Layanan kebersihan seksi 'Naked Cleaning Company' yang berbasis di Inggris laku keras selama pandemi covid-19. Bisnis ini menjual jasa pembersihan dengan petugas wanita berpakaian minim atau telanjang. Perusahaan yang berbasis di Devon, Inggris ini berencana memperluas usahanya ke seluruh dunia.
Bos 'Naked Cleaning Company’, Nikki Belton mengatakan, setelah lockdown nasional pertama dicabut d Inggris, bisnisnya meroket dan orang-orang menginginkan layanan persahaannya lebih dari sebelumnya.
[caption id="attachment_415096" align="alignnone" width="600"] (Foto: Theo Moye/Mercury Press)[/caption]
Ia mengatakan, pelanggan pria yang tinggal sendiri merasa kesepian, terutama sejak krisis virus corona, dan mereka 'menghargai' melihat seorang wanita telanjang berjalan di sekitar rumah dengan penyedot debu di tangan.
[caption id="attachment_415098" align="alignnone" width="600"] (Foto: Mercury Press)[/caption]
Seperti diberitakan Daily Mail, bisnisnya berkembang pesat saat pandemi dan perusahaan yang berbasis di Devon, Inggris ini berencana memperluas usahanya ke seluruh dunia. Amerika, Australia dan Dubai merupakan pasar yang sangat potensial bagi bisnis Nikki.
[caption id="attachment_415099" align="alignnone" width="300"] (Foto: Mercury Press)[/caption]
Bisnis cleaning service seksi ini sama seperti jasa pembersih pada umumnya. Pekerja melakukan tugas-tugas seperti menyedot debu, membersihkan debu, dan menyeka permukaan hingga bersih.
Harga yang dipatok untuk menyewa jasa cleaning service seksi cukup tinggi dengan alasan 'pemberdayaan wanita'.
Ia membanderol £ 75 atau sekitar Rp 1,5 juta per jam untuk pekerja dengan pakaian dalam dan £ 95 per jam atau Rp 1,8 juta untuk pekerja yang telanjang – di luar biaya sepasang sarung tangan karet dan masker.
Pekerjanya harus mematuhi protokol yang ketat seperti menjaga jarak sekitar 2 dua meter setiap saat dan jasanya dapat dipesan dengan sistem yang aman.
Belakangan Nikki diserang oleh orang-orang yang menyebut bisnis terlalu vulgar. Ia menolak usahanya disamakan dengan jasa seksual karena pekerjanya bukan objek seks. Moto perusahaannya adalah 'memberdayakan' wanita.
"Wanita harus memberdayakan wanita. Itulah etos di balik perusahaan. Ini semua tentang citra tubuh, tidak peduli apa bentuk atau ukuran Anda."
"Ini semua tentang pemberdayaan wanita, dan menjadi kuat dan percaya diri. Ini sangat penting, ada begitu banyak wanita di luar sana yang menilai diri mereka sendiri dan merasa mereka tidak cukup baik."
Daily Mail