Banyaknya kasus gigitan ular, menyiratkan ketidakharmonisan antara ular dan manusia. Jika didalami inilah yang sebenarnya terjadi.
Meskipun kebanyakan orang mengaku takut atau benci dengan ular, namun tetap jadi perhatian, karena kebanyakan orang masih menganggap ular itu misterius dan menarik.
Ular memiliki warna yang indah, pola yang menarik, serta gerakan melata ular, sehingga beberapa ular dapat dianggap binatang yang paling indah.
Namun, dibalik itu kasus gigitan ular merupakan masalah kesehatan masyarakat yang “mungkin” terabaikan di banyak negara tropis dan subtropis.
[caption id="attachment_356692" align="alignnone" width="900"] Anak kecil berusaha memegang badan ular. (Foto:ANTV/Yustinus Bagus)[/caption]
Menurut Williams DJ, Faiz MA, Abela-Ridder B, Ainsworth S, Bulfone TC, Nickerson AD, et al, dalam Strategy for a globally coordinated response to a priority neglected tropical disease: Snakebite envenoming, menyebut sekitar 5,4 juta gigitan ular terjadi setiap tahunnya, menghasilkan 1,8 hingga 2,7 juta kasus envenoming (keracunan gigitan ular). Terdapat 81.410 dan 137.880 kasus kematian dan sekitar tiga kali lebih banyak amputasi dan cacat permanen lainnya setiap tahun.
Gigitan oleh ular berbisa dapat menyebabkan keadaan darurat medis akut, dapat menyebabkan kelumpuhan parah dalam sistem pernapasan, menyebabkan gangguan pendarahan fatal, menyebabkan gagal ginjal yang ireversibel, dan kerusakan jaringan lokal yang parah yang dapat menyebabkan cacat permanen dan amputasi anggota tubuh.
Anak-anak dimungkinkan menderita efek yang lebih parah, dan dapat mengalami efek lebih cepat daripada orang dewasa, karena massa tubuhnya lebih kecil.
Lalu sebenarnya, apa yang menjadi masalah ketidakharmonisan hubungan manusia dengan ular?
[caption id="attachment_356695" align="alignnone" width="900"] Ular Ophiophagus hannah (Foto: ANTV/Yustinus Bagus)[/caption]
Rata-rata mayoritas gigitan ular pada manusia terjadi saat usaha penangkapan atau mencoba mengganggu mereka, karena dapat dikatakan bahwa mereka hanya membela sendiri. Kebanyakan kasus serangan ular berbisa didasarkan pada gangguan intervensi manusia yang berusaha masuk ke wilayah ular, yang membuat kebanyakan ular merasa terjebak atau terpojok.
Meski demikian, sebagian besar jenis ular tidak akan "mengganggu" manusia. Ketika orang berfikiran buruk terhadap ular umumnya dikarenakan emosi yang didasarkan dari rasa ketakutan "takhayul" atau mitos menjadi rasa ketakutan yang tidak terkendali.
Ular dapat mengontrol jumlah racun mereka ketika menyuntikkan dan ketika menggigit dalam kondisi agresif untuk membantu mencerna mangsa atau membela diri sebagai perlindungan.
Ular memiliki jumlah racun terbatas yang hanya tersedia pada kurun waktu tertentu dan mereka tidak ingin membuang-buang untuk yang bukan mangsa mereka. Akibatnya, sekitar 40 persen dari gigitan yang diderita oleh manusia ketika digigit ular berbisa itu merupakan sikap "defensif" ular tersebut di alam dan keseluruhan termasuk dalam "gigitan kering" (tanpa envenomation). (*)
Yustinus Bagus