SAAT-SAAT TERAKHIR BAPAK BERSAMA KAMI Oleh : Siti Hardijanti Rukmana Malam itu, 25 Januari 2008, Bapak menghendaki dhahar (makan) pizza. Kami mencari. Titiek dan Mamiek pun ikut sibuk meminta bantuan temannya untuk mencarikan pizza sampai dapat. Alhamdulillah masih ada yang buka. Bapak memanggil kami berkumpul, untuk makan bersama pizza tersebut. Tiba-tiba Bapak menyanyikan lagu “Panjang Umurnya”. Rupanya Bapak ingat bahwa pada bulan Januari ada anaknya yang ulang tahun, yaitu saya, pada 23 Januari. Kami menemani Bapak makan pizza. Bapak dhahar satu potong pizza dengan lahap. Alhamdulillah, malam itu Titiek membawa HP ke kamar rawat Bapak. Jadi kami sempat berfoto bersama. Kami tidak pernah mengira bahwa itu foto kami berenam terakhir dengan Bapak. Bila malam itu Titiek tidak membawa HP-nya, mungkin kami tidak punya kenangan terakhir dengan Bapak yang dapat kami abadikan. Pada saat itu Bapak akan salat tahajud (yang selalu Bapak lakukan setiap malam bertahun-tahun). Tapi kali ini Bapak ingin tempat tidurnya diputar menghadap kiblat. Ada salah satu dokter menyampaikan kepada Bapak, “Kalau sedang sakit, boleh tidak menghadap kiblat, Bapak.” Bapak menjawab pelan tapi tegas: “Saya mau menghadap kiblat.” Akhirnya, kami ikuti keinginan Bapak. Suweden, salah seorang yang selalu setia menemani Bapak, dibantu Sigit, memutar tempat tidur menghadap kiblat. Dan Bapak melakukan ibadah salat tahajud. Subhannallah. Kesokan harinya (satu hari sebelum beliau wafat), tim dokter seperti biasanya, memeriksa kesehatan Bapak. Selesai diperiksa, Bapak memanggil saya. “Wuk, Tutut, sini kamu deket Bapak.” “Dalem Bapak. Bapak ngersaaken menopo (menginginkan apa),” mendekat saya menjawab. “Ora (tidak). Bapak mau bicara. Dengarkan baik-baik,” Bapak menjawab lirih. “Ada apa tho Bapak,” bingung saya menyahut. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Bapak ingin menyusul Ibumu,” kata Bapak. “Bapak jangan ngendiko (bicara) begitu. Insya Allah Bapak akan sembuh kembali,” saya menjawab mulai merinding. “Kamu dengarkan Wuk. Kamu anak Bapak yang paling besar. Sepeninggal Bapak nanti, tetap jaga kerukunan kamu dengan adik-adikmu, cucu-cucu Bapak, dan saudara-saudara semua. Kerukunan itu akan membawa ketenangan dalam hubungan persaudaraan, dan akan memperkuat kehidupan keluarga. Selain itu Allah menyukai kerukunan. Ingat pesan Bapak, tetap sabar, dan jangan dendam. Allah tidak sare (tidur),” Bapak memberi nasehat dengan lirih. Saya tak dapat menahan air mata saya, tapi saya tidak mau Bapak terbebani juga dengan kesedihan saya. Saya sampaikan ke Bapak, “Bapak jangan ngendiko (bicara) begitu.” Bapak memegang tangan saya sambil berucap,“Jangan sedih, semua manusia pasti akan kembali kepada-Nya. Tinggal waktunya berbeda. Bapak tidak akan hidup selamanya. Kamu harus ikhlas. Insya Allah kita akan bertemu suatu saat nanti, di alam lain. Dekatlah, dan bersenderlah (bersandar) selalu kalian semua hanya kepada Allah. Karena hanya Dia yang pasti bisa membawa kita ke surga. Doakan Bapak dan Ibumu.” Saya terdiam takut, tak dapat menahan air mata. Setelah istirahat sebentar, Bapak melanjutkan pesannya. "Bapak bangga pada kalian semua anak-anak Bapak. Selama ini menemani bapak terus. Bapak menyayangi kalian semua, tapi Bapak harus kembali menghadap Illahi,” Bapak berhenti sebentar terlihat capek, tapi saya tidak berani memotongnya, lalu Bapak meneruskan lagi bicaranya. “Teruskan apa yang sudah Bapak lakukan, membantu masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kita. Jaga