan bagaimana Bakrie. Kalau saya nggak ngomong juga? T. Artinya zaman sekarang menghendaki Abang supaya ngomong? J. Saya rasa, dalam keadaan sekarang kita harus menangkap makna informasi dan komunikasi. Saya harus komunikasikan apa yang Bakrie yakini benar dan berguna buat masyarakat bisnis dan masyarakat umumnya. Jadi kalau ada kondisi-kondisi yang mendukung keberhasilan Bakrie, kan wajar kalau di-share. Seperti kenyataan Bakrie & Brothers, atau saya ditokohkan sebagai pengusaha pribumi yang pantang berkolusi dengan siapapun. Artinya kalau kami dianggap sukses, itu bukan karena kolusi macam-macam. Nah, itu saya rasa perlu dikomunikasikan, dalam artian edukasi. Lantas saya ngomong. Jadi aspek popularitasnya cuma sampingan. Tambahan lagi dengan tugas-tugas sosial dan profesional saya di berbagai organisasi seperti KADIN, PIT dsb. T. Dalam mengkomunikasikan yang “benar dan berguna” itu, apakah Abang nggak pernah merasa sulit? J. Nggak. Nirwan dan Indra mendukung. Tapi saya pernah “di serang” luar biasa. Saya tahu itu diatur, sampai-sampai ada yang bilangin kamu kenapa, sih, mempersoalkan pengusaha pri bumi. Kenapa nggak dagang aja yang baik. Celakanya lagi, bahkan ada kalangan pribumi yang tidak ikhlas melihat besarnya Bakrie. T. Mungkin karena yang Abang komunikasikan itu tak lazim? J. Waktu itu saya bicara di suatu forum, kalau nggak salah di HIPMI. Ya soal pengusaha pribumi yang sulit dapat kredit dan soal keterkaitan usaha. T. Pendapat Abang memang bagaimana? J. Begini. Perekonomian kita itu harus dipacu pertumbuhannya dari bawah, supaya yang besar bukan cuma di lapisan atasnya saja yang justeru jumlahnya sedikit. Menurut saya persoalannya bukan sekedar analogi piramida, bukan soal besar kecilnya skala usaha segmen-segmen masyarakat di tiap hirarki piramida itu. Tapi juga soal porsinya. Kalau tidak kan pasti ribut terus. Jadi kalau orang lain menginginkan porsi itu seperti “belah ketupat,” saya menyatakan “limas.” Apalagi kalau yang di atas itu melulu non-pri seperti dari dulu-dulu, lantas dipersepsikan bahwa perilaku dan wawasan bisnis pribumi ”payah.” Atau dimitrakan, tetapi prakarsa dasarnya adalah santunan - bukan kerjasama fungsional. T. Maksud Abang persepsi perilaku dan wawasan bisnis pribumi? J. Kan di kepala banyak orang, pribumi itu nggak bisa nangani bisnis secara baik, efisien dan efektif. Terus kreditnya sulit. Saya tanya bank. Dari segi jumlah, pribumi yang dagang dengan modal kredit lebih banyak dari non-pri. Tapi kegagalan dan penipuan (kredit) yang dilakukan non-pri khususnya Cina, ternyata prosentasenya tiga kali lipat dari pribumi. Kan persepsi tadi runtuh, tapi kreditnya tetap saja sulit. Lantas muncul istilah kemitraan atas dasar rasa belas kasihan. Saya katakan mesti ada policy khusus untuk menyelesaikan soal proporsi itu tadi. Saya percaya tidak ada ketimpangan ekonomi di masyarakat kita terjadi karena sentimen SARA. Sebaliknya dalam kegiatan bisnis, tidak ada yang namanya santunan atau bantuan, tapi kerjasama. T. Kalau begitu mungkin Bakrie & Brothers di bawah kepemimpinan Abang punya strategi dalam kerangka “porsi” tadi? J. Ooh iya. Pertama-tama idealisme (tenaga kerja dan devisa ed), terus dengan prinsip bahwa kalau organisasi sosial sifatnya bantuan, maka interaksi institusi bisnis adalah