Mengaku kecewa dengan putusan bebas Majelis Hakim pada dokter Malpraktik Elisabeth Rabu (1/7/2020) lalu, korban suntik filler, berinisial ADF diwakili kuasa hukumnya, Achmad Rudyansyah, berencana untuk melayangkan laporan ke Komisi Yudisial Republik Indonesia di Jakarta. Pengacara dari Plural Law Firm mengatakan, upaya tersebut dilakukan lantaran korban belum mendapatkan keadilan yang diharapkannya di Pengadilan Negeri Makassar.Hakim kata dia, justru mengabaikan banyak sekali fakta sidang dan bukti-bukti yang menunjukkan perbuatan melawan hukum terdakwa terpenuhi. Alih-alih memberikan keadilan pada korban yang sudah mengalami cacat akibat perbuatan nyata pelaku, Rudy menilai, Hakim dengan putusannya itu justru seolah olah menyalahkan korban dan memberi tekanan baru pada mental korban."Kitakan tahu Jaksa menuntut empat tahun penjara. Ini malah bebas. padahal fakta sidang sudah sangat jelas, terdakwa mengakui tidak melakukan prosedur berupa kesepakatan tertulis dan tidak memberikan penjelasan rinci terkait risiko tindakan medisnya. Tapi, alih-alih dijatuhi hukuman, hakim malah mengabaikan kondisi korban yang telah nyata mengalami kebutaan permanen di mata kirinya, itu memberi tekanan baru pada psikologi korban," kata Rudy.Selama ini, sebagai pihak yang mencoba menuntut keadilan Kata Rudy, pihaknya memang sudah melihat gelagat mencurigakan dimana dalam empat kali sidang putusan justru ditunda untuk digelar. "Dan benar saja, kecurigaan kami terbukti. Hakim membebaskan pelaku dan miris bagi kami karena dalam putusan tersebut, hakim menilai kebutaan permanen mata kiri klien saya bukan disebabkan kelalaian dan kesalahan tindakan medis pelaku. Malah menganggap apa yang menimpa korban tidak lain merupakan risiko tindakan medis kedokteran saja," ujarnya.Rudy mengungkap seharusnya jika Hakim benar-benar objektif, seharusnya fakta dan bukti-bukti terkait perbuatan pelaku diganjar dengan hukuman yang setimpal. Sebab menurutnya, sudah sangat nyata, dokter Elisabeth pada faktanya bukan merupakan dokter spesialis kulit. Dia hanya menjalani beberapa pelatihan.Tak hanya sampai disitu saja, Rudy juga mengungkapkan dalam sidang, dokter Elisabeth juga terbukti tidak memberikan penjelasan mengenai risiko dari tindakan medis yang akan dilakukannya pada korban. Bahkan sudah sangat terang, pelaku yang merupakan dokter biomedik tersebut Kata Rudi sama sekali tidak melakukan dan menjalankan prosedur umum tindakan medis kedokteran."Tidak ada surat pernyataan, berupa kesepakatan tertulis untuk disetujui terlebih dahulu sebelum dilakukannya tindakan medis suntik filler. Padahal dimana-mana, dan sesuai dengan undang-undang praktik kedokteran, itu jelas jelas diharuskan untuk dilakukan untuk tindakan medis kedokteran yang berisiko," ujarnya.Lebih lanjut Rudy memang tak menampik, perkara ini memang sejak awal sudah membuatnya curiga, pasalnya sejak kasus ini ditangani Kepolisian Daerah Sulsel. Dirinya memang sudah mendapatkan perlakuan yang berbeda. Dimana, penyidik Dirkrimsus Polda kala itu bukannya membuatkan berita acara laporan, justru malah dibuatkan berita acara pengaduan.Tak sampai disitu saja, dokter Elisabeth juga kata dia tidak ditahan. Saat kami melaporkan ini ke Bareskrim Polri, tahu-tahu perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan."Sejak awal memang sudah janggal, begitu juga saat perkara ini sudah di Pengadilan. Sidang putusan empat kali ditunda. Tahu-tahu majelis hakim malah menganggap pelaku tidak terbukti bersalah," ujarnya.Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya mendakwa dr. Elisabeth sebagaimana dalam pasal 79 huruç C Jo pasal 51 Huruf A undan -undang RI no 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan pasal 360 KUHPidana dan dalam surat tuntutannya menuntut Dr Elisabeth dengan hukuman 4 tahun penjara.Namun dalam putusun vonis, hakim memutus perkara tersebut sangatlah bertolak belakang dengan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengen memberikan keputusan putusan bebas, padahal fakta sidang sudah sangat jelas.Terdakwa tidak melakukan prosedur yakni meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pasien sebelum melakukan tindakan sebagaimana ketentuan Pasal 45 ayat 5 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan terdakwa tidak pernah menjelaskan bagaimana resiko yang akan terjadi dalam tindakan yang akan dilakukan.Hal ini dikesampingkan oleh Majelis Hakim dan selain itu hakim tidak mempertimbangkan apakah Terdakwa dalam menjalani praktiknya sudah sesuai apa belum, dikarenakan faktanya terdakwa hanya dokter umum bukan dokter spesialis kecantikan/bedah plastik atau kulit.Tapi, alih-alih dijatuhi hukuman, hakim malah mengabaikan kondisi korban yang telah nyata mengalami kebutaan permanen di mata kirinya, itu memberi tekanan baru pada psikologi korban," tukasnya.Achmad Rudyansyah SH, MH mengungkap seharusnya dalam mengambil suatu keputusan ,hakim harus benar benar bersikap objektif dalam mengambil keputusan dan melihat fakta dan bukti bukti terkait perbuatan pelaku, sebab sudah sangat nyata Dr Elisabeth pada faktanya bukan merupakan Dokter Spesialis Kecantikan, melainkan doktrer umum dan hanya menjalani pelatihan untuk kecantikan."Terkait putusan bebas terhadap terdakwa Dr Elisabeth yang di putus oleh majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut di Pengadilan Negeri Makassar kami selaku kuasa hukum ADF merasa kecewa dan menyayangkan terkait hasil putusan tersebut, namun dalam hal ini kami menaruh harapan sebesar besarnya kepada jaksa penuntut umum dalam perkara ini dapat langsung menyatakan kasasi dan mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung serta dapat membuktikan apa yang telah di dakwakan dan dituntut dalam surat tuntutannya dengan menuntut Dr Elisabeth dengan pidana 4 tahun penjara, dan kami selaku kuasa hukum yang mewakili korban atas nama ADF menaruh harapan sebesar besarnya kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam tingkat kasasi akan memberikan keputusan yang seadil adilnya terhadap perkara ini, sehingga apa yang di perbuat oleh terdakwa mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbutannya ,terutama dalam hal ini korban ADF mendapatkan keadilan yang seadil adilnya," ujarnya.Seperti diberitakan sebelumnya, dr. Elisabeth Susana M.Biomed tersandung kasus dugaan malpraktik yang menyebabkan pasien ADF mengalami kebutaan permanen pada mata kirinya dikarenakan suntikan Filler.