Soeharto tak beda dengan Soekarno. Kedua presiden ini adalah orang Jawa yang meyakini keterkaitan getar selaras antara semesta dengan manusia. Keselarasan lahir dan batin manusia yang diawali kesadaran tubuh bisa didapat dengan meditasi kungkum atau berendam dalam air. Presiden Soeharto punya tempat favorit untuk ritual kungkum di Semarang. Saat itu beliau masih bertugas sebagai tentara berpangkat Mayor di Semarang. Dimanakah tempat ritual kungkum ini?
Kalau anda melewati jalan tol dari Krapyak menuju Jatingaleh, Kota Semarang, pasti akan melintas di sebuah jembatan panjang. Dibawahnya mengalir dua sungai yang arusnya bertemu di sisi selatan. Tepat di tengah pertemuan arus itu berdiri tegak sebuah tugu berwarna putih.
Banyak yang penasaran dengan tugu putin ini. Namun orang Semarang, sebagian besar tahu kalau itu namanya Tugu Soeharto. Apalagi mereka yang meyakini aliran Kejawen hampir pasti paham.
[caption id="attachment_353258" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Lalu mengapa namanya Tugu Soeharto? Apakah ada hubungannya dengan Soeharto yang presiden itu?
Tepat! Memang benar demikian. Menurut cerita warga sekitar tugu, tempat ini terkait dengan Soeharto saat bertugas sebagai tentara di Jawa Tengah.
"Dulu itu, lokasi sekitar sungai kan daerah pertempuran antara tentara Indonesia dengan Belanda. Pak Harto saat itu masih belum jadi panglima, masih berpangkat apa itu, Mayor atau Letkol kalau nggak salah. Nah, salah satu tempat persembuyian ya di lokasi yang sekarang jadi tugu. Kata orang tua kita dulu itu hutan lebat," cerita Tugiyo (65), warga yang tinggal di tepian Sungai Kaligarang.
Di situ pula, Pak Harto kemudian sering melakukan ritual yang oleh mereka yang beraliran Kejawen disebut Kungkum atau berendam. Semedi di tengah pertemuan arus sungai, begitulah gampangnya.
Kungkum ini merupakan bagian dari proses ritual yang diajarkan Romo Diyat, guru spiritual Soeharto saat berdinas militer di Jawa Tengah. Romo Diyat punya perguruan yang pada saat itu padepokannya ada di tepi sungai Kaligarang ini.
Saat kungkum, Soeharto pernah menancapkan tongkat tepat di titik pertemuan arus sungai. Maka ketika Soeharto kemudian menjadi Presiden, tempat dimana ia melakukan ritual dibangun monumen berbentuk tugu.
Mereka yang meyakini kejawen pun kemudian mengikuti apa yang dilakukan Soeharto dengan melakukan ritual kungkum di sini, terutama pada malam 1 Suro.
[caption id="attachment_353257" align="alignnone" width="900"] Tugu Soeharto dibangun sebagai tetenger atau penanda pada 1965. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Menurut Tugiyo, sesepuh warga di Bendan Duwur, pada hari-hari tertentu masih ada yang datang untuk melakukan ritual di Tugu Soeharto. Umum rutin itu malam Jumat Kliwon. Kemudian pada hari yang dikeramatkan orang Jawa yaitu malam pergantian tahun Jawa, malam 1 Suro. Pengunjung yang datang sampai ratusan.
"Kungkum semalaman, banyak orangnya, dan area itu dibiarkan gelap untuk menjaga privasi mereka yang melakukan ritual," katanya
Tujuannya tiap orang yang datang macam-macam. Tapi pada intinya ingin ngalap berkah, ikhtiar penyembuhan, mencari ilmu kesaktian, hingga mencari wangsit atau petunjuk langit. Tentu semua menurut apa yang mereka yakini.
Namun begitu, mereka yang datang pada malam 1 Suro itu tidak semuanya untuk tujuan ritual. Ada juga yang memanfaatkannya untuk iseng. Sungguh disayangkan.
"Yang cari senggolan juga ada. Maksudnya senggol-senggol lawan jenis begitu, siapa tahu jodoh, meski ada juga yang sekedar iseng cari teman kencan, ya namanya juga tempat ramai dan ada kesempatan," cerita Pak Yo, warga yang lain.
Pada perkembangannya, Tugu Soeharto ini seringkali diterjang banjir. Dan saat normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, tepian Tugu Soeharto dibangun talud penahan banjir. Sehingga sekarang warga yang mau ritual kungkum bisa melakukannya dengan turun dari talud dan masuk ke sungai di bawahnya.
Di sekitar talud Tugu Soeharto juga dibangun taman sehingga kalau kalau akhir pekan sering dipakai untuk jalan-jalan. Suasana ramai ini membuat nuansa mistis tak sekuat dulu.
Teguh Joko Sutrisno | Semarang, Jawa Tengah