Menggamit sang istri dengan mesra, ketika merayakan usia ke 40 perkawinan mereka di hotel bintang lima Jakarta, 1985. (Foto Dokumentasi Keluarga)[/caption]Tawanya berderai lepas. dan kalau terkekeh-kekeh matanya nyaris hilang tinggal segaris. Tapi kalau sedang marah, suaranya menggelegar. Itulah sekedar gambaran sosok diri Haji Achmad Bakrie, anak pribumi yang berhasil menjadi aset nasional sebagai pengusaha sukses.Dengan karakter pribadi yang sangat kuat, maka penampilan Haji Achmad Bakrie sehari-hari cenderung flamboyan.Agaknya almarhum Haji Achmad Bakrie tergolong pribadi yang temperamental. la meledak kalau sedang marah, tetapi kalau amarahnya sudah lepas, ya selesai sudah.Sebaliknya ia juga berhati lembut, bahkan sentimental. Seperti pernah diakuinya dalam suatu percakapan dengan saya, lubuk hatinya mudah tersentuh oleh hal-hal yang merangsang rasa iba dan kesedihan. Ia juga menjadi romantis oleh hal-hal yang indah.Perasaan sentimental dan romantis ini terbentuk antara lain karena kegemarannya membaca bahkan menghafal puisi-puisi indah ciptaan sastrawan terkemuka.Haji Achmad Bakrie rajin mencatat puisi-puisi indah karangan sastrawan-sastrawan besar Barat yang ditemukannya dalam buku-buku, dan ia juga ingin memiliki buku kumpulan puisi sastrawan Indonesia.Salah satu puncak rasa sentimentalitasnya tertuang pada hari pernikahan putri tunggalnya, Roosmania (Odi), dengan Bangun Kusmuljono (Busye), Juli 1972.Hari itu, di mana untuk pertama kalinya Haji Achmad Bakrie bermenantu, ia memberikan petuah nikah yang amat menyentuh kalbu. la sendiri yang menyusun naskah pidatonya, yang dibacanya di hadapan seribu lebih undangan dengan suara parau terbata-bata menelan tangis.Sayang sekali saya tidak memiliki salinan naskah pidatonya itu. Tetapi saya ingat, isinya mengungkapkan betapa suami-istri Bakrie amat mencintai putra-putrinya, yang dilukiskannya dengan sangat puitis.Odi digambarkannya sebagai gadis yang menarik, pintar, elok laku, pandai membawakan diri, dan berbudi tinggi. "Ibarat mawar, engkau adalah mawar yang tak berduri,” demikian kalimatnya yang saya ingat betul hingga sekarang.Kepada menantunya, Busye yang sudah sarjana, ia berpesan agar terus melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi karena menjadi sarjana saja belum cukup.Pada bagian pidato yang melukiskan kecintaannya kepada putri tunggalnya dan keikhlasannya melepas Odi kepada Busye, Haji Achmad Bakrie menangis. Hadirin pun tidak sedikit yang ikut berlinang air mata, termasuk saya dan istri saya, karena untaian kata-katanya yang teramat menyentuh. Itulah pidato petuah nikah paling indah, paling menyentuh, dan paling berkesan yang pernah saya dengar. Saya merasa beruntung pernah punya kesempatan kenal dekat dengan Haji Achmad Bakrie. Ayah saya meninggal di kala saya masih remaja, pada masa saya justru sedang membutuhkan bimbingan dalam pembentukan kepribadian.Namun saya beryukur bahwa pada masa kritis seperti itu ada Haji Achmad Bakrie yang menjadi seperti pengganti ayah bagi saya. Secara langsung maupun tidak langsung, didikan dan keteladanan beliau banyak membentuk filosofi hidup saya.Haji Achmad Bakrie terasa pas menempatkan diri dalam kesehari-harian. la menjadi ayah yang dikagumi putra-putrinya, sekaligus juga teman dalam suasana santai dan sahabat dalam membantu memecahkan persoalan-persoalan.Kebiasaannya yang ceplas-ceplos kalau berbicara, sesungguhnya merupakan pertanda sosok pribadinya yang terbuka, demokratis, bahkan kadang cenderung liberal meskipun tetap dalam batas-batas budaya ketimuran.Saya merasakan betapa beliau senantiasa menghargai lawan bicaranya, sekalipun dalam menghadapi orang yang jauh lebih muda seperti saya. Tidak pernah terbersit kesan ia menganggap remeh orang lain, dan sebaliknya ia juga tidak suka dipandang enteng.Beliau kaya materi, bahkan boleh dibilang kaya raya, namun tetap rendah hati. Saya tahu