Nama aslinya M. Hasan, putra Betawi asli yang dikenal periang dan diketahui sebagai orang yang pertama bekerja dengan H. Achmad Bakrie dan kepada tim penulis buku 'Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan', segudang kisah yang memiliki banyak keteladanan di paparkan.
M. Hasan pun mulai berkisah, suatu hari, seorang pemuda kurus ceking yang biasanya periang, sebagaimana umumnya ciri khas anak Betawi, mendadak sontak menjadi gundah gulana.
Pagi itu gudang 'CV Bakrie & Brothers' yang merangkap kantor, menjadi berantakan dan terlihat pintu dan kunci dalam keadaan baik, namun anehnya benang, tekstil, dan barang dagangan lain berantakan. Tungkul-tungkul benang berserakan, semula diduga ulah tikus beneran.
[caption id="attachment_289374" align="aligncenter" width="900"] Gudang CV Bakrie & Brothers, Cikal bakal pengembangan usaha di bidang ekspor di Telukbetung, Lampung. (Foto Perpustakaan Bakrie)[/caption]
Sekawanan reserse Belanda meluncur ke tempat kejadian perkara, namun hasil interogasi baru seminggu kemudian terungkap. Beberapa orang mulai tak ramah padanya entah karena takut terbawa bawa atau dianggap bersekongkol dengannya, satu persatu memalingkan muka dicuekin.
Memilih diam bisa-bisa dianggap berpura-pura, semua serba salah jadinya. "Keluar saja, dah,” pikirnya pasti selesai. Tapi buru-buru diurungkannya niat itu; dulu tahun 1946 dia bekerja pada awalnya karena teman-temannya yang berkeluyuran membuat keonaran ditangkap tentara NICA.
M. Hasan mengaku, karena tugasnya menjaga gudang, lalu orang “menghukum” dengan sebutan Hasan Gudang.
Terkait peristiwa pencurian di gudang tadi, M. Hasan mengaku Ibarat makan buah simalakama, Hasan dihadapkan pada situasi dilematis. Keluar - tidak - keluar - tidak masih saja bertalu-talu di dadanya bagaikan menunggu `tokek’ mengatakan tidak.
Tapi satu sahabatnya Armin menghibur kegalauannya. “Mari San, kita amin-amin aja deh, ya? kita baca doa supaya ketemu malingnya,” benar saja, Tuhan mendengar ratapan mereka, beberapa hari kemudian seorang reserse Belanda keturunan Cina menangkap dan membawa anak gelandangan kurus kecil ke tempat kejadian.
“Lu Bagaimana membawanya!” Ujar H. Achmad Bakrie pada maling itu.
“Keranjang arang, Tuan,” sahut maling itu.
“Lu, bukanya bagaimana !”
“Dicongkel bersama 4 orang teman lainnya.”
“Lu ambil apa?”
“Tekstil Tuan, 2 pis.”
Entah apa pasal sehabis bersoal jawab maling itu bukannya digampar tapi malah diberi rokok oleh H. Achmad Bakrie meskipun tekstil dua “pis” (piece) tak pernah kembali, ujar M. Hasan tertawa panjang.
Sehari sebelum itu polisi Belanda sudah sempat hendak menyeret Hasan, tapi Achmad Bakrie menampiknya.
“Tuan, ini saya punya orang tidak usah ditahan. Jangan kata tekstil, satu potong jarum pun belum pernah ada yang hilang.”
“Tapi Tuan nggak boleh percaya sama Tuan punya orang begitu saja, ini manusia,” tukas opsir Belanda itu.
Adalah Hasan polos mengakui ucapan Belanda itu ada benarnya. Sebab, katanya, manusia bisa berubah-ubah pikiran. Kalau sedang susah orang takut pun bisa mendadak berani.
Sejak maling yang sesungguhnya tertangkap Hasan tidak dikucilkan lagi oleh mereka. Sesuai “namanya” pula, Hasan memiliki “segudang” cerita seputar kenangannya bersama juragannya - H. Achmad Bakrie - yang selalu disebutnya Tuan Bakrie dalam perbincangan itu.
Hasan beralasan memiliki banyak “stock” cerita, sebab dialah karyawan pertama di Kelompok Usaha Bakrie. Manakala diurut NIP-nya andaikan 9 digit maka karpegnya menempati nomor 000000001.
Belum ada karyawan lain, Hasan mengerjakan apa saja. Suatu kali dia ditugasi mengambil barang dari pelabuhan Sunda Kelapa yang waktu itu banyak pencoleng menjarah barang, temannya sendiri yang melakukan.
Sewaktu hendak ke luar dari pelabuhan barang satu gerobak kayu berisi terigu, selimut, handuk, kaus kutang, dan macam-macam, dicegat temannya dan pergumulan tak terhindarkan lagi.
"Tuan, saya nggak sanggup, satu karung terigu keambil.”
