Bagi anda penggemar novel Indonesia tentunya sudah membaca novel ‘Dilarang Bercanda dengan Kenangan’ atau DBdk karya Akmal Nasery Basral. Nah, Novel DBdK2: ‘Gitasmara Semesta’ sudah dirilis pada Senin (11/5/2020) lalu.
Berikut resensi novel tersebut yang ditulis oleh Agus Tjahjoadi, penggemar novel Indonesia, sekaligus konsultan keuangan. Akmal Nasery Basral. selama ini lebih dikenal sebagai penulis novel sejarah (historical novel) seperti Sang Pencerah (2010, tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah) atau Presiden Prawiranegara (2011, tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara pada era PDRI 1948-1949) atau Tadarus Cinta Buya Pujangga (2013, tentang Buya Hamka). Namun sejak akhir 2018, mantan wartawan majalah berita (Gatra dan Tempo) ini mulai merambah genre romansa (romance) melalui ‘Dilarang Bercanda dengan Kenangan’, setelah itu ‘Te o Toriatte’ (Genggam Cinta) pada akhir 2019.
Konon novel terakhir sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan koran Jepang Asahi Shimbun, bertiras enam juta eksemplar, menulis tentang Akmal dan novelnya ini pada edisi 8 Mei 2020. Ini sebuah pencapaian serius karena tidak semua penulis Indonesia ditulis karya dan profilnya oleh koran Jepang. ‘Gitasmara Semesta' karya Akmal Nasery Basral.
Novel ‘Dilarang Bercanda dengan Kenangan’ (selanjutnya disebut DBdK) ternyata bukan hanya kisah yang tuntas dalam satu novel. Di tengah suasana kuncitara (lockdown) akibat wabah covid-19, pada Senin (11/5/2020) dirilis DBdK 2: ‘Gitasmara Semesta’ dalam format e-book pada Google Books.
Ini tentu saja kabar baik bagi penggemar kisah DBdK dan fans Akmal pada umumnya karena kisah-kisah yang ditulisnya, jika diibaratkan makanan, selalu penuh gizi, kaya rasa, mengenyangkan, karena perhatian Akmal yang selalu serius menggarap detil cerita, entah karakter tokoh, setting lokasi dan kebiasaan setempat, sampai lapisan demi lapisan konflik.
Sisi lain yang istimewa dari dwilogi DBdK ini adalah karena kisah ini awalnya ‘hanya’ sebuah cerpen berjudul sama yang ditulis 14 tahun yang lalu dan dimuat pada kumpulan cerpen ‘Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku’ (2006). Ketika saya mulai menulis resensi ini, saya cek pada situs ANTVklik.com ada dua resensi tentang novel pertama DBdK yang ditulis Dr. Ricardi S. Adnan pada 11 Desember 2018 dan DBdK oleh Ramadhani Akrom pada 19 Desember 2018.
Dua resensi ini membantu pembaca yang belum membaca novel pertama, karena resensi saya akan terfokus pada novel kedua. Agus Tjahjoadi, penggemar novel Indonesia, sekaligus berprofesi sebagai konsultan keuangan.Namun secara singkat, bisa saya sampaikan bahwa pada novel pertama. kita mendapatkan informasi tentang kehidupan Johansyah Ibrahim, biasa dipanggil Jo, seorang mahasiswa Indonesia berumur 23 tahun yang sedang kuliah di Leeds, Inggris ketika Putri Diana Spencer meninggal dunia pada September 1997.
Nun jauh di Indonesia, negeri kelahiran Jo, saat itu sedang terjadi krisis ekonomi yang bermuara pada Reformasi Mei 1998. Dua peristiwa sosial-politik ini secara selintas disinggung Akmal pada DBdK. Akan tetapi fokus utamanya adalah pada kisah cinta Jo dan perempuan-perempuan yang singgah di hatinya, yakni Tiara, Avanti dan Aida Jderescu, perempuan blasteran Rumania-Kurdi. Beragam pengalaman Jo dengan ketiga perempuan itu menjadi inti kisah DBdK yang diakhiri dengan pertemuan kembali Jo dengan Aida di barak pengungsi tsunami Neuheun, Banda Aceh pada 2006 atau sembilan tahun setelah pemakaman Putri Diana.
DBdK 2 dimulai dengan Jo yang galau. Pertemuan kembali dengan Aida, perempuan bermata seindah safir, sempat membuat perasaannya melambung menembus stratosfer. Namun perasaan itu langsung hancur lebur begitu Aida mengatakan akan menikah dengan seorang LSM asal Meulaboh. “Ternyata jodohku memang di Indonesia, dengan orang Indonesia, namun datang dengan cara yang tak kumengerti. Dua bulan lagi kami menikah, Jo. Maafkan aku, cintaku yang tak pernah hilang, maafkan aku.”
