Rawa Pening punya cerita misteri dan mitos yang masih dipercaya sebagian masyarakat. Seekor ular raksasa bernama Baru Klinthing yang menjelma sebagai bocah kumal memberi pelajaran berharga bagi masyarakat desa yang congkak pun sombong.
Permukaan air di Rawa Pening berkilat-kilat siang itu. Beberapa perahu jukung nelayan hilir mudik mengangkut batang enceng gondok yang sudah diikat memenuhi setengah ruang perahu. Nantinya, batang enceng gondok akan dikirim ke Jogja untuk dijadikan kerajinan.
Begitulah keadaan nelayan di Rawa Pening sekarang. Selain mencari ikan, juga membabat gulma enceng yang tumbuh liar nyaris tak terkendali. Hampir setengah permukaan rawa sudah tertutup enceng gondok.
[caption id="attachment_368545" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Padahal, dulu ketika bersih dari gulma, Rawa Pening sungguh indah luar biasa. Airnya lebih jernih dan berkilat tertimpa matahari. Sumber airnya berasal dari mata air di daerah Muncul, Banyubiru. Ditambah dengan beberapa aliran sungai yang berhulu di Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran yang bermuara sama di Rawa Pening.
Bicara soal sumber air atau bagaimana terbentuknya Rawa Pening ini, selain analisa ilmiah, ada juga cerita rakyat yang tetap hidup di masyarakat yang tinggal di perkampungan sekeliling rawa, yaitu legenda Baru Klinthing.
Kisah ini sebenarnya mengajarkan tentang bagaimana seharusnya masyarakat tidak memandang rendah orang kecil dan bagaimana menjalani hidup dengan bijak dan tepa selira (saling menghormati) tanpa memandang kaya miskin maupun kedudukan.
Diceritakan bagaimana Rawa Pening ini terbentuk karena lidi yang ditancapkan di tanah, menjadi petaka luapan air besar saat dicabut. Dari sinilah sumber air yang kemudian menjadi bah pembentuk rawa.
Saya beberapa kali datang ke Rawa Pening. Salah satunya adalah Bukit Cinta, salah satu tempat ketinggian yang persis berada di tepi rawa sebelah selatan. Di gerbang Bukit Cinta ada relief yang menggambarkan kisah legenda Baru Klinting. Kebetulan waktu itu bukan hari libur, sehingga saya bebas ngobrol dengan petugas jaga yang paham betul dengan legenda tersebut.
"Ini reliefnya, yang buat seniman Kabupaten Semarang, untuk memudahkan pengunjung memahami legenda cikal bakal Rawa Pening," kata Mugiono, petugas Bukit Cinta memulai ceritanya.
Ada dua tokoh sentral dalam relief ini, yaitu seorang wanita tua dan seorang bocah yang penampilannya sangat sederhana.
Ceritanya berlatar Desa Ngasem yang berada di lereng Gunung Telomoyo. Kepala desanya bernama Ki Sela Gondang. Waktu itu ada acara Merti Desa. Namun ada satu syarat agar acara bisa berlangsung lancar tanpa halangan yaitu sarana pusaka untuk tolak bala.
Ki Sela meminta putrinya, Endang Sawitri, untuk meminjam pusaka milik sahabatnya bernama Ki Hajar Salokantara.
Endang pun berangkat menuju ke Padepokan Ki Hajar. Saat Endang mendapatkan pinjaman keris, Ki Hajar berpesan agar jangan sekali-kali menaruh keris ini di pangkuan.
[caption id="attachment_368549" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
"Begitulah, Saat perjalanan pulang, Endang Sawitri beristirahat di bawah pohon, dan karena lelah ia pun mengantuk lalu tidur. Namun tanpa sengaja ia menaruh pusaka di pangkuannya, dan keris itu pun tiba-tiba lenyap," lanjut Mugiono.
Endang Sawitri sangat panik, dan segera meneruskan perjalanan pulang dan menemui ayahandanya. Ia minta maaf atas kelalaiannya ini.
Ki Hajar coba menenangkan putrinya. Setelah keadaan mulai bisa teratasi, Ki Sela kemudian menemui Ki Hajar Salokantara untuk menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan yang telah dibuat oleh putrinya.
"Namun Ki Sela waktu itu kaget setelah mendengar penjelasan Ki Hajar sahabatnya ini bahwa kerisnya tidak hilang tapi masuk ke rahim putrinya," lanjut cerita Mugiono.
Masuknya pusaka tersebut membuat Endang mengandung. Ki Sela minta bantuan Ki Hajar untuk menikahi putrinya untuk menutup aib keluarga. Dengan berat hati, maka Ki Hajar Salokantara pun menerima Endang Sawitri.
Namun setelah itu Ki Hajar Salokantara memutuskan untuk meninggalkan istrinya dan bertapa untuk berdoa kepada Tuhan agar terlepas dari kutukan keris pusaka miliknya. Sebelum pergi bertapa ia berpesan kepada Endang Sawitri.
"Beri klinthingan ini ke anakmu yang nanti lahir sebagai tanda kalau ini anakmu, lalu nanti mintalah dia mencariku. Begitu pesan Ki Hajar ke Endang Sawitri," lanjut Mugiono.