"Nggak apa-apa, asal lunya selamat,” ujar H. Achmad Bakrie.
CV. Bakrie & Brothers pada awalnya terletak di Jalan Cengkeh dekat Kantor Pos Jakarta Kota. Sedikit maju, lanjut Hasan, diperluas dengan menyewa Nanyu Veem bekas perusahaan ekspedisi milik orang Jepang.
H. Achmad Bakrie menjual berbagai mata dagangan selain hasil bumi juga barang kelontong seperti pakaian jadi, jas hujan, kerudung, dan parfum 7411 eks Koeln, Jerman.
Belakangan kian maju, barang-barang impor juga banyak diperdagangkan seperti mesin jahit merek PFAFF, brompid Exelcior, Express dan sedikit barang elektronik. Mesin jahit PFAFF laris bagaikan ikan asin sekali datang mencapai 2000-3000 unit.
Hari kerja tidak menentu waktu itu, tergantung keadaan keamanan dan situasi perang mempertahankan kemerdekaan. Biasanya, karena situasi chaos, kantor CV. B & B dibuka menurut “kesepakatan” H. Achmad Bakrie pada Hasan, dan itu dipesankan setiap sore menjelang tutup.
Suatu ketika, entah di pihak mana yang khilaf, Hasan tidak masuk, sedangkan H. Achmad Bakrie menunggu di luar sebab kunci ada di tangan Hasan.
“San!, wah lu bakal diomelin sama Tuan Bakrie. Tuan Bakrie nongkrong sendirian nungguin lu,” ujar paman Hasan yang kebetulan sebelum tiba di rumah melintas di depan CV. B & B.
“Abis kagak dipesenin”
“Emang enggak dibilangin?”
"Kagak, sering-sering juga begitu. Kita masuk, Tuan Bakrie kagak. Nah, ini kebalikannya,” kenang Hasan menahan geli.
Keesokan harinya H. Achmad Bakrie hanya mengatakan, “Lu nggak masuk, ya?” sambil menertawakan Hasan.
Pengusaha pribumi seingat Hasan sering bertamu ke kantor B & B di Jalan Cengkeh, antara lain Dasaad Musin. Nama terakhir ini adalah pengusaha besar juga berasal dari Kalianda, Lampung. Hasan mengenali perawakan Dasaad: berkulit putih kekuningkuningan, mengenakan topi pet dan pipa cangklong selalu bertengger di bibirnya yang katanya seperti gaya orang Filipina.
Tetamu yang datang terkadang menghabiskan waktu hingga larut malam baru kemudian kantor ditutup. Kunci pintu depan perlu diberi ekstra gembok sebesar telapak tangan karena sebelumnya sering di-magic orang sehingga setiap pagi Hasan perlu membersihkannya dengan sabun cuci.
Rokok kegemaran Achmad Bakrie biasanya kemasan kaleng antara lain merek “Pirate” yang berwarna kuning.
“Lu, jangan merokok banyak-banyak, nih...”, H. Achmad Bakrie mencabut sebatang dan memberikannya pada Hasan.
Terhadap makanan H. Achmad Bakrie mencari yang mudah saja misalnya dibeli di dekat kantor juga. Dulunya lebih sering Hasan mengambilnya dari rumah Achmad Bakrie di Gang Kelor naik bus Belanda MTD, bus yang tertutup terpal bekas truk militer.
Sebelum mempunyai mobil, Achmad Bakrie berangkat ke kantor naik trem. Mobil itu second hand mereknya Opel yang dibeli seharga Rp.30.000.- duit ORI (Oeang Republik Indonesia), supirnya Jayadi dari Rawamangun. Jayadi selalu nyeker karena zaman itu sandal atau sepatu belum memasyarakat.
Waktu-waktu luang H. Achmad Bakrie di kantor sesekali mengaji dan suaranya keras sekali dan kalau sudah begitu Hasan ikut mendengarkan saja.
Sehabis mengirim barang di pelabuhan, H. Achmad Bakrie iseng-iseng memanfaatkan waktu luang. Suatu kali mereka membeli nasi dan rencananya makan di geladak kapal yang sedang bersandar di dermaga. Duduk berhadap-hadapan ketika nasi hendak disantap datang marinir Belanda keturunan Ambon melarangnya, sebab kapal mau berangkat.
Melihat seperti tidak mendengar peringatannya, senapan diarahkan pada mereka, lalu buru-buru mereka meninggalkan tempat itu.
"Tahu saja marinir Ambon, tembak, tembak beneran, kan?!” Kenang Hasan dengan wajah kecut agaknya masih membayangkan peristiwa itu.
Meski majikannya ‘streng’ terhadap pekerjaan namun Hasan bila diberondong rasa amarah, memilih untuk diam, sebab H. Achmad Bakrie berpembawaan cepat marah, cepat ramah.
“Adat sih keras, habis marah maranin saya, ngebaikin, terkadang malah ngasih duit.”
