Catatan dari Tanah Bencana, "Teror Itu Bernama Gempa"

yudi di Palu (Foto : )

Teror Itu Bernama Gempa (Catatan Yudi Afriandi Sinaga, Jurnalis antv dari Kota Palu) Tiga minggu sudah musibah gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang wilayah Sulawesi Tengah. Selain guncangan gempa, tsunami dan likuefaksi melanda tiga wilayah: Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala yang memakan banyak korban. Hingga saat ini trauma akan datangnya gempa terus menyelimuti pikiran masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala.  Gempa menjadi momok yang tak henti meneror mereka. Sangatlah wajar peristiwa 28 September lalu--yang dimulai dari gempa dan kemudian disusul tsunami dan likuefaksi--menjadi cerita yang tak kunjung selesai diperbincangkan di wilayah Sulawesi Tengah karena dampaknya sangat luar biasa. Korban jiwa ribuan, bangunan hancur tak terhitung. Maka gempa pun menjadi teror. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teror adalah suatu kondisi takut yang nyata, perasaan luar biasa akan bahaya yang mungkin terjadi. Keadaan ini sering ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan selanjutnya. Dan ini yang terjadi di Sulawesi Tengah. Dan jika disebut oleh kamus bahwa pelakunya adalah seseorang atau kelompok maka di tiga wilayah ini: Palu, Sigi, dan Donggala, pelaku sentral dari teror adalah alam yang bernama “gempa”. Terkesan berlebihan untuk orang yang tidak mengalaminya langsung. Dan saya bersama tim liputan antv juga awalnya seperti itu, yang menganggap ketakutan masyarakat di sini terlalu berlebihan.  Pascagempa dan dengan melihat langsung akibat gempa dan juga korban-korbannya masih belum menumbuhkan rasa khawatir kami dan tim liputan akan adanya teror. Beberapa gempa susulan yang skalanya kecil pun tak bisa mengubah alam bawah sadar saya dan tim liputan. Namun, semua itu kemudian berubah,  saat malam hari pada Sabtu (6/10) dan Selasa (9/10) subuh, gempa berkekuatan 3,5 SR dan 5,3 SR mengguncang Kota Palu, saya dan tim liputan merasakan apa yang terjadi pada pikiran masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala. Kami dalam setiap aktivitas merasa “mendapat teror” dari gempa yang mengguncang di bumi yang masih porak-poranda dan berduka. Dalam liputan, saat perjalanan, saat istirahat, bahkan saat mandi pun saya selalu merasa terancam akan datangnya gempa.  Jadi saya kemudian menjadi bagian dari masyarakat di sini yang setiap harinya hidup dalam teror dan pelakunya adalah gempa. Kini, sudah tiga minggu pascagempa sebagian besar masyarakat di Palu,  Sigi, dan Donggala masih tinggal di tenda pengungsian. Sebagian dari para pengungsi ini rumahnya hancur. Tapi tidak sedikit dari mereka yang belum berani pulang meski rumah mereka masih berdiri tegak. Dan penyebabnya: gempa susulan! Apalagi banyak beredar di media sosial jika Palu, Sigi, dan Donggala akan kembali diguncang gempa yang kekuatannya lebih besar dari gempa kemarin. Kehidupan yang tidak normal di tenda pengungsian, gangguan psikis dan ketakutan masyarakat akan datangnya gempa menjadi hal akut dan perlu waktu lama untuk pemulihan. Kalau teror identik dilakukan oleh manusia maka saat ini di Sulawesi Tengah, terutama di daerah bencana, terornya adalah alam dengan gempa sebagai aktor utamanya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik, masyarakat hidup dalam ketakutan atau kecemasan yang menurut Sigmund Freud di sebut “kecemasan neurotis”. Apa itu “kecemasan neurotis”?  Kecemasan yang timbul karena pengamatan tentang bahaya dari naluriah. Sigmund freud sendiri membagi kecemasan ini menjadi tiga bagian. Pertama, kecemasan yang timbul karena penyesuaian diri dengan lingkungan. Kecemasan semacam ini menjadi sifat dari seseorang yang gelisah, yang selalu mengira bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Kedua, bentuk ketakutan yang tegang dan irasional (fobia). Sifat khusus dari fobia adalah bahwa intensitif ketakutan melebihi proporsi yang sebenarnya dari objek yang ditakutkannya. Dan ketiga, reaksi gugup atau setengah gugup. Reaksi ini munculnya secara tiba-tiba tanpa adanya provokasi yang tegas. Jika mengurai apa yang dijabarkan oleh Freud, maka masyarakat Kota Palu, Sigi, dan Donggala mengalami suatu teror akibat adanya kecemasan neurotis dan selalu merasa terancam akan datangnya marabahaya yang lebih dahsyat dari peristiwa Jumat (28/9) lalu. Dan secara tidak sadar saya juga mengalami kondisi yang sama, hidup dalam ketakutan setiap harinya dan jika dibiarkan akan berpengaruh pada pola hidup ke depannya. Kondisi ini yang harus dijawab oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Palu, Pemerintah Daerah Sigi dan Donggala agar masyarakatnya bisa kembali hidup normal. Pascagempa adalah hal yang krusial bagi suatu daerah bagaimana harus berbenah akibat infrastruktur yang hancur. Wakil Presiden mentargetkan dua tahun pemulihan infrastruktur di Provinsi Sulawesi Tengah.  Namun, pembangunan mental, psikis, dan kehidupan normal masyarakat adalah bagian yang paling penting dan harus diutamakan. Dalam tiga minggu masyarakat tinggal di pengungsian dan hidup dalam ketakutan. Saatnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan juga Pemkot Palu menjawab keterlambatan mereka dalam menangani bencana dengan membebaskan masyarakat dari kecemasan dan hidup dalam bahaya. Mengutip teori hierarki Abraham Maslow, “kebutuhan rasa aman bagi rakyat dan perlindungan fisik dan perlindungan psikologis mutlak diberikan oleh negara”--dalam hal ini Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah. Perlindungan agar ancaman terhadap tubuh dan kehidupan masyarakat hilang dan kehidupan kembali menjadi normal. Jadi, kini saatnya untuk bangkit bagi Sulawesi Tengah. Untuk para pimpinan daerah: Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Bupati dan Wakil Bupati beserta jajarannya,  haruslah bekerja keras memberi rasa aman bagi rakyat yang saat ini selalu diteror dan pelaku terornya bernama “gempa”.