Jathilan adalah gabungan beragam seni budaya, mulai dari tetabuhan, tarian, dedandanan, lukis wajah, kreasi karya hingga mistis. Ada yang menarik pukau para penonton ketika para penari jathilan memakan beling atau pecahan kaca. Kemana perginya pecahan kaca itu?
Jathilan itu banyak macam kreasinya. Ada yang memakai kuda bambu sehingga disebut juga Kuda Lumping atau Jaran Kepang. Ada juga yang sekedar menari diiringi tetabuhan dan nyanyian mistis.
[caption id="attachment_353254" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Pada intinya, sama, seni tari (umumnya keprajuritan) dengan iringan tetabuhan gamelan. Dan, biasanya juga ada ritual ndadi atau menjadi kerasukan (tidak sadar) atau kalau istilah orang sono disebut trance.
Itulah daya tarik paling kuat dari seni jathilan sehingga bisa menyedot banyak penonton. Di desa seni jathilan bahkan bisa menyaingi pentas dangdut lokal untuk ukuran jumlah penonton.
Ndadi adalah istilah yang sering digunakan masyarakat di Jawa Tengah ketika penari jathilan tiba-tiba bergerak tidak karuan, jatuh berguling-guling lalu tiba-tiba berdiri dan menari tapi dengan pandangan yang kosong. Gerakannya liar. Kerasukan. Trance.
Menariknya, penonton justru terhibur meski kadang penari berlari secara tiba-tiba ke arah mereka. Teriakan ketakutan bercampur puas merebak dari kerumunan penonton.
Dan penari pun melanjutkan aksi tanpa sadar tapi tetap mengikuti irama gamelan. Bola matanya bulat penuh tepat di tengah. Melotot.
Puncaknya, penari atau yang merasukinya bisa marah jika minta sesuatu tak dituruti. Permintaan paling moderat adalah bunga atau bahan makanan sesaji pun jajan pasar.
Tapi yang paling ekstrim adalah mereka minta pecahan kaca atau benda tajam. Ngerinya, kalau itu semua dituruti dan dimakan beneran!
Saya yang beberapa kali nonton beginian ikut mules. Bahkan pernah juga menyaksikan penonton muntah karena tak kuat melihatnya.
Itu terjadi di lapangan Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Semarang. Bayangkan, bola lampu neon dipecah lalu dikunyah. Semprong lampu minyak tak luput pula jadi santapan. Herannya, tak ada luka atau darah keluar dari mulut mereka. Lalu mereka minta minum berupa air kembang. Walaaah ... entah apa yang merasukimu?!
Pawang berada di pinggir arena. Ada beberapa ubo rampe atau racikan sesaji di genggamannya. Beberapa asisten pawang paling sibuk sambil memilin bunga, menjaga agar para penari tetap dalam kendali mereka.
[caption id="attachment_353251" align="alignnone" width="900"] Penonton Jathilan kena setrum sehingga ikut ndadi atau trance. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Ada yang menarik dari fenomena jathilan ini. Ndadi atau trance tidak dimonopoli para penari resmi. Dalam dunia jathilan ada istilah setrum.
Jadi ada penonton yang kena setrum sehingga ikut-ikutan ndadi. Biasanya yang kena setrum itu dulu-dulunya pernah ikut rombongan jathilan atau setidaknya pernah ikut latihan atau yang biasa bengong.
Seperti pernah saya lihat di Bergas, Kabupaten Semarang. Tak hanya penonton biasa, bahkan seorang perangkat desa pun bisa kena setrum dan trance. Mungkin perangkat desa tersebut pernah njathil juga waktu masih muda.
[caption id="attachment_353252" align="alignnone" width="900"] Penonton yang ikut ndadi atau trance biasanya pernah kerasukan/kerauhan atau pernah ikut menari Jathilan. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Ndadi atau trance ini bisa berlangsung lama. Bahkan bisa berjam-jam kalau mau. Tapi untuk pentas durasi pendek, satu jam adalah waktu yang wajar. Setelah itu para pawang akan mendekati penari, diberi mantra, dipegang jidatnya, lalu disentak kencang.
Penari akan berguling-guling liar, dan perlahan lemas dan terbangun kebingungan. Butuh beberapa menit merenung, lalu kembali ke alam sadar, bisa ketawa-ketawa cengengesan sambil ududan atau merokok.
Ada pertanyaan besar dan sampai saat ini sulit terjawab. Kemana serpihan kaca maupun benda tajam yang mereka makan tadi?
Pikiran normal pasti akan menyangka perut penari jathilan yang makan gituan bisa rusak, tertusuk-tusuk, dan lain-lain.
Saya yang pernah bergaul dengan komunitas jathilan cukup lama belum menemukan para penari tersebut jatuh sakit akibat makan kaca. Ya segar bugar saja, meski ritual jathilan mereka jalani hampir seminggu sekali. Bahkan kalau masa-masa tertentu malah bisa setiap hari.
Para pawang yang saya tanya, biasanya tak pernah menjawab dengan jelas. Mentok-mentoknya paling yang makan itu bukan penarinya, tapi yang merasukinya. Ah mosok?
"Lho iyo, Mas! Kok mosok! Keyakinan kami begitu. Lha wong kami yang kendalikan, kami yang undang mereka (roh) ke sini, bisa dari kampung asal, bisa juga dari lokasi di sekitar pentas," jawabnya.
Pawang lainnya menjawab enteng. "Halah, Mas, paling nanti pas jongkok di WC ya keluar bareng juga," katanya terkekeh.
Para penari yang trance tadi pun kutanya, apa yang terjadi atau apa yang mereka rasakan selama menari tadi. "Ya, pertama njoget biasa wong ada gamelane. Nah, bunyi gamelan yang monoton gitu-gitu terus lama-lama kan membuat pikiran tidak fokus, jadi kosong, trus pawang itu muter-muter pecut di atas, lalu mata saya ngikuti putaran. Habis itu ndak tau ya, pokoknya tiba-tiba saya seperti jalan-jalan saja," cerita Agus, penari jathilan asal Bandungan, Semarang.
Lha pas bangun rasanya gimana?
"Badan rasanya rontok, Mas, capek lemes, pengen muntah, padahal tadi seperti jalan-jalan biasa. Lha memang aku tadi ngopo to, Mas?" dia balik bertanya.
Lha mbuh. Lha wong pecicilan kayak gitu kok malah bilang jalan-jalan. Tapi begitulah, penari jathilan kalau ndadi memang berada di bawah sadar.
[caption id="attachment_353253" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Saya beberapa kali berselancar di dunia maya mencari literatur tentang ini. Adakah penelitian medis untuk mengungkapnya. Dirontgent misalnya. Apakah ada serpihan kaca atau logam di perutnya? Sampai sekarang belum ketemu. Padahal ini menarik untuk diketahui secara ilmiah. Andai saja ada sponsor yang membiayai, mungkin saja para penari itu mau dipindai.
Tapi ya sudahlah, memang rasa penasaran itu terus ada. Daripada puyeng nanti malah ikut ndadi maka saya putuskan: tonton jathilan saja senikmat-nikmatnya.
Teguh Joko Sutrisno | Bandungan, Jawa Tengah