(me)Politik(i) Petani atau (me)Poltik(an) Petani?

HKTI Petani Politik (Foto : )

Berduyun-duyun. Berbondong-bondong. Ratusan petani bergerak menuju gedung para dewan. Membawa spanduk harapan. Meneriakkan tuntutan. Berdemokrasi! Begitu kata mereka. Selasa, 24 September 2019 siang, Gedung DPR/MPR RI dan Istana Merdeka dirangsek banyak elemen masyarakat. Petani, buruh, mahasiswa bahkan kelompok-kelompok tanpa atribut alias para “penggembira”. Nah! Sambil menyeruput es teh setengah manis, mari kita ngobrol tentang petani. (me)Politik(i) Petani?  Petani adalah sekutu yang punya kekuatan besar. Jumlahnya layak diperebutkan untuk mendulang suara secara politik. HKTI didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta melalui penyatuan empat belas organisasi penghasil pertanian utama. Pada MUNAS Ke-6 periode 2004-2009 ditetapkan Ketua Umum HKTI adalah Prabowo Subianto. Berhasil! Gilang gemilang! Pemilu 2009, Prabowo Subianto dengan iklan HKTI-nya mampu menggaet petani membesarkan Partai Gerindra. Keberhasilan Prabowo ini menjadikan HKTI sangat seksi untuk dipinang, diperebutkan. Para politisi berebut menjadi ketua umum. Munas ke-7 HKTI periode 2010-2015 memanas! Oesman Sapta Odang, M Jafar Hafsah, dan Titiek Soeharto bersaing. Oesman Sapta Odang juaranya. Kelompok Prabowo tidak berkenan. Pada 6 Agustus 2010 membentuk kepengurusan HKTI Periode 2010-2015 di bawah pimpinan Prabowo Subianto. MUNAS Ke-8 periode 2015-2020 menetapkan Jenderal TNI Purn Moeldoko sebagai Ketua Umum HKTI. Sedangkan HKTI versi Prabowo Subianto dipimpin Fadli Zon. Sama saja semua, pengurusnya banyak melibatkan politisi Senayan. Banyak politisi yang selama ini jauh dari dunia pertanian tiba-tiba menjadi orang yang nantinya mengurusi masalah pertanian. Sssttt … ada gak sih alokasi anggaran negara untuk HKTI? Kalau ada, berapa sih anggarannya? Ironi (me)Politik(an) Petani Petani makin melek. Makin terang benderang melihat. Perebutan elit HKTI membuat anggota, para petani, yang nasibnya seharusnya diperjuangkan justru semakin diabaikan. Harus diakui secara jujur bahwa kontribusi HKTI terhadap nasib petani selama ini sangat minim. Mengapa demikian? Apakah HKTI benar-benar mengurusi petani? Apakah hanya memolitiki para petani? Apakah para petani hanya menjadi komoditas politik? Dimanakah HKTI ketika ada konflik yang melibatkan petani terkait lahan garapan mereka? Lahan pertanian di Indonesia makin menyusut. Banyak persoalan lahan pertanian yang tidak usai. Banyak pula kekerasan perihal penguasaan lahan pertanian. Eskalasi konflik agraria di berbagai daerah banyak yang berujung tindakan represif dan kriminalisasi petani. Entah oleh pasukan sipil bayaran para pengusaha maupun aparat bersenjata. Ya! Kelompok petani sangatlah rentan terhadap kebijakan pemerintah yang terlalu memberikan porsi lebih besar kepada korporasi sementara negara absen memberikan perlindungan kepada petani maupun masyarakat adat. Dimanakah HKTI? Poro Duka, Duka Terlupa! Tahun lalu 25 April 2018, petani bernama Poro Duka mati akibat peluru aparat Brimob yang bersarang di jantungnya karena ia mempertahankan tanahnya yang dirampas dengan skema investasi. [caption id="attachment_232062" align="aligncenter" width="750"] Konflik Petani - Brimob di Pantai Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.[/caption] Peristiwa ini terjadi di Pantai Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Poro Duka adalah korban kebijakan pemerintah tidak mempertimbangan dampak akibat puluhan ribu hektar lahan petani dan masyarakat adat dikonsesi ke perkebunan skala besar. Urut Sewu! Perampasan Sistematis? Pukulan, injakan dan tembakan peluru karet menyasar para petani. Kalang kabut. Kocar kacir. Sedikitnya 16 petani terluka. Bentrok ini terjadi Rabu, 11 September 2019, saat warga menolak pemagaran lahan oleh TNI Angkatan Darat di Desa Brecong, Kebumen. Warga mengklaim punya serifikat hak atas tanah. TNI AD mengaku lahan itu hibahan dari negara untuk latihan perang. [caption id="attachment_232069" align="aligncenter" width="700"] Petani berunjuk rasa di kantor Pemkab Kebumen, Jawa Tengah.[/caption] Warga yang terlibat dalam konflik ini berasal dari beberapa desa sepanjang pantai Kebumen Selatan, yaitu: Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit). Lahan konflik terletak di muara Sungai Lukulo di Desa Ayam Putih sampai muara Sungai Wawar di Desa Wiromartan. Panjang lahan konflik kurang lebih 22,5 km dan lebar 500 meter dari bibir pantai selatan. Ini hanya secomot konflik. Konflik seperti ini juga banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Dimanakah peran negara? Atau setidaknya dimanakah peran kelompok penghimpun para petani? Dimanakah HKTI? Oh iya … hari ini adalah Hari Tani Nasional! “Pada HTN ini kembali kami menagih janji negara untuk menyelamatkan rakyat. Mengingat pembangunan ekonomi dan pengalokasian sumber-sumber agraria lebih diprioritaskan untuk investasi skala besar, koorporasi dan elit politik,” kata Dewi Kartika, Koordinator Umum Hari Tani Nasional 2019. [caption id="attachment_232073" align="aligncenter" width="900"] Petani turun ke jalan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa 24 September 2019.[/caption] Janji Jokowi dalam Nawa Cita untuk Reformasi Agraria belum terealisasi. Janji 9 juta hektar tanah untuk reforma agraria realisasinya masih jauh dari harapan rakyat. Sementara janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim kawasan hutan milik negara untuk reformasi agraria hasilnya adalah nol hektar selebihnya adalah penyertifikatan tanah biasa. Presiden Soekarno pada 24 September 1960 menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Maka hari itulah ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Dimanakah HKTI?