Menyoroti data kependudukan yang tengah ramai di masyarakat, Dukcapil Kemendagri menyatakan hanya memberikan hak askes untuk verifikasi data kependudukan bukan memberikan data penduduk ke pihak penyedia jasa pinjaman.
Ada beberapa pihak mencurigai bahwa pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat menyebabkan kebocoran data kependudukan dan mempertanyakan logika yang mendasari pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan oleh Kemendagri.
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil memberikan penjelasanan bahwa pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Pasal 79 terkait dengan Hak Akses Verifikasi Data dan Pasal 58 terkait dengan ruang lingkupnya. Data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri dimanfaatkan untuk semua keperluan antara lain pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum dan pencegahan kriminal.
"Kemendagri tidak memberikan data kependudukan kepada lembaga pengguna. Kemendagri hanya memberikan hak akses untuk verifikasi data." demikian kutipan pernyataan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh dalam rilisnya, Minggu (14/6/2020)
Ketentuan tersebut sejatinya lahir sebagai bentuk dukungan nyata fasilitas negara, bukan hanya dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja organ negara, namun juga perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan layanan publik bagi seluruh elemen bangsa dan negara.
Khusus bagi industri fintech dimana memiliki resiko tinggi pinjaman fiktif mengingat proses identifikasi konsumen dilakukan secara jarak jauh, pemanfaatan data kependudukan,
NIK dan KTP-el ini merupakan suatu kemajuan besar. Diharapkan hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat mencegah peminjam fiktif sehingga dapat memajukan industri yakni memperkuat peranannya dalam menyalurkan pinjaman ke masyarakat yang belum terakses lembaga jasa keuangan.
Dengan kerjasama ini akan dapat mencegah kejahatan, mencegah data masyarakat tidak digunaka orang lai dan mencegah kerugian yang lebih besar dari Lembaga fintech karena peminjam menggunakan data orang lain.
Fintech Wajib Berijin OJK
Persyaratan dan tata cara untuk bisa mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan secara lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan (Permendagri No. 102 Tahun 2019).
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah surat keterangan izin usaha dan adanya rekomendasi tertulis dari otoritas pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha bagi badan hukum Indonesia.
Ketiga perusahaan
fintech peer-to-peer lending yang mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan ini telah mendapatkan izin untuk beroperasi beserta rekomendasi tertulis dari lembaga negara yang berwenang yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apabila begum memiliki izin dari OJK maka tidak akan diberikan Kerjasama.
Selain itu setiap perusahaan yang bekerjasama wajib menjaga kerahasiaan data kependudukan. Dalam setiap perjanjian Kerjasama selalu dituangkan kewajiban untuk menjamin kerahasiaan, keutuhan dan kebenaran data serta tidak dilakukannya penyimpanan data kependudukan.
Menteri Dalam Negeri Prof HM. Tito Karnavian PhD sudah mewanti wanti agar seluruh Lembaga pengguna selain mematuhi semua peraturan perundang-undangan (rule of law) juga harus mematuhi ketentuan yang terkait dengan hak privacy atau hak privat masyarakat terkait dengan perlindungan rahasia data pribadi.
Hak akses verifikasi data yang diberikan kepada ketiga perusahaan tersebut tidak memungkinkan ketiganya untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data penduduk, namun hak akses ini hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan seorang penduduk yang akan menjadi calon nasabah
fintech dengan data yang ada pada database kependudukan.
Ilustrasi
Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan
fintech tsb, maka Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya (yang disyaratkan oleh perusahaan tsb) kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online.
Data diri sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respon berupa notifikasi “
SESUAI” atau ”
TIDAK SESUAI”.
Contoh captured pada aplikasi lembaga pengguna yang telah mendapatkan hak akses dan mendapatkan notifikasi “
SESUAI” atau ,”
TIDAK SESUAI” dari Ditjen Dukcapil. Yangbersangkutan melakukan registrasi dengan
NIK dan Tgl Lahir sama namun
Nama berbeda.
Pada gambar ini memperlihatkan respon yang diberikan oleh Ditjen Dukcapil pada saat Pengguna mengirimkan data penduduk (NIK, Nama & Tgl Lahir yang tidak sesuai) . Notifikasi dari Dukcapil adalah
“Data Tidak ditemukan”.
Pada gambar ini memperlihatkan respon yang diberikan oleh Ditjen Dukcapil pada saat Pengguna mengirimkan data penduduk (NIK, Nama & Tgl Lahir yang sesuai). Notifikasi yang diberikan oleh Dukcapil Kemdagri adalah
“Sesuai”.
Selain daripada itu, Kemendagri pun selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur, guna memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum. Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU No.24 Tahun 2013.