Indonesia Butuh 340 Juta Vaksin Covid-19, Tapi Siapa Dapat Vaksin Lebih Dulu?

vaksin Covid-19 reuters (Foto : )

Pemerintah menyebut Indonesia butuh 340 juta vaksin Covid-19. Namun jika vaksin sudah tersedia nanti, siapa yang akan dapat lebih dulu? Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan, Indonesia butuh 340 juta vaksin Covid-19 untuk 170 juta orang. Ini dengan asumsi setiap orang mendapat dua ampul vaksin. "Apabila 170 juta masyarakat, maka butuh minimal terkena dua kali shot. Jadi, minimal kita butuh 340 juta vaksin," kata Airlanga seperti dilansir Antara. Ia menyebut, pengadaan vaksin Covid-19 di dunia dilakukan melalui relaksasi intellectual property rights yaitu bagi negara yang menemukan terlebih dahulu, maka dapat berbagi dengan negara lain. "Siapa yang menemukan terlebih dahulu bisa sharing dengan negara lain, sehingga bisa melakukan co-production," katanya. Sementara, untuk pembuatan dan pemenuhan vaksin dalam negeri, kata Airlangga, sudah dilakukan kerjasama antara BUMN dengan beberapa perusahaan di Korea. "Sesuai arahan Bapak Presiden yang meminta kita untuk mengutamakan kerja sama dengan negara yang penduduknya relatif lebih kecil dari kita," katanya. Airlangga menjelaskan, kerja sama tidak mungkin dilakukan dengan negara berpenduduk lebih banyak dari Indonesia karena negara itu pasti akan mementingkan pasokan untuk negaranya dulu. "Mereka mempunyai kebutuhan sendiri seperti India atau China yang punya demand lebih dari satu miliar, maka otomatis mereka akan mementingkan negaranya masing-masing," jelasnya. Airlangga menyebut, negara berpenduduk lebih sedikit dari Indonesia seperti Korea, Prancis, dan Denmark merupakan mitra ideal karena mereka membutuhkan pasar yang besar. Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menyebut, Indonesia butuh sekira 250 juta sampai 300 juta vaksin Covid-199 jika ingin vaksinasi terhadap dua per tiga dari total penduduk Indonesia. Namun jika vaksin sudah diproduksi massa, siapa yang akan mendapat lebih dulu?

Tantangan Produksi Massal 

Saat ini ada 120 laboratorium di seluruh dunia sedang mengembangkan vaksin Covid-19. Sejumlah kandidat vaksin terdepan sudah mulai masuk ke tahap pengetesan ke manusia.
Menurut ahli bioetik dari Johns Hopkins University, Jonathan Moreno, idealnya vaksin baru ini akan dites pada ribuan orang sebelum diluncurkan ke populasi yang lebih luas. "Teorinya, Anda bisa melakukan pengetesan 20.000 vaksin dan 10.000 placebo sehingga tidak ada yang tahu apa yang mereka dapatkan saat dites," kata Moreno. "Dan kita bisa melihat hasilnya dalam enam, delapan, atau 10 bulan setelahnya. Tetapi dunia ini tidak mau menunggu selama itu." Kalau pun vaksin sudah ditemukan, memproduksinya secara massal dan mendistribusikannya jadi masalah tersendiri. Diperkirakan, dunia membutuhkan 12 sampai 15 miliar dosis vaksin Covid-19. Namun Asosiasi Perusahaan Farmasi Internasional (IFPMA) memperkirakan, kapasitas produksi vaksin global saat ini hanya mencapai 5 miliar dosis. Selain itu dibutuhkan waktu antara 5-10 tahun untuk membangun pabrik vaksin baru. Karena itu menjadi menjadi pertanyaan semua pihak tentang siapa yang akan mendapat vaksin terlebih dahulu?

Prioritas Mendapat Vaksin

Para ahli berpendapat vaksin ini seharusnya digunakan terlebih dahulu oleh anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori rentan. "Tidaklah sulit untuk mengetahui siapa kelompok golongan rentan ini. Umumnya adalah generasi tua dan orang-orang yang menderita penyakit diabetes atau tekanan darah tinggi," kata Moreno. "Dan pekerja di bidang essential [atau penting], militer, polisi, pemadam kebakaran. Barulah setelah itu orang-orang lain," katanya lagi.
Moreno meyakini, negara-negara 'elit' adalah yang akan terlebih dahulu mengakses vaksin ketika sudah mulai beredar. Dirjen IFPMA Thomas Cueni juga mengingatkan dunia sudah belajar dari kejadian pada 2009, di mana negara kaya membeil faksin H1N1 sehingga menelantarkan negara miskin. "Ini adalah sesuatu yang memicu pertumpahan darah. Menurut saya kini sudah muncul pemahaman bahwa kita harus mengutamakan unsur solidaritas global," katanya lagi. Antara, ABC Indonesia