(hal. 2). Kalimat itu membuat Jo seperti mendengar vonis hukuman mati. Sepulangnya ke Jakarta, eksekutif muda bidang PR (public relations) yang sedang melejit kariernya itu mengubah ritme hidupnya: sepulang kantor dia selalu ke sebuah pesantren di kawasan Cilodong, Depok, mengikuti kegiatan ibadah para santri, berkonsultasi dengan kiai pimpinan pesantren, lalu setelah Subuh pulang ke rumah untuk sarapan bersama ibunya (yang sudah menjanda) sebelum berangkat ke kantor.
Sebuah pesan moral yang bagi saya sangat mengena tanpa terasa menggurui, yakni saat menghadapi masalah berat konsultasikan dengan ahli agama, perbanyak ibadah, jangan lupakan orang tua. Selain Jakarta dan Banda Aceh, kisah DBdK 2 juga terjadi di beberapa tempat lain seperti Erbil (Irak), Brasov dan Constansta (Rumania), serta Bielefeld (Jerman).
Bagi saya sebagai penggemar traveling, lokasi paling menarik bagi saya adalah Rumania. Sepengetahuan saya Rumania sangat jarang digunakan sebagai lokasi cerita oleh penulis Indonesia (barangkali Akmal adalah penulis Indonesia pertama yang menjadikan Rumania sebagai setting lokasi novel? Boleh jadi).
Akmal menyihir saya menikmati lokasi cerita seakan-akan semua itu saya alami langsung di depan mata. Mulai dari makanan setempat seperti drob de miel (roti isi daging domba dengan telur rebus), ghiveci cu peste (sup ikan dengan sayuran), yang disebutkan Jo, “mengingatkanku pada sup ikan Batam” (hal. 187). Juga ada beberapa menu kuliner lain yang dijelaskan Akmal dengan sangat menarik membuat saya benar-benar ingin mencicipinya.
Selain deskripsi tentang Rumania yang sangat hidup, adegan demi adegan kisah yang terjadi di sebuah rumah pedesaan khas Jerman di kawasan Amt Avenwedde (sedikit di luar kota Bielefeld), juga di kota Erbil, Irak Utara, yang dihuni etnis Kurdi, tidak kalah menariknya. Akmal berhasil membuat saya membuka Google Maps untuk mencari tahu posisi tempat-tempat yang tak pernah muncul dalam pembicaraan kita sehari-sehari sebagai warga negara Indonesia.
Membaca DBdK 2 seperti membawa kita kepada dunia penuh ‘terowongan makna’. Semakin jauh kita membaca, kita disajikan Akmal bukan hanya pada kisah cinta klasik antara lelaki-perempuan (dengan dinamika pengorbanan dan pengkhianatan), juga pada kisah cinta antara manusia dengan Tuhan, kisah cinta ibu dan anak, kisah cinta warga negara kepada bangsanya, sehingga seakan menjadi kumpulan kisah (lagu) cinta yang bisa kita temukan di seluruh penjuru dunia.
Apakah itu sebabnya mengapa Akmal memberi anak judul DBdK 2 sebagai Gitasmara Semesta. Saya tidak tahu pasti. Tetapi dugaan saya kata “Gitasmara” (karena baru pertama kali saya dengar/baca) adalah gabungan antara “gita” dan “asmara” atau “lagu cinta”. Sehingga “Gitasmara Semesta” adalah “lagu cinta alam semesta”, yang menurut saya memang dengan tepat menggambarkan kisah novel ini.
Bagi pembaca yang bosan dengan kisah cinta tipikal dalam genre romance ala sinetron atau film-film hiburan, saya sangat rekomendasikan untuk membaca dwilogi DBdK ini. (Tentu saja bagi yang belum baca novel pertama jangan langsung baca DBdK 2 karena bisa tersesat dalam hutan konflik dan problematik yang tergambar pada novel pertama).
Akmal berhasil menyajikan kisah yang membuat saya memikirkan ulang tentang “cinta”, tentang “kenangan”, dan tentang “kenangan cinta”. Misalnya melalui kalimat yang diucapkan ini, “Sebab tidak semua kenangan terlarang untuk diingat.
Ada kenangan yang bahkan harus terus dirawat.” (hal. 471). Terakhir, saya sebagai konsultan finansial, ingin menyampaikan bahwa seluruh pengeluaran keuangan kita pada prinsipnya hanya menjadi salah satu dari dua hal ini: menjadi modal investasi atau menjadi beban konsumsi.
Membaca dwilogi DBdK ini bagi saya adalah sebuah investasi karena banyaknya pelajaran hidup dan renungan moral dari kisah hidup Jo dan para perempuan dalam hidupnya, tanpa kita harus mengalami semua itu satu per satu. Sebab mengutip pendapat orang-orang bijak, “Orang pintar adalah mereka yang belajar dari pengalaman sendiri, sedangkan orang bijak adalah mereka yang belajar dari orang lain.”