baik-baik yayasan yang Bapak bentuk. Manfaatkan sebanyak-banyaknya untuk membantu masyarakat,” berhenti sejenak. “Jangan kalian pakai untuk keperluan keluarga.” “Wis Wuk, Bapak capai, mau istirahat dulu.” Saya peluk Bapak erat. Mencium tangannya dan segera saya betulkan selimut Beliau. Bapak tidur dengan wajah yang tenang sekali. Di dalam hati, saya berdoa, “Ya Allah, beri saya kekuatan dan kemudahan untuk melaksanakan keinginan Bapak, aamiin.” Sejujurnya saya tidak dapat berpikir dengan jernih saat itu. Hanya doa pada Sang Khalik, untuk kesembuhan Bapak kami tercinta. Sore harinya, Bapak agak drop kesehatannya. Tim dokter bertanya pada Bapak, “Bapak, kami akan memeriksa Bapak ya.” Bapak menjawab, “Tanyakan pada Tutut saja.” Para dokter agak bingung lalu menyampaikan pada saya. Saya sampaikan, “Ayo saya temani periksa Bapak.” Pada malam harinya, kebetulan saya dan Mamiek jaga Bapak. Bapak kelihatan drop sekali. Tapi setiap kami tanyakan, Bapak ada yang sakit, Bapak hanya geleng kepala. Sampai pagi akhirnya Bapak tertidur dengan tenang. Subuh, saya dan Mamiek mencoba tidur sebentar. Namun, baru sekejap kami tidur sudah dibangunkan suster bahwa Bapak kritis. Kami berdua ke kamar Bapak. Bapak, ditemani Sigit, tampak tertidur dengan tenang tapi sudah tidak membuka mata. Kami putuskan memanggil semua keluarga. Sesampainya semua di rumah sakit, satu persatu saya minta semua cium tangan Bapak, sambil saya dan adik-adik membimbing Bapak, membisikkan di telinga Bapak, untuk istighfar dan bertasbih. Salah seorang dari perawat Bapak, ikut membisikkan terus kalam Illahi, sampai terhenti napas Bapak. Bapak tampak tenang sekali. Tidak ada sedikit pun raut kesakitan di wajah Bapak. Saya rasa semua keluarga, sudah hadir semua. Bapak semakin tenang helaan napasnya, hanya tidak membuka mata. Kami berdoa semoga keajaiban terjadi, sehingga Bapak diberi kesehatan. Saat menjelang siang, datang adik Bapak, Ibu Bries Soehardjo, yang baru saja menjalani operasi by pass jantung di Singapura, dan Bu Bries tidak pernah diberi tahu bahwa Bapak dalam keadaan kritis. Kami ajak masuk, kami bisikkan bahwa Bu Bries sudah datang. Rupanya Bapak menunggu semua keluarga berkumpul. Siang itu pukul 13.10, 27 Januari 2008, bertepatan dengan 18 Muharam dalam kalender Hijriyah, Bapak kami tercinta kembali menghadap Sang Pencipta, sesuai keinginan Bapak, dan takdir Illahi. Saya tidak pernah mengira bahwa kemarin adalah petuah terakhir yang Bapak berikan pada saya. Sesungguhnya apa yang Allah kehendaki, itulah yang akan terjadi. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan kehendak-Nya. “Bapak, guratan cinta kami, menghantar doa kami, menyertai Bapak dan Ibu. Semoga dimaafkan segala kesalahannya, diampuni segala dosanya, diterima semua amal ibadahnya, dimasukkan surga-Nya bersama orang-orang yang Allah cintai sebelum kami. Aamiin … Al Fatihah.” “Bapak, apa pun kata orang tentang Bapak, di hati kami, Bapak telah melakukan dengan sepenuh keyakinan, kearifan, dan keteladanan. Bapak antarkan Bangsa Indonesia tegak berdiri sama tinggi di tengah-tengah bangsa lain, yang terlebih dulu maju dan sejahtera. Bapak bawa bangsa ini mengenal kemakmuran, ketenangan, dan kesejahteraan dengan seluruh pengabdian Bapak yang tak berujung, hingga akhir hayat Bapak. Allah lebih tahu yang Bapak lakukan daripada kami yang masih hidup di dunia.“ “We all love you, Bapak dan Ibu sayang….” Jakarta 27 September 2008
Kisah Mbak Tutut Menjelang Wafatnya Pak Harto
Kamis, 27 September 2018 - 16:41 WIB
Baca Juga :