Mendengar kabar dari para pelaut bahwa pasukan Mongol dibawah kepemimpinan Kublai Khan sedang bergerak meluaskan kekuasaan ke arah Asia Tenggara, maka untuk menghadang agar pasukan tersebut tidak sampai ke wilayahnya, tahun 1275 penguasa Singosari bernama Raja Kertanegara mengirimkan serombongan besar pasukan ke Svarnadwipa atau sekarang bernama Sumatera. Rombongan ini dinamakan ekspedisi Pamalayu. Para pemimpin rombongan ini adalah perwira-perwira yang memiliki kemampuan politik dan diplomasi yang tinggi.
Sebelum menyeberang ke Sumatera, rombongan ini merekrut banyak orang di sekitar pelabuhan Banten, pria dan wanita, untuk dipekerjakan di kapal.
Sasaran utama rombongan ini pada dasarnya adalah Sriwijaya. Namun ternyata ketika mereka sampai di Sumatera, Sriwijaya sudah tidak ada. Yang terdengar dari penduduk saat itu adalah nama Dharmasraya, sebuah kerajaan di pelosok sungai Batanghari. Karena takut kembali ke Singosari tanpa hasil, rombongan ini menelusuri sungai Batanghari hingga sampai di kerajaan Dharmasraya.
Seperti yang diharapkan, karena melihat jumlah yang besar, ditambah lagi kemampuan pasukan dari Jawa ini di sungai, penguasa Dharmasraya pun takluk tanpa peperangan. Dharmasraya yang dipimpin oleh raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa bersedia menerima anggota rombongan dari Jawa ini tinggal di negerinya untuk memperkuat pasukannya bila sewaktu-waktu pasukan mongol datang, sementara sebagian pemimpin rombongan tersebut kembali ke Jawa. Tinggallah pemimpin bernama Indrawarman bersama sebagian besar anggota ekspedisi Pamalayu, termasuk para pekerja yang direkrut di sekitar pelabuhan Banten.
[caption id="attachment_234615" align="alignnone" width="720"] Gotau Salalu atau Gotong sehari-hari dari batik. (Foto: Zulvanal Sinaga)[/caption]
Rombongan ekspedisi Pamalayu ini sempat bertahan beberapa lama di Dharmasraya. Mereka hidup bersama dengan masyarakat di Dharmasraya hingga destar batik dan seni nyinden pun dikenal oleh masyarakat disana.
Namun setelah beberapa waktu lamanya, terasa berat bagi penguasa Dharmasraya untuk membiayai hidup rombongan besar itu. Penguasa Dharmasraya pun mencari berbagai dalih untuk mengusir rombongan tersebut. Rombongan tersebut pun keluar dari Dharmasraya sebagaimana mereka datang, menyusuri sungai Batanghari.
Namun karena kembali ke Singosari berarti akan dianggap oleh penguasa Singosari sebagai kegagalan menjalankan tugas dan sudah barang tentu hukuman adalah ganjarannya, rombongan pimpinan Indrawarman ini memutuskan meneruskan perjalanan ke arah utara, menyusuri pantai pulau Sumatera untuk mencari tempat perlindungan. Diperkirakan rombongan ini sempat mencoba masuk ke sungai-sungai besar di Sumatera yang berada di utara muara sungai batanghari, seperti sungai Indragiri, Kampar, Siak bahkan sungai Rokan dan Berombang. Namun karena semuanya mengarah ke selatan, yang berarti mendekati Darmasraya, rombongan ini keluar lagi.
Di Sumatera Utara, ketika mencoba memasuki sungai Asahan, rombongan ekspedisi pamalayu ini menemukan cabang sungai yang mengarah ke arah utara. Mereka pun menyusurinya. Karena merasa nyaman, tidak lagi mengarah ke selatan, ke arah Dharmasraya yang mengusir mereka, dan tidak berada di induk sungai, mereka pun membuka perkampungan tidak jauh dari muara anak sungai tersebut.
Namun karena merasa terlalu dekat ke muara, dimana kabar tentang pasukan mongol yang bengis masih menghantui, rombongan Indrawarman inipun masuk lebih dalam lagi. Menyusuri hingga hulu sungai, bahkan sampai keluar dari hulu sungai. Mereka pun membuat perkampungan disana, di tempat tak bertuan.
Dalam waktu singkat, tempat hunian mereka pun ramai. Banyak orang datang ke tempat kediaman mereka untuk berdagang. Ada yang dari arang muara sungai, ada juga yang dari daerah dataran tinggi di sekitarnya.
