Selasa Pahing, 6 Oktober 1970 sore hari. Merebak keributan di depan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Keributan ini adalah buntut dari pertandingan sepak bola antara mahasiswa ITB dan taruna Akabri Kepolisian. Seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad mati!
Rene Louis Coenraad bersama Ganti Brahmana mengendarai motor Harley Davidson. Saat itu hari menjelang petang. Keduanya melintas di sekitar Asrama Gedung F yang terletak sekitar lokasi pertandingan sepakbola bertajuk persahabatan antara Taruna Akabri Kepolisian versus mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).
Saat pertandingan, para mahasiswa meneriakkan yel-yel provokatif. Menghujat kebijakan anti gondrong. Mengecam razia dan penebangan rambut-rambut gondrong yang dilakukan Taruna Akabri Kepolisian di Bandung.
Pertandingan usai, skor 2-0 untuk ITB. Panas terus terjadi di luar lapangan.
Para taruna harus kembali ke barak menggunakan truk. Mereka memang keluar dari halaman kampus, namun kemudian berhenti di jalan Ganesha depan kantin Asrama F mahasiswa ITB.
Saat Rene dan Ganti melintas bersisian, tiba-tiba ada yang meludahinya dari atas truk angkut polisi. Rene berhenti, turun dari motornya. “Siapa yang meludahi Aku? Kalau berani, turun!" teriak Rene. Tak diduga makian dilontarkan bertubi-tui pada Rene. Puluhan orang berloncatan turun mengeroyoknya. Rene dihajar! Jadi bulan-bulanan! Sedangkan Ganti Brahmana berhasil kabur.
Beberapa mahasiswa yang mengetahui pengeroyokan ini berlarian mendekat. Mereka dihadang semacam Provos dan Brimob sambil mengacungkan senjata. Mahasiswa yang nekat menerobos dipukuli popor senjata. Banyak yang terluka dan dilarikan ke RS Borromeus.
Diantara hiruk pikuk Rene roboh. Tak bergerak. Ganti Brahmana, melihatnya diseret kedua tangannya dan dilemparkan ke bagian belakang jip Toyota bernomor polisi 008-425. Itulah saat terakhir Rene terlihat di tempat kejadian.
Para mahasiswa berbagai kampus berkoordinasi. Berinisiatif mencari ke beberapa rumah sakit di Bandung. Pontas Pardede dan rombongan mencari ke Kobes (Kota Besar) Bandung. Namun sampai disana mereka dihadang. Dilarang masuk. Saat bersitegang datanglah Komandan Kobes Bandung AKBP Tjutju Sumirat dan Ganti Brahmana yang baru saja mencari para korban di RS Borromeus. Mereka kemudian diijinkan masuk Markas Kobes Bandung.
Benar! Rene Louis Coenraad ada di Kobes! Mati!
Jenazahnya tergeletak begitu saja di lantai. Dalam satu ruangan yang mirip gudang. Wajah Rene remuk! Darah mengucur dari lubang telinga, hidung dan lubang-lubang bekas luka disekujur tubuh. Dikutip oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia, ada lubang peluru di bahu kiri dan pundak yang diperkirakan menembus sampai ke dada dan pinggang. Sadis!
[caption id="attachment_276856" align="alignnone" width="900"] Para mahasiswa berbagai kampus di Bandung turun ke jalanan kota Bandung menyoal pembunuhan Rene Louis Conraad. Foto: Istimewa[/caption]
Sehari kemudian, Rabu 7 OKtober 1970 pagi para mahasiswa dan pelajar melakukan appel suci melepaskan jenazah Rene Louis Coenraad ke Jakarta di kampus ITB. Dilanjutkan unjuk rasa besar-besaran. Mahasiswa dan pelajar di Bandung turun ke jalanan.
Posisi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dipertanyakan (saat itu Kepolisian berada dibawah ABRI). “ABRI pelindung Rakyat?!” … Salah satu poster tajam berbunyi “AKABRI = Akademi Kepolisian Alat Pembunuh Rakyat Indonesia” ... Lainnya, “Akabri Kepolisian tempat melatih pembunuh Rakyat” ... Poster satir berbunyi “Akabri tukang cukur dan tukang bunuh”.
Poster-poster itu diusung dalam suatu pawai sepanjang lebih dari 3 kilometer. Mereka melewati Markas Daerah Kepolisian di Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika depan Gedung Merdeka yang saat itu sedang digelar Konferensi Organisasi Islam Asia Afrika.
[caption id="attachment_276858" align="alignnone" width="900"] Pawai berkabung keliling Jakarta dengan bus dan truk setelah pemakaman Rene Louis Coenraad. Foto: Istimewa[/caption]
Kamis, 8 Oktober 1970, delegasi Dewan Mahasiswa ITB yang diiringi 400-an mahasiswa Bandung, mendatangi kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Mereka menyampaikan surat perlunya meninjau kembali hubungan sipil dengan ABRI untuk disesuaikan dengan kehidupan demokrasi yang dicita-citakan bersama. Delegasi lainnya yang berjumlah ratusan mendatangi pusat pendidikan Akabri Kepolisian di Sukabumi.
Jumat, 9 Oktober 1970, di Jakarta dilangsungkan pemakaman Rene Louis Coenraad.
