HIDUNG dalam Sastra dan Filsafat Mistik

HIDUNG dalam Sastra dan Filsafat Mistik (Foto : )

Hidung memang menarik untuk dibahas. Apalagi ketika Tempo.co edisi 16-22 September 2019 mengeluarkan edisi bayangan hidungnya Pak Jokowi yang mbangir alias mancung. Banyak yang ngakak, banyak pula yang sewot. Hidung telah menjadi simbol penggambaran sesuatu. Nah, darimana muasal simbol ini? Selama ini tidak ditemukan lontar atau kitab kuno yang secara khusus membicarakan Hidung. Namun dalam sastra maupun filsafat mistik, hidung sering disebut-sebut sebagai bagian penting dalam proses meditasi menyatu dengan semesta raya. Dalam ranah kebatinan Jawa purwa, hidung adalah kunci peleburan manusia dengan Sang Hyang Maha Hidup. Sedangkan dalam spiritualitas purwa, hidung dilambangkan sebagai Arga Duksina atau Gunung Duksina. Artinya, secara utuh hidung adalah Gunung Kesadaran. Nanti kita bahas, sekarang kita tengok fraktal-fraktal lakon pewayangan yang kaya simbol mistik terkait hidung. Kisah pewayangan yang mengangkat simbolisasi hidung yakni Werkudara atau Bima mencari Tirta Perwita. Perjalanan mencari air kehidupan. Tirta Perwita Begini kisah singkatnya, Bima memiliki seorang guru bernama Resi Drona. Resi Drona memerintahkan Bima mencari Tirta Perwita (Air Kehidupan). Air ini akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup. Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima. Tujuannya, Bima tidak turut berperang dalam Perang Bharatayuda yang kala itu sedang dipersiapkan. Bima langsung menjalankan titah Drona. Bima tanpa bertanya berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. Pertama, Bima menuju gua di Arga (gunung) Chandramuka/Reksamuka. Di sini, Bima harus mengalahkan dua Raksasa penjaga gua yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Bagaimana Bima bisa mengalahkan mereka? Bima harus mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Kayu (jasad) suci tempat angin berhuni. Ini ternyata hanyalah sanepa (kiasan) tentang ilmu kesejatian. Bima mampu menemukannya. Dua raksasa itu mampu ditaklukkannya. Namun, air kehidupan tak jua ditemukannya. Bima akhirnya pasrah. Bersandar pada pohon beringin. Tiba-tiba terdengar suara Bathara Indra dan Bayu. Bima diperintahkan pulang ke Hastinapura. Bima menemui Drona. Memerintahkan Bima untuk menyelami Samudera Raya. Bima kembali bergegas pergi.. Pada ujian kedua ini, Bima berbekal ilmu kesaktian aji Jalasegara yang didapatnya dari Bathara Bayu. Bima sanggup bernafas di dalam air. Di dasar samudera raya sesosok naga raksasa menghadangnya. Naga melilit Bima. Menyemburkan bisa bagai hujan badai. Bima mengatasi panik. Kuku Pancanaka miliknya ditancapkan di badan naga. Mati! Seisi samudera bergembira. Dewa Ruci menemuinya. Kerdil! Ukurannya tidak lebih dari telapak tangan Bima. Lebih mengejutkan karena wajah Dewa Ruci menyerupai dirinya. Apalagi, Dewa Ruci memerintahkan Bima masuki ke telinga kiri Dewa Ruci! Perintah yang mustahil! Namun, Bima yakin dan berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu. Ada dunia yang maha luas di sana. Dewa Ruci mengatakan bahwa Air Kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Alur lakon Dewaruci adalah simbolisasi tahapan-tahapan meditasi. Lalu apa hubungannya dengan hidung? Pancaran Data Wajah Pada ujian pertama, Bima menuju gua di Gunung Chandramuka/Reksamuka. Chandramuka adalah gambaran wajah kita. Wajah yang penuh data atau informasi. Ada ilmu kuno (fisiognomi) yang menguak bagaimana kondisi kesehatan, suasana hati maupun karakter seseorang. Demikian pula Reksamuka adalah wajah manusia kita. Wajah raksasa yang sedang menata maupun meniti diri menuju keselarasan berhidup. Gunung Kesadaran Di wajah ini ada gunung yaitu hidung. Hidung digambarkan sebagai Gunung Duksina atau Gunung Kesadaran. Mengapa gunung? Hidung adalah puncak tertinggi pada tubuh manusia. Puncak tertinggi jagat raga. Tidak percaya? Coba rebahkan diri. Nah! Hidung akan menjadi puncak tubuh. Ini hanya berlaku pada manusia umum, bukan pada anda yang perutnya buncit tidak umum. Sssttt … tapi hidungnya juga jangan terlalu panjang seperti Pinokio. Itu kan simbol orang yang berkata bohong atau tidak jujur. Hakekatnya, hidung adalah pintu keluar-masuknya nafas. Coba rasakan nafas yang kita hembuskan. Panas! Demikian pula gunung saat mengeluarkan panas melalui kawahnya. Jikalau hidung mampet tentu akan menjadi masalah bagi tubuh. Demikian pula bagi gunung. Semua jagat harus berada dalam tata harmoni. Dua Raksasa Nafsu Dua raksasa penjaga gunung yaitu Rukmuka dan Rukmakala adalah gambaran dua lubang hidung kita. Juga luapan nafsu kita untuk tenggelam dalam hingar bingar dan nikmat dunia. Namun Bima mampu menaklukkannya. Bagaimana caranya? Menguasai nafas! Nafas yang keluar maupun masuk hidung mampu mengendalikan pikiran maupun raga. Kesadaran raga adalah kunci penaklukkan segala nafsu inderawi. Ini adalah kesadaran yang harus dijaga setiap saat. Bagaimana bisa menjaga nafas jika udara didera kabut asap? Coba geser sedikit otak kita lalu ganti pertanyaannya. Mengapa kabut asap harus terjadi? Mengapa manusia tidak punya kesadaran untuk menciptakan udara yang segar untuk dihirup? Bagi anda yang sudi berpikir, jangan pernah menjawab: ini sudah kehendak Tuhan! Selanjutnya: HIDUNG dalam Lakon Bima Mencari Tirta Perwita