Menyikapi Pembatasan Kegiatan Rumah Ibadah Termasuk Masjid

Menyikapi Pembatasan Kegiatan Rumah Ibadah Termasuk Masjid (Foto Istimewa) (Foto : )

“ke mall berani, ke pasar berani, eh ke masjid malah takut”, “kenapa malah masjid yang dibatasi, kita kan selalu suci dalam wudhu”, “ buat apa kita takut corona, mari tetap kita ramaikan masjid, corona bukan penyakit yang membayakan”. Perbedaan pendapat terkait pembatasan kegiatan rumah ibadah dalam hal ini masjid, adalah hal yang biasa. Karena adanya kondisi wabah corona ini, sejumlah ulama memang berbeda pendapat dalam menyikapinya. Tapi tidak salah juga kalau kita mengambil rujukan yang lebih kuat dan masyhur pendapatnya. MUI, sebagian besar ulama yang tsiqoh, dapat kita percaya keilmuannya dari hampir semua manhaj berpendapat ada rukhsoh atau keringanan untuk tidak sholah berjamaah di masjid, bahkan menganjurkan untuk sholat berjamaah di rumah, termasuk sholat Jumat diganti berjamaah Zhuhur di rumah. Tidak ada yang salah jika sejumlah pengurus masjid, terutama yang masuk wilayah zona merah mengambil keputusan untuk meniadakan sholat jumat, dan mungkin nantinya juga meniadakan sholat tarawih jamaah di masjid, buka puasa bersama karena ada dasar hukumnya tesebut. Apalagi tidak cuma ulama, umaro dalam ini pemerintah juga menganjurkan untuk ibadah di rumah dulu, dan diperkuat lagi dengan aturan yang ada dalam PSBB. Jadi lengkap sudah kita taati ulama dan umaro. Namun jika ada yang masih ingin sholat jamaah rawatib di masjid, sejumlah pengurus selama ini juga tetap memfasilitasi dengan menerapkan prosedur yang ketat. Saya pribadi untuk saat ini lebih memilih sholat jamaah di rumah karena buat saya ada nilai manfaat yang lebih banyak ketimbang saya tetap sholat di masjid. Pertama walaupun hanya bagian kecil dari bangsa ini, setidaknya saya bisa membantu mengurangi resiko penularan karena bisa jadi saya punya potensi menularkan orang lain dan ditularkan orang lain (laa dhoror wa laa dhiror; tidak membayakan orang lain tidak membayakan diri sendiri), Kedua tidak merepotkan pengurus masjid karena harus usaha lebih keras memfasilitasi dan menertibkan jamaah. Ketiga usia saya yang masih muda masih punya anak kecil yang rentan dengan penyakit. Keempat kesempatan bagi saya untuk berjamaah dengan keluarga di rumah semakin meghangatkan suasana. Di samping itu, masih adanya perdebatan mengenai boleh tidaknya shof renggang-renggang saat sholat jamaah, membuat saya lebih mantap sholat jamaah di rumah untuk saat ini. Jadi pada hakikatnya kita beralih dari sunnah yang satu ke sunnah yang lain. Bukankah sudah jelas bahwa maqoshidusyari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Pastinya masing-masing punya pertimbangan secara pribadi mana yang lebih maslahat. Mungkin bisa saja kalau seorang ketua pengurus masjid dia lebih memilih untuk sholah fardhu jamaah di masjid, bagi dia mungkin lebih maslahat ke masjid karena keberadaannya sangat dibutuhkan untuk bisa terus memantau kondisi masjid. Dalam hal ini saling menghargai akan jauh lebih indah. Sayangnya masih ada saja yang melontakan pendapat-pendapat yang memperuncing perbedaan. Beberapa kali saya menerima banyak WA seperti “ke mall berani, ke pasar berani, eh ke masjid malah takut”, “kenapa malah masjid yang dibatasi, kita selalu suci dalam wudhu”, “ buat apa takut corona, mari tetap kita ramaikan masjid, corona bukan penyakit yang membayakan”. Menurut saya ini menyesatkan dan keluar dari konteks yang ada. Yang kita pikirkan adalah pencegahan corona secara lebih meluas, dan pastinya harus didukung oleh seluruh elemen bangsa dari yang terkecil hingga yang terluas. Masjid sebagai salah satu elemen bangsa sudah sepatutnya juga turut ambil bagian dalam pencegahan ini. Karena itulah sejumlah masjid meniadakan sholat jumat, mungkin nantinya termasuk sholat tarawih jamaah di masjid, dan buka puasa bersama yang berpotensi mengumpulkan banyak massa/kerumuman. Mari kita tunjukkan bahwa umat islam menjadi yang terdepan dalam membantu mencegah penularan coivd 19. Perkara masih ada yang ke pasar itu adalah hal yang berbeda, karena terkait hajat dan kebutuhan pokok. Perkara masih ada yang rame nongkrong2 kerumunan di jalan itu pun hal berbeda yang mesti kita sadarkan, bukan malah dijadikan hujjah untuk menyalahkan yang memilih sholat di rumah dan menyalahkan pengurus masjid yang membatasi kegiatan. Ijtihad mayoritas ulama berdasarkan Al quran dan Sunnah sudah jelas mengatakan sholat lima waktu di masjid, sholat jumat di masjid dalam kondisi wabah saat ini diberikan keringanan untuk bisa dilakukan di rumah. Yuriidulloohu bikumul yusro walaa yuriidu bikumul ‘usro (Alloh menghendaki kemudahan, tidak menghendak kesulitan) Mengenai peran masjid yang tetap harus berjalan saya raya banyak masjid yang tetap menjalankan perannya meski dalam kondisi seperti ini dan patut untuk dicontoh. Dari sisi dakwah dan syiar ada yang tetap melakukan kajian dan tahsin secara online, tilawah Qur'an bersama secara online, bahkan ada yang mengadakan lomba tahsin dan tahfidz secara online. Selain itu juga banyak masjid memfasilitasi dengan baik jamaah yang tetap ingin sholat rawatib di masjid dengan berbagai cara mengurangi resiko penularan (mulai dari pasang tulisan/poster yang mengedukasi, buat seruan di youtube), membagikan masker, hand sanitizer, sabun, hingga penyemproten desinfektan). Dari sisi sosial banyak masjid sudah berusaha optimal, seperti melakukan pengumpulan dana dan menyalurkan APD ke sejumlah rumah sakit, menggalang dana untuk pembagian sembako dengan cara ‘sunyi’ (tidak berkerumun), bahkan di dalam sembako itu mereka masukkan selebaran yang mengedukasi terkait corona. Sekali lagi, mari kita tunjukkan bahwa umat islam, masjid dan seluruh elemen Islam lainnya bisa menjadi yang terdepan dalam membantu memutus mata rantai penyebaran covid 19 dan peduli terhadap sesama. Penulis: H. Mohammad Muchsin,SH (Advokat dan Pemerhati Sosial)