[caption id="attachment_234619" align="alignnone" width="323"] Gotong Tikal atau Gotong untuk pesta adat. (Foto: Zulvanal Sinaga)[/caption]
Tidak berapa lama, informasi keberadaan perkampungan ini sampai kepada Raja Nagur. Namun dengan kepiawaian Indrawarman dan para petinggi rombongan ini dalam berdiplomasi, mereka tidak diusik oleh Raja Nagur. Bahkan diantara mereka terjalin hubungan baik. Saling bertukar cenderamata. Salah satunya yang dipertukarkan adalah kain yang dikenakan sebagai penutup kepala dari bahan batik yang kemudian dinamakan Gotong. Besar kemungkinan, beberapa wanita yang direkrut sebelumnya di wilayah Banten pun dipertukarkan.
Tahun 1286, sebagai tanda takluknya Dharmasraya kepadanya, Raja Kertanegara penguasa Singosari kembali mengutus rombongan untuk mengirimkan arca Amoghapasha kepada penguasa Dharmasraya. Rombongan ini banyaknya 14 kapal beserta 7 pengiringnya.
Setiba di Dharmasraya, rombongan ekspedisi kedua ini tidak menemukan lagi Indrawarman dan anggotanya di Dharmasraya. Karena kembali ke Singosari tanpa menemukan rombongan Indrawarman adalah kegagalan dan sudah barang tentu akan diganjar hukuman, rombongan ini pun mencoba menyusuri pesisir pantai Sumatera ke arah utara.
Dengan informasi dari para pelaut dan masyarakat yang ditemui akhirnya mereka bisa menemukan rombongan Indrawarman di Pamatang Silou. Nama yang diberikan oleh rakyat nagur untuk daerah permukiman yang didirikan oleh Indrawarman dan rombongan ekspedisi Pamalayu yang pertama.
Mengingat kata Silou atau yang menyerupai kata itu tidak dikenal dalam bahasa jawa, bahasa asal rombongan Indrawarman, nama silou kemungkinan diberikan oleh masyarakat Nagur mengingat orang-orang dalam rombongan Indrawarman tersebut seperti hewan dua alam yang mereka kenal yakni silo-silo atau dalam bahasa Indonesia berang-berang, hewan yang lincah di darat maupun di air.
Pertemuan kedua rombongan ini, rombongan ekspedisi Pamalayu yang pertama dan rombongan ekspedisi Pamalayu yang kedua, tentunya menimbulkan ketegangan. Rombongan kedua tidak mungkin kembali ke Singosari tanpa membawa serta rombongan pertama. Karena itu adalah kegagalan yang sudah barang tentu mendapat ganjaran hukuman. Demikian pula halnya dengan rombongan pertama, rombongan yang dipimpin oleh Indrawarman, kembali ke Singosari sama saja bunuh diri karena sudah meninggalkan tugas di Dharmasraya. Satu-satunya jalan bagi rombongan kedua agar bisa kembali ke Singosari tanpa mendapat hukuman adalah membantai rombongan pertama.
[caption id="attachment_234620" align="alignnone" width="720"] Gotong Porsa, berwarna putih, dipakai saat acara Sayur Matua. Perkabungan orang tua yang sudah punya cucu dari anak laki maupun perempuannya. (Foto: Juandaha Raya Purba)[/caption]
Dalam dongeng atau legenda di sekitar Simalungun hingga sekarang tidak terdengar adanya cerita yang mengisahkan 2 rombongan pendatang yang saling bantai. Dan mengingat bahwa para pemimpin kedua rombongan ini adalah ahli politik dan diplomasi, kemungkinan yang terjadi adalah sebuah perjanjian rahasia. Rombongan kedua kembali ke Singosari dengan memberi kabar kepada Raja Singosari bahwa rombongan pertama yang membangkang dengan meninggalkan tugas di Dharmasraya telah habis dibantai. Sementara rombongan pertama yang dipimpin oleh Indrawarman, berpencar meninggalkan pusat perkampungan Silou, yakni Pamatang Silou dengan melepas identitasnya sebagai orang Jawa atau Sunda dan membaur dengan masyarakat Nagur.
Melalui rangkaian kejadian itu destar batik yang dibawa rombongan ekspedisi pamalayu dari jawa dan sempat tersosialisasi di Dharmasraya dengan nama deta, akhirnya ada dalam masyarakat nagur atau Simalungun sekarang dengan nama baru, gotong. Demikian juga seni nyinden dari jawa yang sempat tersosialisasi di masyarakat Dharmasraya dan sekarang disebut taliwang, tersosialisasi bersama seni nyinden banten atau sunda di masyarakat Nagur hingga sekarang dengan nama yang baru, taur-taur. Selain itu, destar putih yang biasa digunakan masyarakat banten dahulu, tersosialisasi hingga kini di bekas wilayah Nagur, di masyarakat Simalungun, dengan nama gotong porsa.
Rombongan ekspedisi pamalayu yang kedua tiba kembali dengan selamat di Singosari pada tahun 1294, sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol dari Singosari.
Batik Day, 02/10/2019
Oleh: Julvanal Sinaga (Uttok Sondi)