kerjasama. Dari segi strategi bisnis, kami berpaham bahwa Bakrie & Brothers tidak mungkin hidup sendiri. Jadi butuh rekan, butuh mitra. Kami nggak berpretensi berkibar tinggi-tinggi sendirian, terus yang di bawah itu tinggal dikasih bantuan. Itu nggak efisien, nggak mendidik. Nah bagaimana pola kerjasamanya supaya saling menguntungkan dari segi bisnis; tapi sekaligus berdampak edukatif buat kedua pihak. Artinya yang lemah bisa memperoleh misalnya pengalaman berbisnis secara profesional, sedang mitranya seperti Bakrie ini lebih sensitif terhadap problema-problema dasar mereka. Dalam perspektif inilah saya ngomong. Bagaimana misalnya kebijaksanaan pemerintah tentang pengembangan permodalan mereka. Orientasi dan strategi kebijakan itu harus benar-benar menyentuh problema dasarnya. Termasuk koperasi dan pengusaha-pengusaha nonformal kita, home industry dan semuanya itu. T. Kan sekarang ada namanya Anak Angkat - Bapak Angkat, pengalihan saham dan sebagainya. Komentar Abang? J. Saya berpendapat bahwa selama kebijakannya tidak menyentuh problema pokoknya, langkah operasional tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi kalau yang terjadi kemudian hanyalah gugahan supaya yang besar membantu yang kecil. Coba kita lihat misalnya Jepang. Home industrynya marak, berfungsi sebagai pelaku ekonomi yang secara fungsional dalam artian bisnis, posisinya sejajar dengan industri-industri raksasa. Dua-duanya saling membutuhkan, tak ada yang jadi beban. Nah itu yang saya inginkan, supaya iklim kewiraswastaan di kalangan masyarakat kita tumbuh secara sehat. Kalau ini beres dan soal proporsi juga dibenahi, katakanlah dipaketkan dengan iklim kewiraswastaan tadi, wah, perhatian kita sudah bisa semuanya ditujukan pada soal kualitas. T. Katakanlah soal kerjasama dalam kerangka kewiraswastaan itu tadi termasuk komitmen Bakrie. Implementasinya di lingkungan Bakrie sendiri bagaimana, Bang? J. Begini. Saya ingin memberikan contoh kongkret. Bakrie punya industri elektronika di Bandung. Ada metal-based industri dan sebagainya. Nggak mungkin dari A sampai Z nya dikerjakan sendiri. Maka kita cari partner, subkontraktor untuk satuan-satuan kerja yang tidak efisien bila dikerjakan sendiri. Sekarang (Data tahun 1992 saat Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" disusun) perusahaan kecil yang bekerjasama dengan Bakrie lebih 200. Malah yang di Bandung itu bertahun-tahun bekerjasama: ada yang menyuplai part, kotak, kayu, alminium dan malah ada perusahaan yang khusus menggosok aluminium. Apa dipikir itu persoalan kasihan pada mereka? Nggak, mereka bikin lebih murah. Jadi hubungan itu bisa langgeng kalau kerjasamanya bisnis. Berapa lama, sih, orang bisa bertahan dengan dasar kasihan! Belum kita bicara aspek edukatifnya. Jadi hubungan kerjasama bisnis besar - kecil kami buktikan bisa. Bank juga kasih kredit bukan karena kasihan. Kalau menyewakan rumah dapat uang, itu bisnis. Apa bedanya! T. Itu di bidang industri. Tapi kan rakyat kita, yang notabene pribumi, lebih tersebar di sektor primer. Komitmen Bakrie di sini bagaimana? J. Sama saja prakarsa dasarnya. Kan tadi idealisme Bakrie juga adalah lapangan kerja. Contohnya di Jambi, di Sumatera Barat, atau di Lampung, itu unit-unit usaha Bakrie di bidang pertanian. perkebunan dan peternakan. Persawahan