GKR Hemas, Gusti Kanjeng Ratu Keraton Jogja ini tidak dapat menutupi kedongkolannya, "Aku ki anyel, kok rasane kaya diapusi ..." Ada apa hingga Ratu Jogja sedemikian dongkolnya? Ternyata beliau marah kepada pelaku usaha tambang yang melakukan praktik penambangan dengan sembrono, sehingga merugikan kelompok masyarakat lain.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas tidak dapat menutupi kedongkolannya kepada pelaku usaha tambang yang melakukan praktik penambangan dengan sembrono, sehingga merugikan kelompok masyarakat lain.
[caption id="attachment_372715" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]
Hal itu terungkap saat mendapatkan aduan dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Hargobinangun Selatan, Kecamatan Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (9/9/2020). Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X itu mengaku dongkol dan merasa telah ditipu selama bertahun-tahun lamanya.
[caption id="attachment_372716" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]
"Aku ki anyel, kok rasane kaya diapusi (Saya dongkol, rasanya seperti ditipu selama ini)," ujarnya usai mendengar keluhan anggota Gapoktan di Bangsal Sompilan, Sawungan, Hargobinangun, Pakem, Sleman.
Kedongkolan Ratu Hemas dipicu pengaduan sebanyak 22 pengurus Gapoktan Hargobinangun Timur yang mengeluhkan air yang mereka butuhkan untuk mengairi lahan pertanian dan peternakan berlumpur akibat penambangan pasir di Kali Kuning.
[caption id="attachment_372717" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]
Dalam pertemuan itu, Pejabat Sementara Lurah Hargobinangun Suhardiman menyampaikan, anggota kelompok tani dan masyarakat sudah beberapa minggu terakhir resah karena air baku yang dialirkan dari Kali Kuning menjadi keruh dan berlumpur pekat usai turun hujan.
Secara bergantian, anggota kelompok tani diberi kesempatan mengutarakan keluhan kepada Ratu Hemas. Mereka yang seluruhnya bergantung hidup pada pertanian dan peternakan itu mengaku terdampak dan kesulitan mencari titik temu dengan perusahaan tambang yang beroperasi di sungai itu.
Secara keseluruhan, luasan lahan pertanian milik warga di 12 dusun dan empat pedukuhan di wilayah Hargobinangun yang terdampak mencapai 80 hektare. Selain itu, belasan hektare lahan perikanan juga mengalami endapan lumpur tebal hingga puluhan sentimeter, sehingga membunuh ikan budidaya warga. Kondisi itu menurut penuturan warga, kian diperparah dengan mulai sulitnya air saat musim kemarau tiba.
[caption id="attachment_372719" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]
"Belum lama ini saya kunjungan, saat itu pejabat dinas melapor di hadapan Pak Bupati Sleman, katanya air di seluruh wilayah ini aman, bahkan bisa mengalir sampai Klaten. Lha ini baru berapa meter dari Merapi, untuk warga sendiri saja tidak terjamin," ungkapnya kepada warga.
Ratu Keraton Yogyakarta bahkan mengungkapkan dirinya merasa terlambat sepuluh tahunan karena baru melihat sendiri kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan yang sembrono. Sebelum mengadiri pertemuan Gapoktan Hargobinangun Selatan, Ratu Hemas menyempatkan diri untuk berkeliling melintasi jalan-jalan kecil di Kecamatan Cangkringan dan Pakem.
[caption id="attachment_372721" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]
"Saya sedih, rasanya saya terlambat lima atau sepuluhan tahun. Kok baru sekarang lihat sendiri kondisinya bisa begitu parah," katanya.
Tak hanya tambang tanpa izin, Ratu Hemas bahkan sempat melihat dari dekat praktik penambangan yang legal, namun dilakukan dengan serampangan. Selain itu, dia juga melihat dari dekat penambangan oleh warga di tanah pribadi, sementara lahan-lahan itu masuk dalam daerah tangkapan air (water catchment area).
