Kuda Lumping dulunya adalah sarana hiburan rakyat banyak. Pun, sarana sosialisasi informasi pemerintah. Bagi para pelakon, beraksi di lapangan adalah kebangaan. Namun kini semua ambyar. Kuda Lumping tak lagi menjadi tontonan yang diminati. Para pelakon turun ke jalanan hanya mengais recehan.
Siang itu benar-benar terik. Dari kejauhan aspal seperti basah memendarkan fatamorgana. Gerah, sangat gerah.
Tapi tidak bagi pria 60 tahun itu. Ia terus menabuh gendang meski keringat melunturkan bedak tebal di wajahnya. Cuaca terik adalah kesempatan mengumpulkan recehan. Bayangkan kalau hujan, semua bubar, riasan buyar, kendang melempem. Pengendara juga enggan repot membuka kaca jendela mobil untuk sekedar melongok aksi para pelakon.
"Harus dijalani mas, cuaca panas ya tetep turun gak bisa berteduh. Lha cari duitnya sekarang dari begini," katanya sambil menggeser alat perkusi.
Adalah Pak Tri. Nama lengkapnya Sutriman. Ia adalah salah satu pemain gamelan grup kuda lumping Krido Ramekso di perempatan jalan lingkar Ambarawa.
[caption id="attachment_379707" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Sudah lebih sepuluh tahun ia bersama grupnya turun ke jalan. Sebuah cara pentas yang tak pernah ia bayangkan. Tapi mau apa. Jarum waktu tak bisa mundur, terus maju. Jaman berubah begitu cepat.
Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, grup kuda lumpingnya begitu jaya. Tarikan pentas datang silih berganti. Bahkan kalender di rumah sudah ia lingkari sampai beberapa minggu ke depan. Hajatan kawinan dan supitan paling banyak. Apalagi pas bulan besar, sabtu dan minggu bukanlah hari libur bagi mereka.
Pak Tri mencoba berkilas balik.
"Waktu itu grup saya dan teman-teman bisa membeli atribut baru, rutin servis gamelan, kasih honor layak bagi pemain, dan yang tak kalah penting jiwa ini bisa terisi karena bisa pentas," ceritanya.
Ia melanjutkan, pentas adalah roh bagi grup kuda lumping atau jaran eblek. Bukan sekedar pemasukan uang, lebih dari itu. Tanpa pentas, grup seperti tersingkir dari komunitasnya. Ya, penonton adalah bagian dari komunitas itu.
"Kalau gak ada tanggapan rasanya nglangut (hampa). Jadi rasanya lega sekali begitu ada undangan pentas, gumregah (semangat)," jelasnya.
Rutinitas itu sekarang seperti barang mewah yang mahal. Sulit terjangkau. Harapannya paling-paling orderan instansi kalau ada perayaan seperti tujuhbelasan atau merti desa. Malah setelah ada pandemi covid-19, belum ada undangan pentas sama sekali.
"Blas mas, gak ada tanggapan, malah kemarin sempat ada undangan hajatan di Boyolali, dibubarkan oleh aparat karena pandemi," kata Suprianto, salah satu penari binaan Pak Sutriman.
Sebelum pandemi covid-19, sesekali undangan hajatan macam kawinan atau sunatan masih ada. Tapi jauh berkurang karena pada berpaling ke hiburan yang super instant, simpel, meriah, dan yang pasti murah kayak Organ Tunggal.
Hanya berbekal keyboard satu meter yang bisa diangkut pakai motor, plus pemain dan penyanyi sudah bisa jalan. Ongkosnya kalau kelas kampung paling Rp1 juta sudah komplit. Mau nyanyi pop, dangdut koplo, atau pop yang dikoploin bisa. Apalagi kalau penyanyinya wanita bening. Jelas itu bonus.
Sekarang bandingkan. Kalau nanggap kuda lumping. Pemain musik minimal 10 orang, penari bisa 15 orang. Belum lagi perangkat gamelan yang bisa memenuhi setengah truk sendiri.
Dan biasanya, personil grup juga mengajak anak-anak mereka. Sohibul hajat pasti berhitung. Misal satu rombongan plus pengikutnya ada 50 orang. Berarti harus menyediakan jamuan segitu juga juga buat mereka. Itu di luar ongkos pentas lho. Meski sebenarnya kalau mau saklek kasih jamuan itu tidak wajib. Tapi yo saru lah. Tidak elok.
Yang pasti, tarif kuda lumping bisa beberapa kali lipat dari solo organ. Karena selain peralatan dan personil yang "sak truk" tadi, pentasnya juga seharian penuh, bahkan sampai malam.
"Kalau dipikir sebenarnya ya cucuk (gak rugi) nanggap kuda lumping. Dari pagi jam 10,00 sampai malam. Paling tidak 10 jam pentasnya di lapangan. Sekampung bisa nonton. Marem. Kalau yang solo organ itu kan paling cuma 2 jam," tambahnya.
[caption id="attachment_379709" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Kembali ke perempatan jalan lingkar Ambarawa. Traffick light menyala merah. Waktunya penari "ngaspal" mengikuti irama gamelan yang monoton begitu-begitu saja. Tanpa tembang. Tanpa suluk. Toh melantunkan tembang pun tak terdengar. Sebentar saja tariannya karena berkejaran dengan lampu hijau.
Setengah menit menari, setengah menit muter berharap niat baik pengendara. Terus begitu setiap perubahan lampu. Kadang sekali muter dapat lumayan, tapi kadang juga dapat sedikit. Bahkan zonk. Tapi ia dan penabuh gamelan tetap harus tersenyum. Karena itu bagian dari modal.
"Ndak enak juga kalau menari sambil merengut kan. Kita tetap coba profesional. Atribut yang kita pakai itu benar-benar pakaian kuda lumping beserta riasan juga. Kita nggak mau seperti penari dadakan yang asal-asalan ngamen," tandasnya.
[caption id="attachment_379708" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Begitulah. Sejak sepinya tanggapan mereka harus turun ke jalan. Bukan untuk segepok uang, tapi untuk berburu recehan.
Belum tahu, apakah profesi seperti mereka masuk dalam bantuan dampak pandemi.
Teguh Joko Sutrisno | Semarang, Jawa Tengah