sekitar 40 ribu hektar, akan menyerap kurang lebih 24 ribu tenaga, terus di Jambi 15 ribu hektar memerlukan 9 ribu orang. Di Lampung, kalau tidak salah ada 1800 pengusaha rumput yang bekerjasama dengan peternakan Bakrie nantinya. Kalau rumput kami tanam sendiri kan tidak ada kerjasama, tidak efisien. Dan kalau kami membeli produksi rumput mereka juga bukan karena kasihan. Jadi pada bidang dimana perusahaan besar tidak efisien, di situ pengusaha menengah dan kecil efektif. Namun mereka itu bisa menjadi besar, kuat, prosesnya cepat, bila iklim kewiraswastaan sehat, dasar kerjasamanya bisnis. T. Koperasi juga begitu? J. Yes! Jangan kira koperasi tidak berpotensi untuk bergerak di bidang usaha yang lebih besar. Sebelum Presiden (saat wawancara ini berlangsung, Presiden RI adalah Soeharto) memberi himbauan di Tapos, Bakrie telah menjual sahamnya kepada karyawan, menggunakan kredit dari Bank Pembangunan Daerah dengan jaminan Astek. Koperasi karyawan anak-anak perusahaan Bakrie juga sehat. Sebagai badan usaha, malah beberapa di antara mereka menjadi rekanan kerjasama bisnis Bakrie. Misalnya dalam hal pengadaan pakaian seragam karyawan dan sebagainya. T. Kalau komitmen Bakrie tentang peningkatan kemampuan dan kualitas usaha mereka? Katakanlah lewat pendidikan dan pelatihan? J. Itu dia. That’s very important. Menurut saya hal itu tidak sekedar berkaitan dengan kepentingan dunia usaha. Tetapi sekaligus sebagai bagian dari pengembangan kualitas manusia dan masyarakat. Jadi pendidikan dan pelatihan, di Bakrie kami persepsikan sebagai fungsi sosial perusahaan. Menurut saya, ada dua aspek harus tersentuh. Aspek pertama ialah pengetahuan dan ketrampilan spesifik sesuai dengan bakat orang, atau fokus usaha perusahaan. Yang kedua ialah wawasan dan etos kerja, juga etika bisnisnya. T. Apa misalnya yang kongkret dilakukan, Bang? J. Banyak, tapi pasti belum cukup. Misalnya, dengan Fadel Muhamad dan Iman Taufik kami buat Yayasan Bukaka Bakrie Gunanusa. Terus yayasan membentuk Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Industri. Lembaga ini ngadain pendidikan dan pelatihan. Malah kerjasama dengan Bank Dagang Negara, bikin diklat teknik produksi buat pengusaha-pengusaha kecil. Pesertanya 200-an orang tukang las. Ada dari koperasi, segala macam deh. Biayanya 100 juta rupiah lebih. Terus direncanakan program “on the job training” buat pemuda-pemuda berbakat, misalnya pemuda Timor-Timur (saat wawancara Timor Timur masih menjadi wilayah Republik Indonesia). T. Yang dilakukan Bakrie sendiri? J. Ada. Juga lewat yayasan, Yayasan Achmad Bakrie. Misalnya beri beasiswa. Dulu didirikan dengan modal keluarga, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Sekarang sudah berapa, tuh alumninya. Tetapi harus dibuktikan Dekan, mereka punya kemampuan otak, tapi kendalanya biaya sekolah kurang, nggak ada. Sekarang saya kira rata-ratanya Yayasan Achmad Bakrie dan Yayasan Seni Bakrie memberi lima beasiswa sebulan. Jadi begitu, kan nggak ngomong melulu saya. T. Ini barangkali yang agak sulit, tentang wawasan yang Abang bilang tadi? J. Ya kita harus kerja keras untuk itu. Terutama mengenai kemandirian mereka, etika bisnisnya. Juga kepercayaan diri. Itu semua penting. Kan Bakrie sudah buktikan, nggak ada kolusi, nggak tergantung pada kekuasaan segala