1 Sura: Tradisi Jamasan Kitab Lontar di Kulonprogo

TRADISI KITAB ARI LASO (Foto : )

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini jamasan kitab lontar Kalimosodo digelar secara sederhana, untuk mematuhi protokol kesehatan. Kerabat dari luar kota juga diminta tak datang, dan hanya diselenggarakan oleh keluarga inti saja. Kitab daun lontar berusia ratusan tahun ini, merupakan pemberian dari Raja Yogyakarta ke-7, yang kini dilestarikan oleh trah Mangun Sendjoyo.Rumah tabon milik trah Mangun Sendjoyo nampak lengang, hanya nampak beberapa orang saja, itu pun hanya keluarga dan kerabat dekat yang tinggal di Kulonprogo. Trah Mangun Sendjoyo yang berpusat di Dusun Klebakan, Kelurahan Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon progo, Yogyakarta, memutuskan untuk tidak menghadirkan keluarga dari luar kota, demi keamanan protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19.Kitab lontar usia ratusan tahun ini berukuran panjang 40 sentimeter dan lebar 5 sentimeter, tidak diperkenankan keluar rumah utama sesuai dengan wasiat kakek moyangnya secara turun temurun. Kitab ini hanya dapat dikeluarkan dan dilihat setahun sekali setiap tahun baru Jawa 1 Suro untuk dijamasi.Kitab daun lontar merupakan hadiah dari Sultan Agung kepada Kyai Jlegong Kethok, karena berhasil mengusir Belanda dari tanah Kulonprogo, karena suatu hal abdi dalem Keraton Yogyakarta ini meninggal dengan cara dipisah badan dan kepalanya, sehingga semua harta diserahkan kepada adiknya bernama Panji Darmo Gathi yang merupakan leluhur dari Mangun Sendjoyo. Kitab bertuliskan aksara Jawa Kuno sehingga tak satupun penerusnya dapat membaca semua tulisan yang ada di dalamnya.Intisari kitab Kalimasodo dikenal dengan sebutan jamas kalimat sahadat, berisi petunjuk jalan kehidupan menuju kejujuran, zaman dahulu dibaca sambil dinyanyikan sebagai kidung pujian. Jamasan ini berfungsi untuk merawat kitab agar tidak rusak, dan berisi tuntunan Ashadu Ala Ila Haillalah.Trah Mangun Sendjoyo membuka diri kepada pihak lain untuk membantu keluarganya menerjemahkan isi kitab daun lontar ini, karena keterbatasan pengetahuan akan aksara Jawa kuno .Setiap tahunnya,  jumlah halaman saat dihitung tidak pernah sama, mulai dari 60 hingga 76 halaman. Tahun 2019 lalu tercatat 65 halaman, dan tahun 2020 hanya sebanyak 59 lembar, dengan warna rangka lebih gelap. Ari Wibowo | Kulonprogo, Yogyakarta