Jamu Gendong dahulu adalah andalan, sangat ditunggu kedatangannya. Nah, di jaman milenial ini nyeruput jamu bisa rame-rame sambil nongkrong seru di kafe. Salah satunya ada di sini nih ... Acaraki Terrace, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Jamuuu ... Jamuuu …
Begitulah suara khas lengkingan penjual jamu gendong keliling akrab menyapa telinga saya dari sejak kecil hingga kini. Sesiapa yang berikhtiar sehat tak akan melewatkannya, termasuk ibunda saya.
[caption id="attachment_393388" align="alignnone" width="900"] Ibu penjual jamu gendong. Istilah Jamu sangat sarat dengan filosofi. Ikhtiar Kesehatan. Foto: KFK/ Budi Anto[/caption]
Beragam cita rasa cecap jejamuan menjadi pilihan bebas sesuai kebutuhan. Jamu beras kencur adalah spesial untuk saya demi mendongkrak selera makan biar lebih gemuk tubuh.
Namun kini pilihan beralih pada jamu kunyit asem demi melangsingkan tubuh yang terlanjur montok ini.
Oke, lanjuuut ... Siapa yang sekarang masih mengonsumsi jamu herbal?
Jamu Herbal vs Obat Racikan Kimia
Jamu adalah racikan rerempahan kuno yang mampu bertahan hingga kini. Racikan tradisional yang sangat menyehatkan. Tanpa bahan kimia. Semuanya herbal.
Sayang sekali, sudah tidak banyak yang mengonsumsi jamu. Banyak yang ingin mendapatkan kesembuhan pun kesehatan instan. Obat-obat kimia menjadi pilihan. Jamu makin terpinggirkan.
Celakanya lagi, jamu telah dianggap sebagai minuman kuno atau bahkan telah ketinggalan zaman. Keliru besar! Karena, jamu merupakan ramuan rempah tradisional yang justru sangat sehat dan menyehatkan. Racikannya menggunakan tetumbuhan yang punya khasiat mewujudkan dan menjaga kesehatan.
[caption id="attachment_393389" align="alignnone" width="600"] Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Kata Jamu berasal dari bahasa Jawa yaitu Jampi dan Usodo. Jampi artinya Mantra atau Sabda sedangkan Usodo berarti Kesehatan. Ada jamu daun pepaya, kunyit asem, beras kencur, temulawak yang sering kita temui dari penjual jamu gendong.
Banyak pula yang mengatakan jamu itu rasanya tidak enak. Begitu-begitu saja. Eiiitttsss ... Jangan salah! Sesekali yuk nyeruput jamu kekinian di Acaraki Terrace deh ...
The Art of Jamu
Di sini, ngejamu tentulah bisa dinikmati dengan asyik. Sambil nyeruput jamu, bisa nongkrong syantique. Acaraki Terrace ini adalah kafe jamu kekinian. Salah satunya berada di kawasan Kota Tua, Gedung Kerta Niaga 3, Jakarta Barat.
Namanya juga nyeruput jamu kekinian, tentulah jejamuannya tak hanya diracik dengan citarasa original, melainkan juga selera masa kini. Bahkan bisa memilih disajikan hangat atau dingin. Sesuai dengan visi sang founder Jony Yuwono yang ingin memperkenalkan jamu sebagai minuman enak dan dapat dijadikan gaya hidup masyarakat.
[caption id="attachment_393387" align="alignnone" width="900"] Penghargaan dari MURI. Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Menyesuaikan jargon The Art of Jamu, jangan heran kalau jamu yang tersedia juga mengedepankan sisi seninya, baik secara citarasa maupun cara penyeduhan, yaitu manual brew. Teknik ini tak melulu hanya sekedar mengikuti tren membuat kopi ya, melainkan agar didapat jamu yang pekat dari rempah yang digunakan. Penasaran?
Jamu bercitarasa kekinian ada varian apa saja sih?
Diantaranya ada Saranti yang dibuat dari beras kencur, susu, krimmer dan gula. Ada pula Bareskrim dari beras kencur dan es krim. Juga ada Golden Sparkling dari campuran kunyit asam, gula dan soda. Dan, buat penggemar jamu pahit atau mau uji nyali tingkat kepahitan, silakan mencicip The Challenger yang terbuat dari sambiloto dan temulawak.
Sedangkan buat para pencinta jamu original, tersedia dalam tiga kekentalan. Ada yang saring atau light, tubruk atau medium dan pekat atau bold. Jamunya ada Beras Kencur dan Kunyit Asam.
[caption id="attachment_393360" align="alignnone" width="900"] Beragam varian jamu bisa dipilih sesuai kebutuhan atau selera. Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Jamu-jamu ini terbuat dari rempah-rempah asli nusantara yang didatangkan dari berbagai daerah lho.
Jam Pasir?
Oh iya, ada yang menarik nih. Saat jamu disajikan ke meja, diletakkan pula jam pasir di meja kita. Untuk apa?
[caption id="attachment_393361" align="alignnone" width="900"] Jam pasir penunjuk waktu jamu bisa mulai diseruput. Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Penunjuk waktu kapan jamu mulai bisa dikonsumsi. Caranya, cukup dibalik saja jam pasirnya dan tunggu sampai saatnya tiba. Kira-kira semenit kemudian, jamu siap dikonsumsi. Lalu, serupuuuttt ...
[caption id="attachment_393363" align="alignnone" width="900"] Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Cita rasa bervariasi dan tingkat kekentalan beragam, kedai jamu ini jelas tak hanya membidik pasar orang dewasa, melainkan juga anak muda bahkan anak kecil.
Acaraki?
Acaraki merupakan sebutan untuk peracik atau pembuat jamu. Ini merupakan Bahasa Sansekerta yang sudah jarang orang tahu. Untuk itulah sebutan ini dipopulerkan kembali, sekaligus mengenalkan kembali kebiasaan minum jamu bagi masyarakat.
Untuk menyeruput segelas karya seni aneka jamu, harganya bervariasi mulai dari Rp25 ribu rupiah. Selain membuka kedai di Kawasan Kota Tua, usaha jamu modern ini juga tersedia di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan.
Buat yang mau membuat jamu ala kamu, bisa membuat sendiri di rumah. Oh, ya? Iya, di sini dijual pula serbuk rempah kok, diantaranya kunyit, jahe, dan kencur.
[caption id="attachment_393368" align="alignnone" width="900"] Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Kalau ada yang mau belajar membuat jamu kekinian, juga bisa. Di sini ada kelas trainingnya yang berdurasi 2 sampai 3 jam sehari, berbayar Rp300 ribu rupiah per orang. Namun, harap bersabar ya, selama pandemi Covid-19, kelas training pembuatan jamu ditutup sementara.
Nah, jadi kini Anda makin terinspirasi meminum jamu? Atau malah ingin membuat kedai jamu kekinian nih?
[caption id="attachment_393366" align="alignnone" width="600"] Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Duuuaaarrr! Guntur menyalak mengiringi sambaran kilat. Hujan deras mengguyur. Saya masih menikmati seruputan jamu sore itu. Seraya berandai-andai semua orang Indonesia kembali ke jamu daripada mengandalkan obat kimia.