Sejumlah pengamat telah menyampaikan kekhawatiran, konflik Amerika Serikat (AS) dengan Iran akan menjadi awal Perang Dunia III. Lalu, seberapa besar potensi perang skala besar akan terjadi?
Situasi di kawasan Timur Tengah semakin memanas, setelah serangan drone AS menewaskan Mayor Jenderal, Qassem Soleimani, di Baghdad Irak. Qassem adalah petinggi militer berpengaruh di Iran.
Iran kemudian membalas dengan meluncurkan belasan rudal ke dua pangkalan militer Irak, yang menjadi basis tentara AS.
Menyusul serangan rudal hari Rabu (8/1/2020), Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, lewat Twitter menegaskan, negaranya tidak berusaha meningkatkan ketegangan ataupun perang.
Namun beberapa jam setelah serangan rudal tersebut, sebuah pesawat penumpang milik Ukraina jatuh pasca lepas landas dari Bandara Imam Khomeini, Teheran. Seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 176 tewas dalam kejadian tersebut.
Berdasarkan informasi intelijen sejumlah negara, pesawat Boeing 737-800 itu diduga tak sengaja tertembak oleh rudal pertahanan udara Iran.
Panasnya Situasi Timteng
Meski serangan rudal Iran ke Irak sudah selesai dan Gedung Putih tidak membalas serangan, situasi di Timur Tengah masih panas.
Direktur Iran Project for Crisis Group, Ali Vaez mengatakan, masalah yang menimbulkan ketegangan dan konflik di Timur Tengah masih ada.
"Ketegangan yang ada sekarang karena tekanan AS yang membuat perekonomian Iran memburuk dan mendorong tindakan balasan yang dilakukan Iran," kata Ali.
[caption id="attachment_266652" align="alignnone" width="900"]
Parade tentara Iran (Foto: Iranian Presidency/DPA via PA)[/caption]
Tindakan balasan yang sudah dilakukan Iran antara lain serangan terhadap tanker minyak yang melewati Selat Hormuz, serangan fasilitas milik AS di Timur Tengah, termasuk pangkalan militer di Irak baru-baru ini.
"Ini sudah menciptakan tiga kali kemungkinan adanya konfrontasi militer Iran dan AS dalam enam bulan terakhir," tambah Vaez.
"Sepanjang tekanan maksimum tetap dipertahankan dan pemerintahan Trump malah mengatakan akan melipatgandakan tekanan, saya kira sumber ketegangan tetap ada. Kemunculan konflik baru tinggal masalah waktu saja."
Namun kemungkinan terjadi perang terbuka antar kedua negara diperkirakan kecil. Ini karena kedua belah pihak sudah mengatakan mereka sama sekali tidak menginginkan perang.
"Saya kira yang akan dilakukan Iran, melihat timpangnya kekuatan militer kedua negara, adalah melakukan atau terlibat konflik di tempat lain secara tidak langsung." tambahnya.
Dalam jangka pendek, Ali Vaez mengatakan usaha sekutu Iran untuk mengusir AS dari Irak akan terus terjadi. Diantaranya lewat serangan roket atau bom pinggir jalan, juga sasaran lainnya seperti fasilitas minyak atau kapal yang melintas di Teluk.
Sekutu Iran
Pemimpin tertinggi Iran, Sayyid Ali Hosseini Khamenei, bukan saja pemimpin politik resmi. Ia juga pemimpin keagaaman tertinggi bagi penganut Syiah dunia, dikenal dengan sebutan Syiah Marja atau Ayatollah.
Di kawasan Timur Tengah, Iran sudah memberikan dukungan politik dan militer kepada pemerintahan Syiah dan juga kelompok milisi.
Irak yang memiliki pemerintahan dengan dominasi kelompok Syiah sejak jatuhnya Saddam Hussein, memiliki hubungan diplomatik dan militer yang dekat dengan Iran dan AS.
Namun serangan Iran terhadap pangkalan militer di Irak yang dianggap pelanggaran atas kedaulatan wilayah Irak, telah mengubah hubungan Irak dan AS.