ia banyak beramal, meskipun semua itu dilakukannya secara diam-diam. Ia memegang teguh ajaran Islam yang menganjurkan " Kalau tangan kiri memberi, tangan kanan pun tidak perlu tahu”. Meskipun pendidikannya cuma sampai HIS, Bakrie memiliki pengetahuan yang luas dalam banyak bidang. Ia banyak membaca dan belajar sendiri sehingga berhasil mengembangkan dirinya menjadi otodidak yang sukses.Lobinya pun kuat sekali. Ia luwes dalam pergaulan, bahkan bergaul akrab dengan banyak orang besar dan tokoh terkemuka, tapi tidak pernah membangga-banggakannya. Intuisinya tajam, seolah bisa membaca isi hati dan pikiran lawan bicaranya.Haji Achmad Bakrie menghargai kejujuran dan loyalitas, tidak menyukai kesombongan, dan marah besar kalau dibohongi. la pandai memelihara persahabatan, dan memiliki kemampuan tersendiri dalam menarik garis batas antara urusan bisnis dan rasa kekeluargaan. la sangat mencintai keluarganya, dan baginya orangtua adalah nomor satu.Pada dekade tahun 1960-an, saya sering menyaksikan sendiri betapa Haji Achmad Bakrie sangat mencitai ibundanya yang sudah lanjut usia, dan senantiasa bersikap santun kepada beliau.Tidak suka menonjolkan diri, atau low profile, juga merupakan ciri kepribadian Haji Achmad Bakrie. Pada tahun 1986, saya pernah menulis profil Ir H. Aburizal Bakrie karena Ical berhasil terpilih sebagai satu di antara sepuluh “The Outstanding Young Persons” (Orang Muda Berkarya) oleh organisasi Jaycees International dan memperoleh penghargaan yang diserahkan di Nagoya, Jepang.Beberapa minggu kemudian, ketika saya datang untuk mengunjungi Ical di Wisma Bakrie, saat keluar dari lift, secara berkebetulan saya berpapasan dengan Haji Achmad Bakrie yang sedang menunggu lift untuk turun. Begitu melihat saya, beliau langsung mengajak saya masuk kembali ke dalam lift, lalu kami turun bersama.Di dalam lift, kemudian dilanjutkan di lobi, beliau berkata, "Menarik, tuh, kamu nulis tentang Ical. Cuman, Oom boleh minta tolong, ya?” "Pasti boleh, Oom. Apa yang saya bisa tolong?” "Kamu nulis Ical segitu aja udah cukup, deh. Bagus. Cuman tolong, jangan sering-sering Ical kamu masukin koran. Kalau kelewat sering di-expose di koran, nanti nggak baik. Pasti ada aja orang yang nggak suka. Tolong, ya Men.” "Baik, Oom, akan saya perhatikan.” Low profile memang sudah kepribadian Haji Achmad Bakrie. Saya ingat betul bahwa pada bulan April 1973, saya bermaksud menulis di Harian Kompas tentang pengusaha-pengusaha nasional terkemuka. Saya ingin menampilkan profil usahawan pribumi yang mencapai sukses dengan meniti usahanya dari bawah. Tentu saja yang pertama saya temui adalah Haji Achmad Bakrie. Ternyata beliau menolak. "Oom ini bukan apa-apa. Oom cuma orang yang berpendidikan rendah. Banyak orang lain yang lebih pantas kamu tampilin,” ujarnya mengelak. "Justru karena Oom berlatar belakang pendidikan rendah tapi berhasil membangun usaha benar-benar dari bawah hingga mencapai sukses, masyarakat layak mengenal Oom dan mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman Oom,” sahut saya berusaha membujuk. "Oom jangan, deh. Orang lain ajalah.” Betapa pun saya membujuk, beliau tidak bersedia. Saya juga sudah minta bantuan Ical untuk ikut membujuk, namun beliau tetap keras menolak. Lalu saya mulai menggarap tokoh lain lebih dulu, dengan harapan mudah-mudahan dengan demikian Haji Achmad Bakrie bisa terpancing dan bersedia diprofilkan.Saya mewawancarai Dr. Tumpal D. Pardede, pengusaha ulet asal Sumatera Utara, dan tulisan profilnya dimuat pada hari Kamis 10 Mei 1973.Lalu saya juga berhasil menulis profil Dr Haji Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning, “Raja Mobil” pada masa itu, yang dimuat hari Sabtu 7 Juli tahun yang sama.Ketika setelah itu saya mencoba lagi membujuk Haji Achmad Bakrie, beliau menyambut dengan pujian: " Oom baca tulisan kamu tentang Pardede dan Hasyim Ning. Bagus, tuh, tulisan kamu.”