RUU KUHP, Kodifikasi yang Tak Kunjung Menjadi 'Legacy'

gedung dpr2 (Foto : )

Memahami lebih jernih, RUU KUHP  tidak seburuk seperti opini yang dibangun hari-hari ini. Banyak pasal yang progresif dan  membangun norma hukum baru. Seperti konsep pemidanaan yang tidak lagi melulu sebagai sebuah pembalasan, tetapi pembinaan yang lebih komprehensif (pasal 51 RUU KUHP).Selain itu RUU KUHP juga menegaskan untuk mendahulukan keadilan ketika ada pertentangan dengan kepastian hukum, pasal 52 ayat (2) RUU KUHP menegaskan, “Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”.Mengutip pendapat Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, Ia menilai KUHP warisan Belanda yang dipakai saat ini sudah patut diperbaharui. Menurutnya KUHP warisan Belanda, kacaunya justru lebih banyak. Sebagian malah tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat kita.Bukan ingin membela DRR dan pemerintah yang dikesankan asal ingin mengesahkan, tetapi karena sudah puluhan tahun dirumuskan, harus ada keberanian untuk mengesahkan.Terlebih sejak awal telah digodok sedemikian rupa oleh para ahli yang dikenal intergritasnya.  Seperti Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Oemar Seno Adjie, Prof. Barda Nawawi, Prof, Muladi, dan sejumlah pakar lainnya.Pastinya tetap ada kekurangan dan ketidaksempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik sang Kuasa. Tapi bukan lalu kita terus menghamba pada produk hukum yang ber ide dasar kolonialisme. Revisi dan perbaikan di kemudian hari adalah keniscayaan. Keberanian mengambil keputusan politik harus dimiliki DPR dan pemerintah.Namun pilihan politik pemerintah jatuh untuk menundanya. Lagi-lagi RUU KUHP tertunda untuk menjadi sebuah legacy. Butuh keberanian yang luar biasa untuk mengesahkannya. M Muchsin * Penulis adalah wartawan ANTV. Tulisan merupakan opini penulis dan tidak mewakili pendapat dan sikap redaksi ANTV.