HIDUNG dalam Lakon Bima Mencari Tirta Perwita

HIDUNG dalam Sastra dan Filsafat Mistik (Foto : )

Bima harus memahami Kayu Gung Susuhing Angin, ilmu kesadaran raga, untuk menaklukkan dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmakala yang menjaga Arga (gunung) Chandramuka/Reksamuka. Ini adalah sanepa (kiasan) tentang ilmu kesejatian. Baca sebelumnya: HIDUNG dalam Sastra dan Filsafat Mistik Kayu Gung Susuhing Angin. Kayu (jasad) suci tempat angin berhuni. Ini adalah sanepa (kiasan) tentang ilmu kesejatian. Ada dua kajian filosofis tentang hal ini. Ada yang memahaminya sebagai tubuh manusia. Dimana di dalamnya bersinggasana Sang Hyang Maha Hidup. Ada pula yang memahaminya sebagai batang hidung yang menjadi lorong dimensi antara jagat manusia dan jagat gaib/maya. Jembatan antara tubuh, pikiran/jiwa dan kalbu. Agar cahaya wajah makin cerah dan ayu maupun ganteng, jagalah nafas. Nafas yang dimaksud adalah kesadaran. Ya! Kesadaran! Dengan kesadaran ini maka harmoni tata jagat diri akan tercipta. Mlipir ke kiri sejenak ya … di ajaran kejawen sering terdengan sanepan: Golekno Galihe Kangkung. Carilah batang kambium Kangkung. Jelas tidak akan ketemu karena batang kangkung tidak berkambium alias berongga. Apa maknanya? Ternyata ajaran untuk menggugah akal budi. Kabeh kudu dipenggalih ingkang kalangkung. Semua harus ditimbang-timbang lebih dalam menggunakan hati! Manusia Baru Pada ujian kedua, Bima berbekal ilmu Jalasegara yang didapatnya dari Bathara Bayu. Jala adalah rangkaian tatanan jagat. Segara adalah Samudera. Jalasegara adalah rangkaian tatanan jagat yang mengatur samudera kehidupan. Di sini para pejalan spiritual memaknai samudera sebagai Rahim yang berisi air ketuban. Di sinilah embrio bayi berhidup hingga lahir ke dunia. Sesosok naga raksasa yang melilit Bima adalah simbol DNA dan tali pusar ibunda. DNA adalah asam deoksiribonukleat, atau deoxyribonucleic acid. DNA adalah perpustakaan yang menyimpan segala informasi makhluk hidup. DNA ada dalam di dalam inti sel. Sedangkan Kuku Pancanaka adalah kuku panjang runcing seperti gading gajah pada kedua jempol tangan Bima. Memang, kuku Bima ini adalah kedua gading Gajah Setu Bandha, hewan klangenan Bathara Indra. Dalam lakon Bima Bungkus, saat Bima akan lahir, Gajah Setu Bandha membantu merobek bungkus bayi Bima. Saat terbuka, spontan bayi Bima memegang kedua gading dan mematahkannya. Ajaib, kedua gading itu menyatu di jempol bayi Bima. Sedangkan sukma Gajah Setu Bandha menyatu pada raga bayi Bima. Pancanaka dalam pemahaman spiritual modern adalah sempurnanya penyatuan lima unsur semesta. Berupa: daya bumi/tanah, air, api, angina dan ether. Bisa juga berarti lima hawa sakti dalam diri: prana, apana, samana, udana, vyana. Dan pada hakekatnya Pancanaka diartikan sebagai kekuatan hasil mengendalikan panca indera. Ketika sang jabang bayi lengkap semua unsur pembentuknya, maka diputuslah Sang Naga, tali pusar. Lahirlah sang jabang bayi. Semua bahagia. Bergembira. Semua melupakan ada sengal nafas Sang Ibu saat melahirkan anaknya. Putus nafas pun jadi taruhan. Jalinan Tunggal Jagat Raga dan Jagat Raya Dewa Ruci menemui Bima. Kerdil! Ukurannya tidak lebih dari telapak tangan Bima. Lebih mengejutkan karena wajah Dewa Ruci menyerupai dirinya. Di sinilah simbol Jagat Raga dan Jagat Raya. Bima yang raganya tinggi besar adalah simbol Jagat Raga yang sejatinya tak seberapa. Dewa Ruci yang kerdil ternyata adalah Jagat Raya. Telinga Dewa Ruci adalah simbol portal/gerbang/lorong menuju ketiadabatasan. Bima masuk ke dalam telinganya adalah masuk ke dalam cipta tentang semesta yang bisa pahami melalui pikiran. Semesta ada dalam pikiran dan kalbu Sang Bima. Jagat Raga tiada terpisah dengan Jagat Raya. Menyatu menjadi jalinan tunggal. Meniti Dalam Diri Kunci kisah Dewa Ruci adalah Air Kehidupan, Tirta Perwita berada di dalam diri manusia itu sendiri. Perjalanan Bima mengalahkan dua raksasa, naga dan bertemu Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan symbol. Simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu. Nafsu yang menghalanginya menuju kesempurnaan. Oke, balik lagi ke hidung. Adegan sub kisah Dewaruci di atas adalah simbolisasi pengaturan/pengandalian nafas guna menuju fase relaksasi hingga meditasi. Hidung pada hematnya merupakan starter dalam prosedur pengendalian diri. Menuju frekuensi paling rendah. Frekuensi yang akan kita capai dengan pengaturan nafas. Maka untuk meredakan amarah atau meredakan ketegangan maupun kecemasan biasanya manusia disarankan menarik nafas panjang dan menghembuskannya lembut. Melalui apa? Hidung!