Waktu Hasan menerima gaji pertama di tahun 1946, uang Nippon 1.500 atau menjelang pergantian duit merah senilai Rp 30. Hasan disarankan untuk tidak pergi menonton film di bioskop.
“Nonton, beli rumah itu bodoh. Punya duit beli rumah bagus-bagus, nanti uang akan mati.”
Tapi gaji pertama itu terbilang cukup Hasan masih tinggal bersama orang tuanya. Sekitar tahun 1953 Hasan ditawarkan untuk membeli rumah.
"Lu, udah punya rumah belum?”
"Rumah sih punya, cuma dari bambu milik orang tua.”
"Tunggu saya pulang dari Eropa kita bikin perhitungan.”
Sehabis majikannya pulang dari Eropa, Hasan menanti harap namun janji itu belum kunjung tiba. Sampai temannya, Tabrani, menyuruh Hasan untuk menagih saja dan tak perlu takut.
Hasan bukannya takut, tetapi tak ingin dicap macam-macam dan kalau sudah milik tak bakal kemana pikir Hasan.
"Lu udah ajuin belum, jangan lama-lama buruan!” ujar H. Achmad Bakrie.
Dan tak berapa lama tukang datang ke rumahnya untuk menaksir bangunan seluas 17 X 6 meter tanah milik orang tua setengah batu senilai Rp. 17.000.- Setelah itu Hasan memberitahu biaya yang diperlukan.
"Saya mana ada duit segitu,” ucap H. Achmad Bakrie.
Beberapa waktu berselang Hasan dipanggil lagi dan diberi kasir yang juga bernama Hasan (Haji Hasan) sebesar RP. 15.000.
"Sudah dikasih, dasar harga naik hebat, tidak menentu. Tukang tadinya diborongin Rp. 4.000.- minta Rp. 6.000,” kenang Hasan.
Akhirnya rumah tak jadi dibangun, hanya dinding bambu diganti dengan kayu peti bekas mengingat harga-harga membubung tinggi.
Waktu-waktu senggang, Hasan mengingat, H. Achmad Bakrie bercanda padanya.
"San. lu udah punya mobil belum?”
"Dari mana?”
"Kenapa lu nggak minta?”
"Siapa yang mau ngasih!” ingat Hasan sambil tertawa lebar dan terbatuk-batuk karena asma.
Suatu kali mereka terkena wet militer (jam malam), ketika mengaduk-aduk cengkeh di Jalan Kunir, Kota, rupanya melewati puku1 18.00 malam. Daerah itu sejak dulu memang daerah pusat perdagangan, selalu dijaga polisi Belanda.
Tapi mereka ditahan sebentar saja dan mendapat peringatan. H. Achmad Bakrie pernah agak jengkel dengan Hasan karena tidak mau diajak ke Lampung.
Hasan sudah memberi penjelasan, bahwa orang tuanya tidak tenang manalagi keadaan sedang revolusi dan Hasan betul-betul ngeri sebab menurut rencana menyeberang ke Lampung hanya menaiki perahu kecil dengan ombak yang begitu dahsyat.
Selama mengabdi 41 tahun (1946-1987) Hasan selalu ikut berpindah-pindah lokasi usaha dari Jalan Cengkeh, Jalan Kunir, Jalan Asemka, dan masih sempat “mencicipi” Wisma Bakrie di Jalan Rasuna Said selama dua tahun.
[caption id="attachment_289375" align="aligncenter" width="900"] Wisma Bakrie, Gedung Perkantoran Bersegi Delapan dan Berlantai Tujuh. Bangunan Seluas 13.000 m2 yang Selesai Dibangun 1984. (Foto Perpustakaan Bakrie)[/caption]
Ikut menempati gedung yang megah itu dia mengaku ikut bangga. Masa-masa bersama H. Achmad Bakrie yang penuh canda ria, tak ingin rasanya hilang begitu saja.
H. Achmad Bakrie berpulang, Hasan tidak ikut melepas sahabat yang juga majikannya itu, kesehatannya terganggu karena asma menyerangnya.
Dari rumah (warisan orang tuanya) yang sempit dan terkesan pengap di daerah Roxy, Jakarta Barat, Hasan sudah diberitahu putrinya yang bernama Rogayah, yang juga bekerja di B & B sejak 1974.
Hari itu Hasan tampak rapi mengenakan kemeja krem dan celana tetoron cokelat, dia begitu siap. Seolah-olah itu “pengabdiannya” yang terakhir, 4 Agustus 1991.
Hasan seolah-olah tak mempedulikan penyakit asmanya dan berusaha untuk memberikan yang terbaik. Hasan Gudang, sayang tidak sempat mengikuti “Reuni” 50 tahun PT. Bakrie & Brothers tanggal 10 Februari 1992, karena dia telah meninggal 23 September 1991. Selamat jalan Hasan.
Sumber: Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5