menjelaskan bahwa, masyarakat luas sudah tidak asing lagi dengan nama Kota Tapaktuan, atau sering juga disebut Kota Naga. Tapi kebanyakan orang tidak mengetahui dari mana asal muasal nama tersebut. “Orang sering menyebut nama Kota Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan, tapi masih banyak yang tidak tahu dari mana asal muasal nama tersebut,” kata pelaku sejarah yang juga pengelola objek wisata Tapak Tuan Tapa, Chaidir Karim, mengawali perbincangan baru-baru ini.Kota Tapaktuan merupakan ibukota Kabupaten Aceh Selatan, terletak sekitar 500 km dari ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh. Nama itu terdiri dari dua suku kata, tapak dan tuan. Alkisah, cikal bakal nama Tapaktuan itu berasal dari legenda Tuan Tapa yang ceritanya sudah tersohor ke seluruh penjuru dunia.Di Kota Tapaktuan, ada sebuah gunung yang dinamakan Gunung Tuan, pada zaman dahulu di sana hidup seorang petapa sakti yang bernama Syech Tuan Tapa. Gunung yang juga disebut Gunung Putri Naga, karena bentuknya sangat mirip seorang putri yang sedang tidur, membentang luas mulai Desa Batu Itam sampai Desa Panjupian.“Di gunung itu terdapat dua alur, alur pertama adalah lokasi alur naga betina melintas dan alur kedua lokasi alur naga jantan melintas. Di atas gunung terdapat istana dari batu tempat tinggal seorang putri naga yakni anak angkat naga,” Chaidir mengisahkan cerita zaman dahulu.Dua ekor naga tersebut diyakini berasal dari Tiongkok (China). Kedua naga itu berenang di lautan lepas menyusuri pinggir pantai arah barat mencari makanan. Ketika hendak kembali, mendengar suara tangis bayi di tengah-tengah laut, yang ketika didekati semakin terdengar keras dan jelas.“Alangkah terkejutnya kedua naga itu, karena saat didekati ternyata suara tangis itu benar-benar berasal dari bayi manusia perempuan sedang terapung-rapung di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Lalu kedua naga tersebut membawa bayi yang di telapak kakinya terdapat tahi lalat, ke gunung alur naga, kemudian naga tersebut merawat bayi yang diberi nama Putri Bungsu sampai tumbuh dewasa,” kata Chaidir.Berselang beberapa tahun kemudian, sang ayah bayi yang merupakan raja Kerajaan Asralanoka China, mengetahui anaknya yang hanyut di laut lepas telah tumbuh dewasa dipelihara naga di Tapaktuan. Raja itu pun berangkat ke Tapaktuan, menjumpai kedua ekor naga tersebut untuk meminta kembali anaknya, namun permintaan itu ditolak. Tapi tidak menyurutkan tekad sang raja untuk tetap membawa pulang anaknya, dan secara secara diam-diam sang raja menculik putri itu lalu dibawa ke kapal.Namun aksi penculikan diketahui naga jantan, yang mengejarnya sehingga terjadi pertempuran sengit di tengah lautan, masih di seputaran perairan laut Aceh Selatan. Naga jantan yang berteriak dengan suara lantang, ternyata membangunkan Tuan Tapa yang sedang bersemedi di Gunung Tuan. Tuan Tapa melihat kedua ekor naga sedang menyerang penumpang sebuah kapal di laut.Segera dia mengambil tongkat dan pecinya, dengan kesaktiannya menuju ke lokasi itu, dan pertempuran sengit pun pecah antara Syech Tuan Tapa dengan naga jantan.Saat menuju ke lokasi pertempuran itulah Tuan Tapa menginjakkan kakinya di batu karang yang berada di kaki Gunung Lampu, berlokasi di Desa Pasar. Simana sampai saat ini bekas telapak kaki raksasa Tuan Tapa, berukuran 2 x 3,5 meter, masih terlihat jelas dan utuh, sehingga menjadi objek wisata unggulan yang sangat ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara, setiap akhir pekan.“Dari bekas pertempuran, gumpalan darah dan bekas tubuh serta hati naga masih dapat dilihat berserakan di pesisir pantai Desa Batu Itam dan Batu Merah.Dinamakan Batu Itam, bermakna di desa itu terdapat ceceran hati naga berwarna hitam, dan Batu Merah bermakna di desa itu terdapat ceceran batu dan tanah berwarna merah, dan itu dapat dilihat dan dibuktikan sampai saat ini,” paparnya.Tidak hanya itu, sambung Chaidir Karim, pertarungan antara naga dengan Tuan Tapa juga mengakibatkan tongkat dan topi Tuan Tapa tercampak ke laut, sampai saat ini tongkat dan topi yang sudah menjadi batu itu masih berdiri kokoh di sepanjang perairan Kota Tapaktuan. Sedangkan kepingan kapal Raja Asralanoka yang telah menjadi batu juga masih utuh di perairan Desa Damar Tutong, Kecamatan Samadua, dinamakan Batu Berlayar karena bentuknya persis seperti kapal.Masyarakat meyakini makam Syech Tuan Tapa berlokasi di depan Masjid Tuo, Desa Padang, Kecamatan Tapaktuan. Makam tersebut panjangnya lebih dua meter dan lebar hampir satu meter, berdampingan dengan makam Datuk Raja Amat Jintan yang pernah menjadi raja di Tapaktuan.Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, ketika itu masih menjabat Menko Polhukam pada tahun 2003 saat menghadiri sebuah acara silaturrahmi dengan masyarakat Kota Tapaktuan, didampingi Gubernur Aceh saat itu H Abdullah Puteh dan Bupati Aceh Selatan saat itu HT Machsalmina Ali, pernah berkesempatan berziarah ke makam Syech Tuan Tapa.Menurut Chaidir, pengunjung obyek wisata itu tiap hari mencapai 500 orang, bahkan hari hari Sabtu dan Minggu bisa lebih 1.000 orang. Kebanyakan mereka berasal dari Banda Aceh, Sumatera Utara, Jakarta, bahkan ada dari Malaysia serta negara lain.”Tempat ini menarik. Selain bisa mengetahui legenda ataupun kearifan lokal, saya juga bisa menikmati pemandangan alam yang indah dan masih alami,” ujar Ifan, wisatawan asal Sumatera Utara. (hendri z)(Link: https://medanbisnisdaily.com/news/read/2015/11/03/196212/legenda-tapak-raksasa-tuan-tapa/ )Berdasarkan kroscek dan penjelasan, dapat disimpulkan, klaim foto unggahan bahwa jejak tapak kaki tersebut sebagai jejal tapak kaki Nabi Adam adalah tidak benar.Informasi termasuk kategori false context (konteks keliru).