Nyatanya bukan hanya aku yang merasa SBY punya kelebihan. Ibu juga mengatakan simpatinya pada pemuda Pacitan itu. “Dia santun dan dewasa sekali, “ kata Ibu yang ternyata sudah lama menyukai SBY.
Aku mendengar sambil sibuk meredakan perasaan yang aneh di dalam hati. Sejujurnya aku tidak bisa mengartikan apa makna degup aneh yang aku rasakan. Tapi bahwa aku kemudian merindukan pertemuan kembali dengan sosok jangkung itu benar adanya.
Ternyata aku tidak perlu berharap-harap, karena keesokan harinya, kembali SBY menghadapi Papi di rumah. Kali ini, kami bisa berbicang lebih lama dibandingkan sekedar perkenalan singkat seperti sehari sebelumnya. Perbincangan singkat itu meninggalkan kesan yang amat dalam.
Ketika kembali ke Jakarta, seluruh hatiku terarah pada dia, SBY. Tidak bisa dipungkiri lagi, aku dan SBY jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak tahu siapa yang lebih dulu suka, yang pasti tidak berapa lama setelah pertemuan di Magelang itu, surat-surat SBY mengalir deras padaku.
Dan di antaranya, akhirnya ia menyatakan cinta. Jadi begitulah kedekatan kami terjadi tanpa terduga. SBY tidak menyangka akan jatuh cinta kepada putri pemimpin akademinya.
Aku, apalagi, tidak menyangka akan jatuh hati pada pemuda yang jauh dari belahan Jakarta. Walau begitu, kami mengganggap ini sebagai fase yang wajar saja dalam kehidupan manusia. Kami tidak bersikap impulsif, apalagi sampai merencanakan sesuatu yang serius di depan nanti.