Jakarta masih tiarap ketakutan didera Corona. Restoran hingga warung-warung makan dipaksa membalik kursi-kursi alias dilarang makan di tempat. Sementara di Tangerang sana, warung, restoran hingga kafe menggelinjang kegirangan. Pesta pora!
Sabtu siang 10 Oktober 2020, sekira pukul 12.30 wib.
Saya dibekap jenuh! Makan di rumah sudah tidak lagi bersemangat. Makan di luar adalah angan yang harus segera diwujudkan. Jika tidak, mungkin, akan jadi mudah naik pitam. Mungkin!
Dorongan hati mulai tak terbendung. Saya akhirnya memutuskan melongok ke luar Jakarta. Ke sana, kawasan Bintaro di Tangerang, Banten. Mengapa ke sana? Makan di tempat.
Mengapa pula jauh-jauh ke Bintaro?
Makan di tempat, bagi saya bukan hanya sekedar mengunyah dan menelan serta meneguk minuman lalu merogoh kocek kemudian pulang. Makan di tempat adalah meditasi sekaligus terapi.
[caption id="attachment_385852" align="alignnone" width="600"] Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption]
Meditasi menikmati sensasi inderawi pada ruang dan waktu itu. Dengan demikian akan memunculkan sensasi syukur pada diri paripurna. Manusia.
Ya, manusia yang mampu berterima kasih bahwa masih bisa menikmati segala sensasi inderawi. Berterima kasih pada makanan. Berterima kasih pada yang telah mempersiapkannya hingga siap santap. Semua ini membahagiakan.
Terapi? Ya, terapi diri untuk selalu sadar. Sadar pada pilihan yang kita putuskan. Memilih tempat makan bagi saya adalah pemenuhan kebutuhan jiwa, bukan sekedar kebutuhan badan atau perut.
Lokasi makan yang menyenangkan dan menenangkan akan menjadi oase di tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang padat, penat, panas dan ganas.
Foto: Instagram: @lot9bintaro
Begitulah hingga akhirnya kuda besi saya pacu dari Pasar Rebo, Jakarta Timur menuju Jalan Arteri Bintaro No. 78, Bintaro Jaya Sektor 9. Mengapa pilihannya ke sana? Karena data itulah yang muncul di benak pertama kali.
[caption id="attachment_385794" align="alignnone" width="600"] Foto: Instagram: @lot9bintaro[/caption]
Pintu masuknya mirip gang, Anda tak akan menyangka kalau di sini ada restoran berhalaman luas. Meski di masa pandemi begini, saya diijinkan makan di tempat. Iga bakar madu menjadi pilihan pembunuh lapar. Sedangkan es teh sereh menjadi pilihan pembasmi haus.
Itu hanyalah intro. Bukan itu yang akan saya ceritakan.
Nikmati santapanmu dengan penuh syukur. Tak usah terburu-buru. Ada banyak kasih sayang di sana.
Ada bisikan tiba-tiba di benak, kalau mau melongok surganya tongkrongan dan kuliner makan di tempat ada di BSD City, jauuuh di sana.
Ya, nun jauh di sana, tapi tidak usah dipikirin. Cus, ke sana. Ikuti kode-kode semesta yang tertangkap jiwa. Google Map. Tunggangi kuda besi berplat nomor AA melaju ke
Kumulo Creative Compound.
Cuaca tidak seterik biasanya. Mendung tebal nampak membekap di langit.
Setengah jam kemudian muncul teriakan perempuan penyiar Google Map memberi tahu kalau lokasi tujuan sudah sampai. The Breeze BSD City?
Kompleks kreatif yang dibuat dengan konsep
microshop ini lokasinya ada di BSD The Breeze, BSD City, persis di samping Cakra Lounge.
[caption id="attachment_385815" align="alignnone" width="900"]
Kumulo Creative Compound. Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Kocek harus dirogoh menjumput Rp50 ribu sebagai rukun masuk lokasi Kumulo Creative Compound. Di sini, raut wajah semua orang berseri-seri. Kayaknya sih, soalnya ketutup masker semua.
Ya, karena masih masa pandemi, tentunya tetap
pake aturan protokol kesehatan. Masker, wajib di sini.
[caption id="attachment_385819" align="alignnone" width="600"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Kumulo Creative Compound baru dibuka pada 1 Juli 2020. Desain Kumulo sangat artistik dengan bangunan tenan kecil-kecil.
Banyak pilihan produk ramah lingkungan
, bulk store, artisan keramik, pakaian, perlengkapan hewan, bahkan perawatan kecantikan juga ada, apalagi makanan dan minuman.
Kalau mengantre mesti sabar dan tetap jaga jarak ya ...
[caption id="attachment_385829" align="alignnone" width="900"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Ternyataaa ... Ada yang lebih ramai yaitu di "alun-alun" The Brezee, pinggiran danau. Di sini banyak orang berkumpul, beristirahat, bercengkerama.
[caption id="attachment_385834" align="alignnone" width="900"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Suasananya begitu hidup.
Mereka sadar atau tidak, sedang melakukan meditasi bagi jiwa sekaligus terapi kesadaran. Kontemplasi. Merenungi lakon kehidupannya.
[caption id="attachment_385837" align="alignnone" width="900"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Bagai pepatah: ada gula, ada semut, begitulah di sini, ada makanan, ada kerumunan manusia. Ketika Jakarta ketakutan dengan corona, di sini pesta-pora.
[caption id="attachment_385838" align="alignnone" width="900"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Inilah mengapa banyak orang Jakarta dan Depok beralih tongkrongan ke Tangerang, seperti saya. Ya! Sekali lagi, untuk turut berpesta pora. Menikmati peziarahan hidup setiap hari.
[caption id="attachment_385841" align="alignnone" width="900"]
Foto: Ilustrasi Jagatnatha, 10 Oktober 2020[/caption]
Begitulah sekelumit cerita kecil hari ini. Saat Jakarta melarang, Tangerang berpesta-pora. Ada sedikitnya 53 lokasi kuliner di kawasan The Breeze ini. Boleh makan di tempat namun tetap patuhi protokol kesehatan.
Selamat bermeditasi dan terapi. Bahagia! Pesta pora!