Tiba waktunya sembilan bulan, Endang pun melahirkan. Namun alangkah terkejutnya karena yang lahir bukanlah seorang bayi, melainkan seekor ular. Dan anehnya ular itu pun bisa berbicara layaknya manusia. Lalu dinamailah ular itu Baru Klinthing.
Waktu terus berjalan, saat Baru Klinthing menginjak remaja ia pun menanyakan tentang ayahnya. Endang merasa ini waktunya ia meminta anaknya untuk mencari Ki Hajar Salokantara yang bertapa di Gunung Telomoyo.
Setelah menempuh perjalanan yang jauh, akhirnya Baru Klinthing bertemu dengan Ki Hajar Selokantara yang sedang bertapa. Ia menunjukkan klithingan yang ia pakai sebagai bukti. Namun Ki Hajar minta satu bukti lagi. Ia meminta Baru Klinthing untuk sanggup melingkari Gunung Telomoyo.
Baru Klinthing pun melakukan usaha keras melingkari gunung Telomoyo dengan tubuhnya. Ia pun berhasil setelah menjulurkan lidahnya untuk menyambung antara ekor dan kepalanya. Ki Hajar pun mengakui bahwa Baru Klinthing adalah anaknya. Selanjutnya Ki Hajar Salokantara menyuruh Baru Klinthing untuk bertapa kembali di gunung Telomoyo agar dia terlepas dari kutukan pusaka sakti itu.
Suatu saat, di sebuah pemukiman bernama Desa Pathok, warga akan menggelar acara Merti Desa. Warga pun berburu binatang ke hutan untuk dijadikan hidangan. Saat beristirahat, salah satu dari mereka menancapkan golok pada sebatang kayu berlumut. Namun ia terkejut karena apa yang ia kira batang kayu itu mengeluarkan darah. Setelah diteliti ternyata itu ular besar. Tak ayal, warga pun ramai-ramai memotong ular untuk dijadikan hidangan pesta pada acara merti desa.
"Setelah tiga hari tiga malam penduduk berburu tak dapat apa-apa, begitu tanpa sengaja menemukan ular besar ya seperti dapat buruan," terusnya.
Singkat cerita, di tengah pesta muncul seorang anak kecil yang kumal, kotor, kudisan dan bau. Ia datang untuk minta makanan. Namun bukan makanan yang ia terima, tapi hinaan dan caci maki. Warga mengusirnya karena dianggap menggangu acara pesta.
Dengan sakit hati yang teramat sangat, anak kecil yang ternyata jelmaan dari Ular Baru Klinthing itu pergi meninggalkan acara pesta. Di tepi hutan ia kemudian menemukan rumah yang dihuni seorang nenek tua yang tinggal sendirian. Baru Klinthing pun diberi makan dan dirawat oleh si nenek. Setelah itu ia juga diminta tinggal di rumah itu namun Baru Klinthing menolaknya.
Sebelum pergi, Baru Klinthing berpesan pada Nyi Lantung. Jika nanti ada suara kentongan dan ada banjir, ia meminta si nenek untuk naik lesung sebagai perahu.
[caption id="attachment_368553" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Baru Klinthing kembali masuk ke Desa Pathok dan mendatangi pesta warga. Bisa ditebak, warga pun kembali menghardiknya. Kali ini Baru Klinthing tidak tinggal diam. Ia menancapkan sebatang lidi ke tanah. Lalu dia menantang warga untuk bisa mencabutnya.
Warga pada tertawa dan menganggap Baru Klinthing tidak waras karena menantang dengan sesuatu yang sepele. Namun kemudian salah satu warga iseng mencoba mencabutnya. Ia pun kaget. Ternyata ia tak bisa mencabutnya walaupun sudah mengerahkan segenap tenaganya.
Warga lain pun jadi heran. Satu per satu mereka mencobanya. Tetap masih tidak bisa. Kemudian mereka pun beramai-ramai mencabut bersama. Namun upaya tersebut belum bisa mencabut lidi dari tanah.
Akhirnya dengan tenang Baru Klinthing mencabutnya dengan dengan jari. Dan saat lidi tercabut memancarlah air yang semakin lama semakin deras. Warga panik dan lari tunggang langgang. Kentongan dipukul sebagai tanda bahaya. Tapi apa daya air semakin besar dan menjadi bah.
[caption id="attachment_368552" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Sementara Nyai Lantung di tepi hutan yang pernah menolong Baru Klinting teringat pesan jika ada bunyi kentongan dan banjir ia harus naik lesung. Ia pun mengikuti pesan itu dan selamat dari air bah.
Air terus mengalir dan sampai kemudian menjadi genangan luas yang disebut Rawa Pening.
"Intisari cerita tadi adalah agar manusia itu introspeksi, tidak semena-mena terhadap orang lain," pungkas Mugiono.
Mitos ular raksasa yang melatar belakangi terbentuknya Rawa Pening sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian warga yang tinggal di tepiannya. Bahkan, menurut cerita beberapa warga yang mencari ikan, kadang ada yang melihat kemunculan ular besar di tengah rawa. Tapi menurut mereka, ular tersebut hanya sekedar lewat lalu masuk lagi ke dalam air. Warga tidak berani mengusik ular tersebut karena teringat dengan legenda Baru Klinthing.
Teguh Joko Sutrisno | Kabupaten Semarang, Jawa Tengah