Nun jauh di Indonesia, negeri kelahiran Jo, saat itu sedang terjadi krisis ekonomi yang bermuara pada Reformasi Mei 1998. Dua peristiwa sosial-politik ini secara selintas disinggung Akmal pada DBdK. Akan tetapi fokus utamanya adalah pada kisah cinta Jo dan perempuan-perempuan yang singgah di hatinya, yakni Tiara, Avanti dan Aida Jderescu, perempuan blasteran Rumania-Kurdi. Beragam pengalaman Jo dengan ketiga perempuan itu menjadi inti kisah DBdK yang diakhiri dengan pertemuan kembali Jo dengan Aida di barak pengungsi tsunami Neuheun, Banda Aceh pada 2006 atau sembilan tahun setelah pemakaman Putri Diana.
DBdK 2 dimulai dengan Jo yang galau. Pertemuan kembali dengan Aida, perempuan bermata seindah safir, sempat membuat perasaannya melambung menembus stratosfer. Namun perasaan itu langsung hancur lebur begitu Aida mengatakan akan menikah dengan seorang LSM asal Meulaboh. “Ternyata jodohku memang di Indonesia, dengan orang Indonesia, namun datang dengan cara yang tak kumengerti. Dua bulan lagi kami menikah, Jo. Maafkan aku, cintaku yang tak pernah hilang, maafkan aku.”
(hal. 2). Kalimat itu membuat Jo seperti mendengar vonis hukuman mati. Sepulangnya ke Jakarta, eksekutif muda bidang PR (public relations) yang sedang melejit kariernya itu mengubah ritme hidupnya: sepulang kantor dia selalu ke sebuah pesantren di kawasan Cilodong, Depok, mengikuti kegiatan ibadah para santri, berkonsultasi dengan kiai pimpinan pesantren, lalu setelah Subuh pulang ke rumah untuk sarapan bersama ibunya (yang sudah menjanda) sebelum berangkat ke kantor.
Sebuah pesan moral yang bagi saya sangat mengena tanpa terasa menggurui, yakni saat menghadapi masalah berat konsultasikan dengan ahli agama, perbanyak ibadah, jangan lupakan orang tua. Selain Jakarta dan Banda Aceh, kisah DBdK 2 juga terjadi di beberapa tempat lain seperti Erbil (Irak), Brasov dan Constansta (Rumania), serta Bielefeld (Jerman).
Bagi saya sebagai penggemar traveling, lokasi paling menarik bagi saya adalah Rumania. Sepengetahuan saya Rumania sangat jarang digunakan sebagai lokasi cerita oleh penulis Indonesia (barangkali Akmal adalah penulis Indonesia pertama yang menjadikan Rumania sebagai setting lokasi novel? Boleh jadi).
Akmal menyihir saya menikmati lokasi cerita seakan-akan semua itu saya alami langsung di depan mata. Mulai dari makanan setempat seperti drob de miel (roti isi daging domba dengan telur rebus), ghiveci cu peste (sup ikan dengan sayuran), yang disebutkan Jo, “mengingatkanku pada sup ikan Batam” (hal. 187). Juga ada beberapa menu kuliner lain yang dijelaskan Akmal dengan sangat menarik membuat saya benar-benar ingin mencicipinya.
Selain deskripsi tentang Rumania yang sangat hidup, adegan demi adegan kisah yang terjadi di sebuah rumah pedesaan khas Jerman di kawasan Amt Avenwedde (sedikit di luar kota Bielefeld), juga di kota Erbil, Irak Utara, yang dihuni etnis Kurdi, tidak kalah menariknya. Akmal berhasil membuat saya membuka Google Maps untuk mencari tahu posisi tempat-tempat yang tak pernah muncul dalam pembicaraan kita sehari-sehari sebagai warga negara Indonesia.