Candi Sewu namanya. Sewu dalam bahasa Jawa artinya seribu. Namun ini hanya ungkapan sebegitu banyak candi di komplek ini, bukan jumlah pasti bangunan candi.
Setelah satu jam berteduh di warung sentra kuliner Prambanan, hujan perlahan berganti gerimis kecil-kecil. Saya tengadahkan tangan ke udara untuk memastikan. Masih ada sedikit titik air. Tak apa. Sebentar lagi pasti terang benderang.
Jarak dari sentra kuliner di dalam kawasan Taman Wisata Candi Prambanan ke Candi Sewu sekira 1 kilometer. Jalan kaki lumayan juga. Untungnya cuaca cukup segar habis diguyur hujan.
Candi Sewu Boleh jadi tak sepopuler Candi Prambanan. Meski keduanya berada dalam satu kompleks Taman Wisata. Secara admisnistratif Candi Sewu masuk wilayah Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
[caption id="attachment_384751" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Tiket masuknya digabung jadi satu dengan Taman Wisata Candi Prambanan. Yang perlu dicatat, untuk sementara jumlah pengunjung saat ini dibatasi dan harus mengikuti protokol kesehatan.
Beberapa wisatawan yang masuk dan berkeliling candi menemukan banyak hal yang sangat menarik, baik dari sisi arsitektur, latar belakang sejarah, dan lain sebagainya.
"Bagus, hampir sama dengan yang di depan (Prambanan) tapi ini jumlah candinya banyak. Juga lebih tenang tidak banyak pengunjungnya, jadi lebih bebas jalan-jalannya," kata salah satu wisatawan sambil menggandeng pasangannya.
[caption id="attachment_384758" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Kalau Candi Borobudur disebut sebagai satu bangunan Candi Buddha terbesar di Indonesia, maka Candi Sewu adalah kompleks candi Buddha paling besar di Indonesia. Ingat ya, kompleks candi. Artinya kumpulan candi yang berada satu area.
Menurut literatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, candi ini disebut sewu karena jumlahnya banyak. Oleh masyarakat setempat kemudian dinamakan "Sewu" yang berarti seribu. Jumlah persisnya sih setelah dihitung ada 249 candi. Terdiri dari 1 bangunan candi utama, 8 candi apit dan 240 candi perwara. Saya tidak berniat membuktikan dengan menghitung satu per satu. Sudahlah, serahkan pada ahlinya ...
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792, nama asli candi ini adalah Prasada Vajrasana Manjusrigrha.
Prasada bermakna candi atau kuil, sedangkan Vajrajasana bermakna tempat Wajra atau intan bertakhta. Sedangkan Manjusrigrha bermakna Rumah Manjusri atau salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, raja termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
[caption id="attachment_384754" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Selain bangunan candi yang cukup besar dan banyak, ada arca yang sangat menonjol di kompleks ini. Yaitu sepasang arca raksasa besar yang saling berhadapan. Letaknya mengapit pintu gerbang masuk kompleks candi. Dari informasi yang saya dapatkan, dua arca tersebut adalah penjaga. Namanya Dwarapala.
Dijelaskan di situs cagara budaya Kemendikbud RI, Dwarapala adalah arca dalam posisi duduk jongkok tegak menghadap kedepan, memakai jamang atau perhiasan yang dikenakan diatas dahi dibawah mahkota. Perutnya buncit, rambutnya lurus sebahu, mata melotot, memakai anting, dan gigi bertaring. Posisinya duduk agak jongkok, tangan kanannya memegang gada. Dwarapala memakai kain yang dililitkan di pinggang sampai lutut, dengan beberapa oerhiasan di lengan, tangan, dan pergelangan kaki.
Dalam ajaran Siwa Budha, Dwarapala adalah penjaga gerbang atau pintu. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di dalamnya.
[caption id="attachment_384755" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Candi Sewu secara arsitektur sangat indah. Beda dengan Candi Borobudur yang terkesan besar melebar, Candi Sewu yang juga bercorak Buddha justru ramping ke atas mirip dengan Candi Prambanan yang bercorak Hindu.
Menurut informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, meskipun Raja Kerajaan Mataram pada saat itu beragama Hindu, tetapi masih memiliki hubungan yang kuat dengan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Hal itu diperkuat dengan perkawinan Raja Mataram Rakai Pikatan yang beragama Hindu dengan Pramodawardhani yang beragama Buddha.
Teguh Joko Sutrisno | Klaten, Jawa Tengah