macam. Tapi bisa kerja, bisa bisnis. Terus ini juga, soal mitos seolah-olah pribumi nggak becus berusaha. Harus dibunuh itu mitos dengan bukti, pribumi bisa, mampu. Jangan di balik kepala masih tumbuh persepsi: bidang usaha begini cuma keturunan Cina yang bisa, pribumi nggak mungkin. Jadi saya termasuk optimis, kita selalu bisa temukan cara. Tapi pengusaha-pengusaha kecil dan juga sebenarnya semua pihak harus kerja untuk itu. Jangan take it for granted. Karena lemah, nunggu orang ngasi proyek gede. Nggak bisa begitu. Lihat saja apa fokus usaha, apa kelebihan usaha, dan perkuat di situ. Itu basisnya. Diversifikasi soal kemudian. T. Jadi perkuat basis dulu? J. Iya. Kalau fokus usaha nggak jelas, bagaimana beraktualisasi. Mau merambah ini, itu, nah jadinya bergantung kolusi. Akhirnya apa? Jangan-jangan ada “pengusaha” belum 20 tahun usianya sudah milyuner. Kan nggak pantas. Ujungnya nanti rusak. T. Jumlah perusahaan Grup Bakrie berapa sekarang? J. Dengan yang di luar negeri sekitar 60. (data tahun 1992, saat buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" disusun) T. Karyawan? J. Sekarang 13.500 orang. (data tahun 1992, saat buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" disusun). T. Total aset? J. Nggak bisa menghitungnya. Tapi saya kira seluruhnya sekitar 2 trilyun rupiah. (data tahun 1992, saat buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" disusun). (Wawancara dihentikan di sini; dilanjutkan setelah shalat maghrib berjamaah di ruang kerja Ir. Aburizal Bakrie. Mengimami “jamaah” empat orang tim, Ical baca surat Ad Dhuha dan Surat At Tin). Bagian Kedua T. Apa sisi paling menarik Almarhum H. Achmad Bakrie, sebagai pengusaha menurut Bang Ical? J. Wah, banyak. Antara lain yang saya kira bisa disosialisasikan ialah kemampuan beliau melihat celah atau peluang usaha. Kalau sudah didapat, ia mengerjakannya dengan sangat di siplin. Kalau soal disiplin, beliau nomer satu. Misalnya ada aturan, kalau dilanggar marahnya bukan main. Kemudian ayah juga sangat independen, nggak mau bisnisnya dicampuri soalsoal non-bisnis. Umpamanya politik atau fasilitas istimewa, gitu. T. Ada contoh yang terjadi sama Abang, soal politik atau orsospol misalnya? J. Ayah kan terserah kita, anak-anaknya. Mau bekerja di pemerintah boleh. Tapi dia nggak mau kita bisnis, tapi juga jadi pegawai. Beliau bilang berkali-kali begini: “Kalau pada suatu saat kamu masuk pada pemerintahan, lepaskan semua baju-baju bisnismu. Kalau nggak mau, saya yang copot.” Jadi kita bekerja di mana saja boleh. Politikus boleh, nggak apa-apa, perusahaan support, tapi jangan pakai kedudukan itu untuk perusahaan. Eksplisit ayah bilang sama saya begini: "Cal, kamu berteman dengan orang politik, jaga jarak, selalu jaga jarak dengan kekuasaan.” Nah karena dia nggak mau bisnisnya dicampuri urusan non bisnis, dan juga karena independent itu, Ayah sedih sekali waktu dibilangi pengecut sama Yusuf Muda Dalam. Kan ayah nolak macam-macam tawaran kolutif. Ke Istana waktu Bung Karno juga dulu kalau nggak dipaksa dia nggak datang. Di zaman Orde Baru pun mana mau dia muncul. Itulah. Ayah yakin banget pengusaha yang tidak tergantung politik adalah pengusaha yang paling langgeng. T. Apa sikap begitu beliau juga refleksikan dalam perusahaan, misalnya karyawan nggak boleh