Matahari bersinar terik di tengah kota Yogyakarta. Ujung jalan Malioboro pun sengit berisik. Pasar Beringharjo menggeliat asyik. Lalu lalang barang dagangan di pasar kota ini pun menjadi sumber rejeki meski tak seberapa. Para perempuan berjuluk Buruh Gendong mengadu nasib baik.
Mengais recehan dari para pedagang dan pebelanja. Merekalah para perempuan pinggiran yang mengadu nasib ke pusat kota provinsi. Bukan hanya perempuan baya, namun juga para renta. Tak ada pilihan lain kecuali menjadi Mbok Gendong, kata mereka.
Nun jauh di sana, di lereng Gunung Kedut, kampung Kenyot Nampak sepi. Rumah Bacot yang biasanya ramai juga senyap. Hanya nampak Mbah Sastro di teras rumah, duduk bersantai menerawang. Teriakan hati para buruh gendong terngiang di telinganya.
Prihatin, di usia tua para perempuan buruh gendong ini masih harus mengais rupiah mengandalkan tenaga yang mulai melemah, bermodal secarik kain selendang dan keranjang.
Keringat yang mengucur di wajah mereka memperlihatkan bagaimana beratnya hidup yang mereka jalani. Gubraaakkk!!! Tiba-tiba ada suara benda jatuh dari atas genteng rumah. Mbah Sastro terperanjat, sontak lari ke samping rumah menengok.
Nampak Mak Lampir bergulingan di bawah pohon kamboja. Kebayanya belepotan tanah. Jariknya yang bermotif Sidomukti, robek. “Ngapain, Mak?! Bikin kaget saja!” umpat Mbah Sastro. “Lagi terbang nyangkut pohon duren di pojokan sono!” jawab Mak Lampir sambil terkekeh.
“Emang mau kemane, Mak?” “Mau ke sini. Ngobrol-ngobrol soal perempuan, soal nenek-nenek juga.” “Soal apa nih?” “Buruh perempuan, Mbah.” Jawab Mak Lampir sambil mengunyah sirih. Mak Lampir berjalan tertatih menuju teras Rumah Bacot. Jariknya yang robek kini seperti celana kulot. “Enak juga ternyata pakai jarik longgar begini,” katanya sambil terkekeh. “Itu robek, Mak! Celana hotpantnya kelihatan tuh warnanya pink,” tunjuk Mbah Sastro.