Ratu Hemas menyebut, untuk urusan air tidak hanya wilayah Sleman saja yang bergantung pada resapan di lereng Gunung Merapi.
"Saya yang tinggal di Yogya juga ikut terdampak, karena wilayah ini (lereng Merapi) satu-satunya sumber aliran yang sampai ke Yogya," ungkapnya.
Tinjau Ulang Perizinan Tambang
GKR Hemas yang juga Anggota DPD RI asal DI Yogyakarta berniat membawa persoalan kerusakan lingkungan akibat penambangan yang sembrono ke Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Perizinan harus ditinjau ulang. Selama ini mungkin ada kurang data sehingga rekomendasi wilayah pertambangan bisa keluar," ujarnya.
Secara terminologi, pemerintah sudah mengubah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Tambang Galian Golongan C menjadi Tambang Batuan, melalui UU Nomor 4 Tahun 2009. Sementara, perizinan eksploitasi tambang batuan diatur dengan izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian mengeluarkan izin setelah mendapatkan rekomendasi dari pemangku wilayah.
Kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai aturan PP No 23 tahun 2010 dapat dikeluarkan oleh Kementerian ESDM untuk lintas wilayah provinsi, oleh gubernur jika dalam provinsi dan bupati/wali kota jika berada dalam satu wilayah kabupaten/kota.
GKR Hemas menyebut, kemungkinan celah sengkarut perizinan ada di level pengeluaran rekomendasi dari pemangku wilayah. Mengingat pentingnya sumber daya air bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang, Ratu Hemas meminta masyarakat untuk bersama-sama mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan, terutama di water catchment area.
"Tapi upaya apapun akan sulit kalau tidak ada dukungan masyarakat. Karena saya lihat banyak warga menambang di tanah pribadi, meskipun itu akan mengganggu proses penangkapan air," katanya.
[caption id="attachment_372726" align="alignnone" width="900"] Gusti Kanjeng Ratu Hemas didampingi cucu tertua, Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo meninjau kondisi Sungai Gendol, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (9/9). Foto: Istimewa[/caption]
Mendampingi Ratu Hemas, Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo mengungkapkan dirinya cukup memahami kekesalan yang dirasakan neneknya tersebut. Pasalnya, cucu tertua Sultan HB X itu sebelumnya juga melihat langsung beberapa lokasi yang mengalami kerusakan.
"Tidak hanya lokasi tambang, jalan yang sebetulnya jalur evakuasi juga banyak yang rusak karena bobot pengangkut pasir yang mungkin sekali melebihi tonase," kata Marrel.
Dalam kunjungan tanpa pengawalan ke sejumlah lokasi di wilayah Kecamatan Cangkringan dan Pakem itu, Marrel juga mengajak GKR Hemas menemui sejumlah pegiat lingkungan. Menggunakan mobil berpenggerak empat roda, dia membawa Ratu Hemas berkeliling hingga masuk ke sungai-sungai terjal.
"Sengaja, biar Eyang Putri melihat sendiri apa yang selama ini saya temui," katanya.
Selain itu, Marrel memiliki misi untuk mengajak GKR Hemas menemui Kepala Dukuh Kaliurang Timur Anggara Daniawan, pegiat isu air Bambang Kotir, dan pelaku industri jasa wisata Heri Giarto. Pertemuan yang berlangsung tidak formal itu adalah upaya Marrel untuk memberikan gambaran utuh bagaimana sektor wisata tetap dapat memberikan dampak ekonomi tanpa mengganggu fungsi ekologi.
Dalam setiap pertemuan, Marrel berpesan agar masyarakat tetap berupaya menjaga kelestarian lereng Merapi. Pasalnya, selain menopang ketersediaan air yang penting bagi pertanian dan sektor lain di Yogyakarta, Merapi juga memiliki fungsi kultural karena sebagai kota budaya, berbagai ritual keraton kerap digelar di gunung itu.