[caption id="attachment_266632" align="alignnone" width="900"]
Rudal Dezful dipamerkan militer Iran (Foto: The Defense Post)[/caption]
Menyusul tewasnya Jenderal Qassem Soleimani, parlemen Irak meloloskan resolusi menyerukan agar pasukan AS ditarik dari Irak.
Kelompok milisi Syiah yang setia ke Iran, termasuk Kataib Hizbullah, dimana pemimpinnya, Abu Mahdi al-Muhandis tewas bersama Mayjen Soleimani, menjadi bagian penting dalam tubuh militer Irak.
Minggu lalu, elemen dari Kataib Hizbullah melakukan serangan terhadap Kedutaan AS di Baghdad. Mereka mengancam akan melakukan serangan lagi bila AS tidak menarik diri dari Irak.
Kelompok Hizbullah di Lebanon mengeluarkan pernyataan mengecam pembunuhan Soleimani, dan menyerukan blokade terhadap barang-barang asal AS dan penutupan kedutaan AS di Baghdad.
Hizbullah juga berjuang dengan Iran di Suriah guna mendukung pemerintahan Assad yang merupakan sekutu mereka. Selain itu, Iran turut mendukung kelompok pemberontak Houthi di Yaman dan Hamas di Palestina
Sekutu Amerika Serikat
Kekuatan militer Amerika Serikat memang jauh lebih besar dari Iran. AS juga memiliki sekutu militer dan politik yang kuat di seluruh dunia.
Namun apakah para sekutu ini akan membantu bila ada konflik terbuka dengan Iran?
Di kawasan Timur Tengah, AS akan mendapat dukungan dari sekutu kunci yang terancam bila ketegangan meningkat.
Hari Rabu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memuji Presiden Trump atas tewasnya Mayjen Soleimani dan menegaskan dukungan Israel terhadap AS.
[caption id="attachment_267511" align="alignnone" width="900"]
Pesawat pembom strategis B-52 Stratofortress milik AS (Foto: Reuters)[/caption]
Meski negaranya kecil, namun kekuatan militer Israel, tidak saja besar di kawasan Timur Tengah, namun juga di tingkat dunia.
Walau Arab Saudi adalah juga sekutu kuat AS, khususnya menghadapi agresi Iran, namun sejauh ini belum menunjukkan dukungan terbuka.
Hari Rabu (08/01/2020), Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi menyatakan kerajaan dan pemimpinnya mendukung saudara kami Irak serta berusaha sekuat mungkin menghindari terjadinya perang.
Potensi Konflik Skala Besar?
Sementara sekutu Amerika Serikat di Eropa sudah menyerukan agar ketegangan diturunkan. Uni Eropa dan Menteri Luar Negeri Prancis mendorong dilanjutkannya dialog untuk menenangkan situasi.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson dalam sidang Parlemen Rabu (8/1/2020) telah menyerukan semua pihak agar tenang dan mengatakan jenderal Iran yang tewas itu "berlumur darah di tangannya".
Bryce Wakefield, Direktur Eksekutif Australian Institute of International Affairs mengatakan, kecil kemungkinannya akan ada konflik dalam skala besar.
Namun bila memang terjadi, Amerika Serikat akan menekan sekutunya untuk mengirimkan pasukan, termasuk juga Australia.
Menurut Wakefield, beberapa negara di Eropa, khususnya Inggris akan membantu AS. Namun negara seperti Jerman dan Prancis besar kemungkinan tidak akan terlibat secara militer.
[caption id="attachment_267398" align="alignnone" width="700"]
Sistem pertahanan anti serangan udara milik Iran SA-15 buatan Rusia (Foto: Military Today.com)[/caption]
Perang terbuka antara Iran dan Amerika Serikat juga dianggap tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.
"Perang terbuka bisa berarti berakhirnya rezim di Iran. Namun biayanya juga akan sangat mahal bagi AS, dalam hal korban jiwa, dan juga keuangan dan sumber daya lain yang harus dikerahkan," kata Wakefield.
Namun semua ini akan berubah dengan cepat jika masing-masing pihak tidak dapat menahan diri. JIka perang pecah, dampaknya juga akan menimpa banyak negara, termasuk Indonesia. Investasi akan surut, harga minyak dunia akan melambung dan pasar global akan lesu.
ABC Indonesia