Manusia Indonesia (Sebagian): Otak Karatan Pikiran Polutan

Manusia Indonesia (Sebagian): Otak Karatan Pikiran Polutan (Foto : )

Manusia Indonesia punya persoalan serius! Berpikir dan mengutarakan pemikiran! Sejak jaman pendudukan Belanda (atau sebelumnya) acuan berpikir (hampir) selalu merujuk pemikiran asing. Bahkan hingga sekarang generasi muda kita dikejar-kejar darimana sumber berpikirnya, oleh siapa teorinya. Seolah tidak diijinkan menggunakan karya pikirannya.     Beginilah jadinya jika otak kita tidak pernah dipakai: Karatan! Begitu pula jadinya jika pikiran kita tidak pernah dibingkai: Polutan! Angkatan sebelum 2010 adalah angkatan (kebanyakan) celaka. Dari sejak sekolah menengah atas hingga kuliah, dijejali teori dan logika berpikir orang lain. Ini pula yang dipakai untuk mengungkapkan gagasannya saat menulis skripsi atau yang lebih sederhana, makalah. Amati saja, setiap dosen atau penguji skripsi selalu menanyakan: menurut teori siapa? Ini sumbernya dari mana? Ya, pendidikan di Indonesia masih menempatkan mahasiwa strata satu dalam tahap mengenal dan menghafal teori sebagai landasan pikir. Baru kemudian naik strata sebagai pemaham dan pengkaji teori. Hingga akhirnya menciptakan teori pada strata ke tiga. Kita tidak membahas ini. Kemudian, generasi itu kawin-mawin, beranak pinak. Keturunan mereka tidak pula diberi kesempatan untuk berpikir seturut perkembangan otaknya. Anak-anak ini “diprogram” menjadi robot-robot. Orang tua (generasi itu) sangat dominan. Diskusi masih menjadi hal yang tabu bagi anak. Adanya hanyalah perintah yang wajib dilakukan. Mereka kini menjadi anak-anak milenial yang mau gampang. Coba tengok di rumah Anda, apakah anak-anak Anda rajin membersihkan kamar tidurnya? Menyapu? Mengepel? Membuang sampah? Membersihkan halaman rumah? Bisa jadi Anda yang repot berberes atau pusing tujuh keliling mencari asisten untuk rumah tangga ini. Sialnya, gempuran teknologi tiada ampun merangsek kehidupan manusia Indonesia saat ini. Jadilah mereka kaum rebahan yang doyan main game online, berselancar di YouTube, bercengkerama di WhatsApp, bergurau di Facebook dan pamer di Instagram maupun aplikasi-aplikasi maya lainnya. Itu kehidupan yang nyata bagi mereka. Mereka hidup di alam rekayasa para programer ataupun game designer. Kembali lagi ke otak karatan dan bingkai polutan. Kalau otak sudah karatan, respon berpikir menjadi tersendat. Apapun yang dikata kelompoknya sudah menjadi kebenaran. Apalagi jika ditambah dalil-dalil teori. Dimakan mentah-mentah. Pikiran pun menjadi polutan. Menjadi bahan penyebab polusi. Polusi apa? Logika. Nalar. Ini buktinya, suatu ketika terjadilah dikotomi. Ada kaum cebong dan kampret. Kemudian muncul pula Kadrun dan Bani Togog. Intinya adalah, informasi konflik mudah merasuk otak dan mempengaruhi pikiran. Dari mana sumbernya? Kata siapa? Itu sudah cukup bagi generasi jiplakan untuk percaya dan mengimani. Kini virus Corona (Covid-19) membuat manusia dunia termasuk manusia Indonesia prihatin. Orang-orang (banyak) Indonesia sudah mulai menyadari betapa pentingnya upaya bersama. Menyintas sekat dikotomi. Namun ada pula yang pikirannya sudah polutif akut. Memanfaatkan situasi untuk mengujar segala pikiran tanpa maslahat. Beberapa kebijakan pemerintah diambil guna memutus mata rantai penyebaran dan penularan virus Corona. Seperti social distancing hingga physical distancing bahkan karantina wilayah. Penutupan tempat-tempat wisata, pasar, mal, tempat hiburan, bahkan rumah ibadah. Namun masih saja ada yang ndableg! Masih ada pula yang intoleran! Masih ada pula yang berlaku kriminal! Mari kita berpindah dimensi. Menciptakan diri yang menjadi berkat untuk semua orang, hewan dan alam sekitar. Menjadi berguna seperti para siswa, peneliti dan inovator dari beberapa daerah di tanah air yang menciptakan hand sanitizer dan disinfektan dari berbagai bahan murah dan mudah didapatkan serta aman digunakan. Bahkan bukan untuk dipasarkan namun untuk dibagikan gratis pada sesiapa yang membutuhkan.   [caption id="attachment_310583" align="alignnone" width="700"] Foto: Instagram[/caption] Ada pula yang menjahit ribuan masker maupun alat pelindung diri (APD) untuk dibagikan pula secara gratis. Seperti yang dilakukan Anne Avantie di Semarang dan para biarawati Kongregasi Jesus Maria Joseph di  biara Gereja Santo Ignatius Loyola, Jakarta. Juga dilakukan masyarakat banyak lainnya yang mampu berpikir. [caption id="attachment_310585" align="alignnone" width="700"] Foto: Dok. pribadi Theresia Santi[/caption] Ini baru otak dan pikiran. Bagaimana dengan nurani? Oke, mari kita renungkan dulu. Apakah kita sudah fasih bertutur tentang apa yang kita pikirkan? Apakah kita sudah fasih menciptakan harmoni pada pikiran kita? Apakah kita sudah fasih berpikir tentang kemanusiaan? Begini saja, apakah kita manusia Indonesia sudah mampu mengungkapkan pikiran seperti bocah ini? Ini dulu tuntaskan ... https://twitter.com/ChinaPlusNews/status/1251264421965463552?s=08