Foto: Istimewa[/caption]Dalam pertemuan itu, Pejabat Sementara Lurah Hargobinangun Suhardiman menyampaikan, anggota kelompok tani dan masyarakat sudah beberapa minggu terakhir resah karena air baku yang dialirkan dari Kali Kuning menjadi keruh dan berlumpur pekat usai turun hujan.Secara bergantian, anggota kelompok tani diberi kesempatan mengutarakan keluhan kepada Ratu Hemas. Mereka yang seluruhnya bergantung hidup pada pertanian dan peternakan itu mengaku terdampak dan kesulitan mencari titik temu dengan perusahaan tambang yang beroperasi di sungai itu.Secara keseluruhan, luasan lahan pertanian milik warga di 12 dusun dan empat pedukuhan di wilayah Hargobinangun yang terdampak mencapai 80 hektare. Selain itu, belasan hektare lahan perikanan juga mengalami endapan lumpur tebal hingga puluhan sentimeter, sehingga membunuh ikan budidaya warga. Kondisi itu menurut penuturan warga, kian diperparah dengan mulai sulitnya air saat musim kemarau tiba.[caption id="attachment_372719" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]"Belum lama ini saya kunjungan, saat itu pejabat dinas melapor di hadapan Pak Bupati Sleman, katanya air di seluruh wilayah ini aman, bahkan bisa mengalir sampai Klaten. Lha ini baru berapa meter dari Merapi, untuk warga sendiri saja tidak terjamin," ungkapnya kepada warga.Ratu Keraton Yogyakarta bahkan mengungkapkan dirinya merasa terlambat sepuluh tahunan karena baru melihat sendiri kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan yang sembrono. Sebelum mengadiri pertemuan Gapoktan Hargobinangun Selatan, Ratu Hemas menyempatkan diri untuk berkeliling melintasi jalan-jalan kecil di Kecamatan Cangkringan dan Pakem.[caption id="attachment_372721" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption]"Saya sedih, rasanya saya terlambat lima atau sepuluhan tahun. Kok baru sekarang lihat sendiri kondisinya bisa begitu parah," katanya.Tak hanya tambang tanpa izin, Ratu Hemas bahkan sempat melihat dari dekat praktik penambangan yang legal, namun dilakukan dengan serampangan. Selain itu, dia juga melihat dari dekat penambangan oleh warga di tanah pribadi, sementara lahan-lahan itu masuk dalam daerah tangkapan air (water catchment area).Ratu Hemas menyebut, untuk urusan air tidak hanya wilayah Sleman saja yang bergantung pada resapan di lereng Gunung Merapi."Saya yang tinggal di Yogya juga ikut terdampak, karena wilayah ini (lereng Merapi) satu-satunya sumber aliran yang sampai ke Yogya," ungkapnya. Tinjau Ulang Perizinan Tambang GKR Hemas yang juga Anggota DPD RI asal DI Yogyakarta berniat membawa persoalan kerusakan lingkungan akibat penambangan yang sembrono ke Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X."Perizinan harus ditinjau ulang. Selama ini mungkin ada kurang data sehingga rekomendasi wilayah pertambangan bisa keluar," ujarnya.Secara terminologi, pemerintah sudah mengubah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Tambang Galian Golongan C menjadi Tambang Batuan, melalui UU Nomor 4 Tahun 2009. Sementara, perizinan eksploitasi tambang batuan diatur dengan izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian mengeluarkan izin setelah mendapatkan rekomendasi dari pemangku wilayah.Kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai aturan PP No 23 tahun 2010 dapat dikeluarkan oleh Kementerian ESDM untuk lintas wilayah provinsi, oleh gubernur jika dalam provinsi dan bupati/wali kota jika berada dalam satu wilayah kabupaten/kota.GKR Hemas menyebut, kemungkinan celah sengkarut perizinan ada di level pengeluaran rekomendasi dari pemangku wilayah. Mengingat pentingnya sumber daya air bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang, Ratu Hemas meminta masyarakat untuk bersama-sama mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan, terutama di