Dua remaja Australia membuat bahan bakar biofuel untuk bus sekolah di Bali. Mereka juga membuat sepeda motor berbahan bakar minyak jelantah atau minyak goreng bekas.
Beberapa tahun terakhir Britt Koens (15) dan saudaranya Marein (17), bersekolah di sekolah internasional The Green School di Bali. Sekolah ini menerapkan kurikulum yang unik.
Dua bersaudara ini pindah ke sekolah itu dari Pulau Curacao di Karibia pada tahun 2014. Saat itu ayah mereka memulai pekerjaan baru di negara tetangga Timor Leste.
Ketika ditemui ABC selama liburan keluarga mereka di Kimberley, Australia Barat, keduanya menjelaskan, pihak sekolah telah mengikutkan mereka dalam proyek unik: merakit, memelihara, dan menciptakan bahan bakar biodiesel untuk bus sekolah.
"Bagi anak-anak seperti kami, mempelajari hal seperti itu sangat menyenangkan," kata Britt.
"Pilihanya banyak. Ada yang ikut pembelajaran berbasis proyek yang lebih sulit. Kami pun punya pilihan sendiri," jelas Marein.
Ide bus sekolah biodiesel bertujuan menciptakan moda transportasi yang berkelanjutan untuk antar-jemout staf dan siswa Green School setiap hari.
[caption id="attachment_245287" align="alignnone" width="900"] Bus sekolah berbahan bakar minyak jelantah (Foto: ABC Indonesia)[/caption]
Dalam lima tahun sejak dimulai, mereka sekarang merawat enam bus sekolah, seluruhnya menggunakan bahan bakar minyak jelantah.
"Ada anggota kelompok kami yang mendapat julukan 'The Grease Police', karena tugas kami pergi mengumpulkan minyak dari restoran. Kami mendapatkan 300-an liter minyak goreng bekas sekitar setiap minggu," kata Britt.
Setelah minyak dikumpulkan dan disaring, kemudian ditambahkan larutan alkali sehingga bahan bakar itu dapat digunakan. Gliserin kemudian dibuat menjadi cairan dan sabun batangan, yang ditukar dengan minyak goreng bekas dari restoran.
"Ini program tanpa limbah. Begitu tujuan proyek ini," kata Britt.
Sepeda motor biodiesel
Selain memproduksi bahan bakar biodiesel, Marein membantu membuat sepeda motor biodiesel, yang diyakini menjadi salah satu yang pertama di Indonesia.
[caption id="attachment_245285" align="alignnone" width="900"]
Marein Koens bersama montir dan sepeda motor berbahan bakar minyak jelantah (Foto: ABC Indonesia)[/caption]
Mereka dibantu oleh seorang montir setempat, teman kelas dan seorang guru dari sekolah yang mendirikan proyek itu, Kyle King. Bermodalkan sebuah mesin, tim ini bekerja di bengkel selama hampir dua tahun.
"Kami menghabiskan empat jam seminggu. Kami harus mengubah dan menyesuaikan berbagai hal, dan ketika akhirnya jadi dan bisa dikendarai, kami senang sekali," kata Marein.
Saat ini keduanya memulai proyek bahan bakar alternatif lainnya.
"Kami sedang membuat bahan bakar dengan fermentasi buah, bioetanol, yang dapat dimasukan ke tangki mesin sepeda motor. Biodiesel ini bisa digunakan pada mesin diesel apa pun. Tak perlu mengubah apa pun," ungkap Marein.
Pasar gelap limbah minyak
Mengumpulkan minyak bekas di Bali tak semudah berjalan ke restoran dan memintanya begitu saja. Pasalnya, minyak bekas seperti itu diperjualbelikan di pasar gelap.
Setelah restoran dan hotel yang lebih besar tidak bisa lagi menggunakannya, maka minyak goreng bekas itu dikemas ulang dan dijual setengah harga ke kafe dan restoran yang lebih kecil.
"Mereka enggan memberikan minyak goreng bekasnya," kata Marein. "Karena mereka bisa mendapatkan uang dari situ."
Melibatkan sekolah lain
Marein sekarang sudah lulus, dan mereka berharap dapat memperluas proyek ini dengan melibatkan sekolah lain.
"Saya telah menghubungi sebuah hotel besar di Bali. Sekarang kami sudah mendapatkan minyak goreng bekas dari sana. Sehingga minyak goreng bekas yang kami dapatkan melonjak," kata Britt
Bus sekolah mereka yang menggunakan biodiesel menghasilkan 80 persen lebih sedikit CO2 (karbondioksida) daripada bahan bakar diesel biasa.
Mereka mengatakan ingin mencari metode transportasi yang lebih berkelanjutan, dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
"Proyek semacam ini terus berkembang," katanya.
Sumber: ABC Indonesia