tergantung pada direktur? J. Begini, Ayah kan entrepreneur yang sangat disiplin, konsisten, pekerja keras, dan mandiri. Nah beliau mau nilai-nilai seperti itu juga kita praktekkan untuk kemajuan perusahaan. Artinya untuk kepentingan bersama. Jadi kalau Ayah misalnya menghendaki kita mengikuti nilai-nilai yang diyakini cocok dan benar itu, bukan dalam artian ketergantungan pada tujuan tertentu, pribadi misalnya. Tapi untuk perusahaan. Terus Ayah kan juga selalu menekankan supaya kita belajar. “Orang yang lebih pintar mesti dihormati.” Karena itu meskipun dia pendiri, direktur utama, Ayah belajar terus. Dia tukang baca. Buku-buku tentang sejarah, sastra, ekonomi, habis dibaca. Kenapa? Karena sampai soal pengetahuan dan informasi pun Ayah nggak mau tergantung. Di situ kan juga ada unsur kepercayaan diri. Kalau nggak ngerti, kan risih terus. Kalau ngerti, tahu informasi, Ayah bilang pasti selalu menguntungkan. Jadi kalau saya misalnya sebagai karyawannya ngerti, tahu informasi, itu sudah satu sumber keuntungan bagi perusahaan. Minimal kita percaya diri, nggak ragu-ragu berbuat. Ini saya kira perluasan makna independen itu. T. Ada contoh konkret tentang kepercayaan diri? J. Misalnya waktu ayah wawancara TV dengan Pak Mitro (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, pen). Ayah bilang kurang lebih begini: "Saya boleh ngomong apa dan tidak boleh ngomong apa. Kalau saya nggak boleh ngomongin apa yang saya pikir baik, saya tidak akan muncul di TV". Pak Mitro bilang boleh, setuju. Lantas kebijaksanaan Menteri Perdagangan diserang habishabisan. Tapi Pak Mitro cukup moderat menerima. Itulah satusatunya wawancara ayah di media elektronika. T. Keistimewaan lain sebagai pengusaha tentu masih banyak tapi komentar Abang mengenai sikap Almarhum tentang uang? J. Ayah kalau soal satu itu benar-benar harus transparan, jelas sumbernya, manfaatnya dan segala yang bertalian. Misalnya kalau kita minjam, harus bayar tepat pada waktunya. Kalau belum bisa kembalikan, bilang terus terang. Dia sendiri selalu bayar kreditnya tepat waktu. Begitu juga statusnya. Jangan tujuannya minta terus bilang pinjam. Jadi sejauh menyangkut uang perusahaan, semuanya harus jelas. T. Kalau uang pribadi beliau, umpamanya di mana saja beliau biasa gunakan? J. Ada satu prinsip Ayah tentang uang atau milik pribadi yang lain, menarik menurut saya. Beliau itu nggak ada yang tahu di mana menyumbangnya, berapa, dan sebagainya. la nggak pernah cerita, Ayah bilang “Kalau tangan kanan beri, tangan kiri nggak boleh tahu.” Kedengarannya sederhana. Tapi saya tahu sasarannya, misalnya supaya kita nggak sombong. Baru setelah beliau meninggal saya diberitahu orang, dulu ini Ayah yang nyumbang, itu Ayah yang kasih. Bangun masjid pun banyak ketahuan setelah beliau meninggal. Terus itu tadi, soal utang. Beliau bilang lu nggak bakalan miskin karena bayar utang. Jadi setahu saya Ayah itu orang yang pada dasarnya pantang nunggak. T. Kalau refleksi kejelasan uang dan, katakanlah, harta peninggalan beliau? J. Termasuk itu Ayah mau jelas. Tiga tahun sebelum meninggal kita sudah bicarakan semua: Kalau Ayah meninggal nanti bagaimana? Beliau ngajak kita bicarakan bersama, bagaimana Bakrie ini. Saya katakan Ayah sangat moderat dalam soal itu. Kalau sekarang orang bicara pada ayahnya “Pak, kalau Bapak meninggal bagaimana pembagiannya?” Nggak sampai hati, kan! Nah akhirnya keluarga Bakrie, termasuk Ayah, setuju pembagiannya memakai hukum Islam. Jadi gitu, Ayah juga sering bilang sama orang-orang tua supaya bicara sebelum meninggal. T. Ada lagi pesan-pesan khusus beliau? J. Beliau juga selalu wanti-wanti supaya jangan boros. “Kamu jangan boros, jangan buang-buang uang, foya-foya. Kalau kamu ditinggal Ayah, paling kamu sedih dua-tiga hari, sebulan, setahun. Tapi bila kamu ditinggal uang bisa selamanya kamu sedih sampai akhir hayat.” Begitu. Jadi maksudnya sekalipun uang itu cuma alat, tapi harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral. T. Obsesi Ayah? J. Beliau pernah bilang ingin Bakrie mempunyai 50 ribu tenaga kerja di tahun 2000. Beliau juga mau “go public.” Bahkan ia pernah bilang bahwa pada suatu saat, saham keluarga pada perusahaan mungkin hanya 20%. Itu antara lainnya. T. Kalau Abang sendiri? J. Ya saya mau Iebih 100 ribu di tahun 2020 dan seterusnya, meski belum tentu saya lihat. Grup perusahaan terus berkembang, dan mempunyai peranan signifikan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat, menghemat devisa, Sekarang saja (data tahun 1992, saat buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" disusun) Bakrie sudah menghemat devisa sebesar 75 juta dollar Amerika setahun. Terus, ada obsesi tambahan saya yang tidak dimiliki Ayah: yaitu saya ingin membuktikan bahwa pribumi bisa berusaha dengan baik, profesional. Saya mau menghapus mitos ketidak mampuan pribumi. T. Kalau di Bakrie, orang pribumi semua? J. Nggak. Ada juga Cinanya, karyawan lain agama. Mitra kerjasama Bakrie pengusaha-pengusaha kecil ada Cina. (Sekretaris Presiden Direktur, Ir. Aburizal Bakrie, Catherine, beragama Katolik - pen). T. Abang bisa cerita sedikit tentang proses regenerasi, dari H. Achmad Bakrie ke Ir. H. Aburizal Bakrie? J. Itu seperti benar-benar direncanakan. Almarhum mendirikan dengan keluarga dan Pak Hamizar Hamid orang luar pertama yang bergabung. Waktu Pak Bakrie masih hidup, beliau mengatakan bahwa wakilnya, Pak Hamizar Hamid, penggantinya. Kemudian dalam perkembangannya dia meminta saya langsung memimpin perusahaan. Ini kalau saya lihat aneh, ini yang dibilang anugerah Allah. Pak Bakrie otodidak sehingga dalam perkembangan dan perubahan organisasi mengharapkan buktinya apa bisa. Tapi itu tak diizinkan. Tahap pertama saya mencoba mengubah organisasi dan beliau memberi waktu dua tahun. Jadi tahun pertama perombakan disetujui, tahun kedua merombak lagi juga disetujui. Yang terakhir disetujui pada waktu ayah sakit bulan November 1987. Itu organisasi seperti sekarang, yang dimodifikasi pada 1988. Beliau meninggal setelah saya jadi presiden direktur, seperti telah diatur. Tapi pada tahun 1985 dia sudah bilang pada saya: "Ayah mau meninggalkan perusahaan pada tanggal 1 Januari 1988. Jadi kamu mulai atur bersama saya," katanya. T. Kabarnya almarhum semula nggak setuju perombakan. Bagaimana itu? J. Ayah bilang tadinya: “Kita punya harta tapi tidak punya duit. Punya aset tapi tidak punya uang. Apa, sih, yang mau dikelola, dirombak? Sudahlah, biarkan saja.” Terus akhir 1987 Ayah mulai sakit, ngomongnya sudah aaa…aaa...aaaa… saja. Akhirnya beliau bilang "Setuju organisasi seperti yang kamu rencanakan. Pemegang saham terbesar menginginkan atau menunjuk kamu.” Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1988 Ayah mundur. Beliau jadi Presiden Komisaris dan saya Presiden Direktur. Jadi kurang lebih satu bulan mundur, beliau meninggal. T. Katanya Abang nggak lihat saat-saat menghembuskan nafasnya di Tokyo. J. Benar. Dalam perjalanan dari airport ke rumah sakit di Tokyo itu saya diberitahu Ayah sudah meninggal. Terlambat beberapa menit. Memang saya baru ke Tokyo pada hari Sabtu itu, dengan anak bungsu saya. Hari jumat saya harus rnenyelesaikan suatu problema perusahaan. T. Reaksi Abang di mobil? J. Saya pasrah. Anak saya tanya “Kok papa nggak nangis?” Terus saya bilang: “Semua orang kan akan meninggal. Buat Atuk itu mungkin lebih baik baginya.” Sebab beliau paling sakit karena tidak bisa ngomong itu. Orang paling aktif tau-tau nggak bisa ngomong dan bergerak selama tiga bulan kan luar biasa ter siksanya. T. Kebiasaan-kebiasaan keluarga Bakrie sewaktu beliau masih hidup, apa sekarang masih berlanjut? J. Ya. Kami masih berkumpul di rumah Ibu setiap hari Minggu. Makan bubur ayam bersama. Semua anak, menantu dan cucu pada berkumpul. Juga makan sahur bersama. T. Abang pernah mengatakan di belakang pria yang sukses ada wanita. Apa maksudnya kira-kira? J. Kalau misalnya istri tidak mengerti saya pulang pukul 8 malam, terus di bilang “Kenapa pulang pukul 8 main perempuan ya?” Kan repot. Saya sebenarnya pernah down beberapa tahun lalu. Waktu itu kami mau beli Good Year 95 juta dollar. Kami sudah shake hand. Tapi karena harga naik, mereka nggak jadi jual. Saya begitu sedih. Istri saya bilang “Adin, jangan sedih sebab Tuhan punya alasan kenapa Adin gagal, barangkali nanti hasilnya akan lebih baik dari kegagalan Abang.” Eh, nggak sampai dua tahun nilai Good Year jatuh karena harga karet anjlok. Good Year turun menjadi paling besar 55 juta dollar. Kalau saat itu saya beli berarti saya mesti membayar bunganya sesuai harga semula, 95 juta. Karena gagalnya pembelian itu, saya menghemat 30 juta dollar hanya tabah beberapa bulan. Kalau istri tidak bisa mendukung, saya bisa patah. Siapa sih orang lain yang ngomong di rumah, kan istri. Sholat lagi, tahajjud. Tanya kepada Tuhan kenapa, nggak bisa temukan jawaban sekarang. Istri itu penting sekali. Emangnya perempuan itu barang mainan! Mereka sumber kehidupan, sumber inspirasi. Dukungan istri sangat kuat sekali. Kalau saya pergi dengan istri, ketemu bintang film cantik atau peragawati yang saya kenal, saya tegur: Hallo apa kabar?, kenalin ini istri saya. Dan saya nggak diberondong: “Lu kenal di mana, he!” T. Kalau nama, kedengarannya Abang orang Arab? J. Ah, nggak. Ayah juga bukan. Kalau empat-lima generasi sebelum Ayah, mungkin! T. Ini “nakal” sedikit Bang! J. Apa? T. Anu ... are you a good manager? J. He...he...he. Saya memikirkan organisasi, strategi. Saya rasa saya bisa dan mampu memimpin, tapi jangan saya yang operasionalisasinya, mengelolanya. Bisa berabe. Contohnya di Thomas Cup kita gagal dua kali, sekali di Asian. Kenapa? Karena saya langsung mengerjakan segi-segi operasionalnya. Jadi sebagai Presiden Direktur Bakrie & Brothers, sebagai strategic thinker perusahaan, “I’m not a good manager.” T & J. ha...ha...ha... Sumber: Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5