Wayang jimat ini ada di lereng Gunung Merbabu. Kulitnya terbuat bukan dari kulit sapi, kerbau, kambing ataupun kuda namun dari kulit manusia.
Wayang adalah karya seni peraga. Menggambarkan simbol karakter watak dan jalan kehidupan seseorang atau kaum. Tidak sembarang orang mampu melakonkan kisah. Tidak pula sembarang orang diijinkan memegang pun memainkannya.
Maka jadilah wayang sebagai benda pusaka. Dihormati bahkan disakralkan. Mengapa? Karena punya nilai yang sangat tinggi sebagai hasil budi daya pikir. Penghormatan budi daya pikir inilah yang menjadikannya pusaka, jimat yang disakralkan.
Dahulu, wayang terbuat dari kumpulan rerumputan yang diikat dan dibentuk sosok. Seiring berkembangnya budi daya pikir, bahan untuk membuat wayang berkembang menggunakan kulit hewan seperti kerbau atau sapi, kuda atau kambing. Bahkan, kulit manusia!
Wayang yang konon terbuat dari kulit manusia ini disimpan di lereng Gunung Merbabu. Tepatnya, di Kampung Ndakan, Desa Kenalan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Wayang kulit manusia ini berupa tokoh Janaka, keluarga kaum Pandawa. Wayang ini disimpan di kediaman Mbah Sumitro.
[caption id="attachment_382413" align="alignnone" width="900"] Wayang jimat Arjuna atau Janoko dari kulit manusia jika dilihat lebih detail, kulit wayang ini lebih gelap, halus, tipis, dan ringan saat diangkat. Foto: bombastis.com[/caption]
Wayang Arjuna atau Janoko dulunya dibuat dari kulit seorang pemuda Surakarta yang tak diketahui siapa namanya, jauh sebelum keraton terbentuk. Jika dilihat lebih detail, kulit wayang ini memang berbeda, lebih gelap, halus, tipis, serta wayang ringan saat diangkat.
Mbah Sumitro, penjaga wayang yang sudah 30 tahun merawat Arjuna, hanya sesepuh desa saja yang bisa memainkan wayang ini, bukan orang lain.
Jika dimainkan selain sesepuh desa, wayang akan menjadi berat dan tangan dalang tak mampu mengangkatnya. Wayang Arjuna hanya boleh dimainkan dua kali dalam setahun, yaitu bulan Safar dan Syawal, mengikuti perhitungan kalender Jawa.
[caption id="attachment_382403" align="alignnone" width="900"] Peti wayang Arjuna yang setiap malam Jumat Kliwon selalu mengeluarkan bunyi ketukan. Foto: boombastis.com[/caption]
Mbah Sumitro mengaku, ketika pertama kali menjadi penjaga peti wayang, sering terdengar suara ketukan setiap malam Jum’at kliwon dari dalam peti dimana Arjuna disimpan.
Di rumah Mbah Sumitro juga terdapat seperangkat wayang yang jumlahnya sekitar 70 wayang dan umurnya mungkin ribuan tahun.
Dikisahkan, wayang itu peninggalan dari Ki Ajar Ndaka, pertapa sakti di Kampung Ndakan pada saat itu. Ki Ajar Ndaka mendapatkan seperangkat wayang itu dari seorang Pangeran Keraton Surakarta yang disembuhkannya dari sakit berkepanjangan.
Menurut Mbah Sumitro ada ritual khusus sebagai syarat untuk melakukan pementasan menggunakan wayang itu. Pagelaran wayang yang dilaksanakan 2 tahun sekali ini juga harus di desa Ndakan, bukan di tempat lain.
[caption id="attachment_382422" align="alignnone" width="900"] Kliping berita koran Suara Merdeka milik Mbah Sumitro. Foto: Facebook[/caption]
Hingga saat ini, wayang Arjuna tetap menjadi keramat dan dijaga oleh para sesepuh desa Ndakan.
Wayang yang penuh unsur mistis ini tentunya menambah khasanah budaya nusantara.