[caption id="attachment_276842" align="alignnone" width="900"] Jenazah Rene Louis Coenraad, mahasiswa ITB jurusan Elektrotehnik yang menjadi korban penembakan. Jenazah belum dimakamkan, menunggu kedatangan ayahnya, Theodorus Coenraad yang masih bertugas di Surabaya. Jenazah diberangkatkan Jumat, 9 Oktober 1970 pukul 13.00 WIB dari rumah ke Gereja St. Yohanes, Blok B, Jakarta Selatan. Setelah itu dimakamkan ke pemakaman Blok P. Foto: Istimewa[/caption]
Siapa pelakunya?
Dua tahun berlalu. Proses hukum kasus kematian Rene terus berlangsung. Demi para calon perwira itu, seorang bintara Brimob bernama Djani Maman Surjaman dikorbankan. Diadili dan dihukum setelah dinyatakan terbukti menembak Rene dengan senjata laras panjang Carl Gustav yang dipegangnya. Dikorbankan?
Dakwaan terhadap Djani sebenarnya tidak didukung seluruh kesaksian. Tidak dari kalangan mahasiswa, para anggota Brimob yang bertugas ditempat kejadian, maupun ahli forensik. Kesaksian yang memberatkan hanya datang dari para perwira mantan taruna.
Diantara para mantan taruna itu hanya Nugroho Djajusman, yang memberikan kesaksian Rene meninggal akibat tertembak senjata Carl Gustav yang dipegang Djani. Sedangkan Djani bersumpah bahwa senjata saya tidak meletus.
“Nugroho Djajusman membohong. Saya tahu dialah yang memukul Rene dengan koppel rim bersama taruna-taruna lain. Tetapi, bapak Hakim, saya hanyalah seorang yang bodoh, pendidikan rendah, tak ada artinya sama sekali dibandingkan saksi Nugroho. Memang ia bisa menjatuhkan saya di depan bapak Hakim dan oditur karena pangkat dan sekolahnya lebih tinggi dari saya,” ungkap Djani.
Djani juga mengatakan dalam pembelaannya, “Saya melihat dengan mata kepala sendiri Rene dikejar, dipukul. Saya datang untuk menolong, tetapi saya juga terpukul. Saya sangat sedih dan merasa adalah sangat kejam, saya yang justru menolong dari pukulan Taruna Akabri, dituduh dan dituntut oditur."
Akhir Desember 1970, Bripda Djani Maman Surjaman divonis Mahkamah Militer Priangan, Bogor hukuman 5 tahun 8 bulan penjara. Kemudian dalam pengadilan banding Mahkamah Kepolisian Tinggi 13 April 1972 hukuman Djani Maman Surjaman turun menjadi penjara 1 tahun 6 bulan.
[caption id="attachment_276861" align="alignnone" width="900"] Ibunda Rene Louis Coenraad marah pada Gubernur Akabri Kepolisian Irjen Awaludin Djamin. Foto: Istimewa[/caption]
Mahasiswa tertipu?
Kesalahan orang lain yang ditimpakan kepada Djani Maman Surjaman membangkitkan simpati. Muncul gerakan solidaritas mahasiswa Bandung. Mereka melansir antara Dompet Bantuan Sumbangan bagi Maman Surjaman di hampir seluruh kampus di Jawa barat. Solidaritas ini berlangsung hingga dua periode kepengurusan Dewan Mahasiswa ITB berikutnya dibawah ketua umum Sjahrul (1972-1973) yang menggantikan Sjarif Tando (1970-1971) dan Tri Herwanto (1971-1972).
Setelah menyelesaikan hukumannya Djani Maman Surjaman ditugaskan kembali. Beberapa bulan kemudian, pada 1974 dia naik pangkat tiga tingkat menjadi Pembantu Letnan II.
Lalu siapa pelaku sebenarnya?
Kebijakan Anti Rambut Gondrong
Razia rambut gondong adalah biang kerok konflik awal. Kamis, 3 Desember 1966, tentara dan polisi mulai menggelar razia lelaki berambut gondrong. Digunduli! Bertahun-tahun rambut gondrong diburu. Ketidakadilan terhadap kaum gondrong meningkat.
Agustus 1970, razia rambut gondrong digelar di jalanan pusat keramaian kota Bandung. Mahasiswa dan siswa Sekolah Lanjutan Atas disasar. Pelaksana razia adalah Taruna-taruna Tingkat IV Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Kepolisian – waktu itu kampus Akabri Kepolisian masih di Sukabumi. Mereka melaksanakan ‘tugas akhir’nya, dengan didampingi bhayangkara-bhayangkara kepolisian Bandung. Calon-calon perwira polisi itu tergabung dalam Yon Waspadha Sukabumi.
Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB, Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, 26 September 1970 mengecam pengguntingan rambut itu sebagai “pemerkosaan hak-hak azasi perseorangan”. Tindakan itu “tanpa dasar-dasar hukum yang sah dan alasan-alasan kuat yang masuk akal”. Dikerahkannya taruna-taruna Akabri untuk hal-hal yang semacam itu, disebut sebagai “pendidikan yang akan menyesatkan tugas-tugas kepolisian yang sebenarnya”. “Pengguntingan rambut tidak termasuk praktikum kewibawaan yang sehat, melainkan praktikum kekuasaan …
Jendral Soemitro, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), menerapkan larangan gondrong secara tertulis pada tanggal 15 Januari 1972.
Sumber:
1. Buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia, 1970-1974 karangan Rum Aly, Hatta Albanik.