Bumi Manusia, Bumi Untuk Manusia Selamanya

Bumi Manusia Untuk Selamanya (Foto : )

Bumi Manusia Untuk Selamanya

Langkah riang Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Robert Shuurhof (Jerome Kurnia) begitu leluasa di kawasan Kranggan, Surabaya tahun 1898.

newsplus.antvklik.com - Ini salah satu scene atau adegan awal dari film Bumi Manusia yang sedang  diputar di bioskop tanah air sejak 15 Agustus lalu. Tapi beberapa saat kemudian, langkah dua sahabat sesama sekolah di HBS (Horgere Burgerschool) Surabaya ini terhenti ketika seorang Belanda melarang Minke masuk ke dalam sebuah klub bangsa Eropa. Alasannya, Minke pribumi. Berbeda dengan Shuurhof yang Indo. Inilah adegan awal yang  beraroma teror rasis pada seorang Minke. Aroma rasis itu dipertebal  ejekan verbal berupa sebutan, Monyet ! untuk Minke. Hinaan untuk seorang Minke yang pribumi ini terus digeber pada menit awal. Lalu Minke menceritakan bagaimana riwayat namanya sendiri merupakan adaptasi dari sebutan “Monkey“  alias Monyet yang jadi bahan olok-olok di kelasnya. Ironisnya, Minke menceritakan  itu dengan ringan di hadapan Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh) remaja putri dari seorang Belanda kaya raya Herman Mellema yang beristrikan seorang Nyai, bernama Ontosoroh. Kelak, Annelies akan jadi pacar Minke. Begitulah tiga puluh menit pertama isu rasis menggedor dan menegangkan pikiran penonton.  Artinya cukup menggambarkan jurang perbedaan manusia Eropa dan pribumi yang justru diciptakan oleh manusia itu sendiri. Lalu, apakah sikap rasis itu tegak sendiri? Nyai Ontosoroh Melawan Isu rasis yang disiram dari bangsa Belanda baru mendapat sandingannya ketika sosok Nyai Ontosoroh (Sha Inne Febriyanti) muncul. Ia istri seorang Belanda yang hidup makmur dari hasil bumi, Herman Mellema. Herman memungut Ontosoroh sebagai gundik saat belia. Singkat cerita, Minke dan Annelies alias Ann, menjalin hubungan. Minke pribumi sedangkan Ann seorang Indo. Di sinilah bibit perlawanan rasis dan diskriminatif mulai berkobar. Nyai Ontosoroh merestui hubungan Minke dengan Ann. Ann yang punya tampilan bangsa bule yang kuat malah selalu ingin jadi pribumi.  Maka percintaan Minke dan Ann ini adalah cermin semangat Nyai Ontosoroh melawan perbedaan pribumi dan non pribumi. Mengapa Nyai Ontosoroh punya semangat perlawanan? Ternyata, Ontosoroh  cukup cerdik. Sejak ia dipungut jadi gundik oleh Herman Mellema, Ontosoroh mempelajari berbagai hal mulai dari bahasa, administrasi, bisnis dan lain–lain. Akibatnya, cawan intelektual Ontosoroh berkibar pada waktunya. Ia memang pengecualian dari Nyai pada umumnya. Nyai Ontosoroh bisa baca keganjilan–keganjilan penerapan hukum pada manusia, yang bisa menguntungkan salah satu pihak serta merugikan pihak lain alias curang. Di situlah Ontosoroh melawan. Gelisahnya Minke Seiring sejalan dengan Nyai Ontosoroh, Minke juga melawan semprotan rasis dan perilaku diskriminatif pada pribumi. Minke mengekspresikannya lewat tulisan-tulisan lepas di koran Surabaya kala itu. Minke, memang anak muda yang gelisah pada masanya. Bahkan bobot ketokohan Minke masih bertambah ketika ia juga menyerang soal budaya kolot di tanah airnya sendiri. Ada scene atau adegan, ketika Minke menghadap ayahnya yang menjabat sebagai bupati, Minke harus berjalan jongkok lebih dulu di lantai pendopo utama. Jelas, buat Minke ini adalah hal yang menyebalkan.  Jalan jongkok adalah lawan  dari bibit–bibit modernisasi pemikiran, berupa kesamaan hak manusia yang terus meluas di kepala Minke. Tangguhnya Akting Nyai, Labilnya Minke Sepanjang film, sosok Minke memang jadi pusat cerita. Tapi karakter Minke sesekali lepas dari kontrol Iqbaal Ramadhan. Dalam beberapa scene, kerongkongan Minke tak mengeluarkan logat Jawa yang medok. Nampak sepele tapi ini terkait konsistensi. Ketika Minke lepas dari logat Jawanya, terasa ia hidup hari ini. Lainnya, nampak kesan, pesona tampannya wajah Iqbaal masih terlalu kekinian untuk memerankan Minke atau RM Tirto yang cekatan mengeluarkan gagasannya di depan tuts mesin tik. Saat scene romantis Minke dengan Ann, nampak sekali kita masih merasakan aroma sosok Dillan yang diperankan Iqbaal dalam film Dillan 1990. Nilai lebih boleh kita berikan pada Sha Inne Febriyanti yang didapuk jadi Nyai Ontosoroh. Inne nyaris sempurna memerankan Ontosoroh yang selalu sibuk menghadapi kepungan persoalan. Inne menguasai betul sosok Nyai Ontosoroh. Akibatnya, Inne leluasa menggerakkan roh sosok Nyai. Ketika Nyai Ontosoroh menyayangi anaknya Ann serta mengayomi Minke dan Ann, nampak keanggunan seorang ibu. Tapi ketika harus melawan persoalan yang menyangkut harkat dan martabat pribadi serta keluaraganya dalam kerangka isu rasis dan diskriminatif, Inne menghidupkan Nyai Ontosoroh yang galak lewat sikap. Lawan ! Akting Inne kian matang dan dewasa. Vitamin Melawan Rasis Bumi Manusia sebagai sebuah karya sastra dalam bentuk novel, riwayatnya sudah melewati masa jungkir balik serta terang dan redup bahkan mati suri. Pramoedya Ananta Toer menulisnya  saat  melewati masa sebagai tahanan politik di Pulau Buru, lepas Orde Lama tumbang tahun 1965. Lalu tahun 80 an awal, tulisan cerita Bumi Manusia muncul dalam cetakan perdana. Sukses ! Tapi, rezim Orde Baru masih terlalu trauma dengan peristiwa kelam 65. Akibatnya, Bumi Manusia mandapat stigma sebagai ajaran yang berbau komunis. Penguasa pun menggusur Bumi Manusia dari peredaran di bumi manusia. Padahal buah karya Pram ini, lebih kental menggagas suara Nasionalisme yang utuh. Syukurlah, bulan Agustus tahun 2019, Bumi Manusia baik itu sebagai karya sastra tekstual maupun Cinematografi atau film, sudah jauh lebih merdeka dari bayang–bayang penggusuran karya. Boleh jadi, kita menyaksikan Bumi Manusia bagai kita menelan vitamin anti rasis, untuk memerdekakan diri dari kepicikan kita dalam kehidupan sehari–hari, agar tidak menyebut kata “Monyet“  pada manusia lainnya di bumi manusia. Tidak. Ini Bumi Manusia. Selamanya. Merdeka ! Penulis: Yosi Mahalawan Denis